Selasa, 04 Agustus 2015

Trowulan: The Capital City of Majapahit

Kejayaan datang bagai sebuah siklus. Tidak setiap masa dapat dijadikan masa kejayaan. Paling tidak, begitulah yang terjadi dengan Bangsa ini. Dahulu, pernah tercipta kejayaan di wilayah yang saat ini disebut sebagai Indonesia. Di sini pernah berdiri sebuah peradaban yang agung. Sebuah peradaban yang menyatukan pulau-pulau yang terpisah laut. Tentara, emas, dan hasil bumi dapat dijadikan tolak ukur kemakmurannya. Sebuah peradaban yang membentuk Nusantara. Itu lah Majapahit.

Nusantara memang pernah mencicipi masa jaya pada abad ke-14. Pada saat itu, ada sebuah Kerajaan yang sangat berpengaruh, Majapahit namanya. Melalui kepemimpinan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada, Majapahit mampu mengontrol wilayah luas di tenggara Benua Asia. Majapahit merupakan Kerajaan Hindu-Budha yang makmur. Kemakmurannya bukan didapat hanya dengan perang. Pemimpin Majapahit juga melakukan politik diplomasi dengan Kerajaan-kerajaan di sekitarnya


Saya tergolong orang yang mencintai sejarah. Sudah sejak lama saya ingin melihat secara langsung kondisi sebuah tempat yang dulunya dijadikan ibukota Kerajaan besar. Saya ingin sekali menyaksikan dan mencicipi sisa-sisa kejayaannya.

Selagi berada di Jawa Timur, saya tidak ingin ,menyia-nyiakan kesempatan untuk pergi ke Trowulan. Bagi saya pribadi, ini tergolong perjalanan yang nekat. Saya bukan orang Jawa Timur dan tidak tahu sama sekali angkutan dari Malang ke Trowulan. Apalagi jarak tempuh Malang-Trowulan kurang lebih 100 km. Hampir sama dengan jarak Jakarta ke Bandung. Saya juga belum sempat browsing mengenai informasi akses menuju ke Trowulan. Meskipun demikian, saya mencoma untuk memberanikan diri. Akhirnya, saya, Fahmi, dan Nanda jadi berangkat ke Trowulan. Perjalanan dilakukan pada tanggal 11 November 2013, pukul 4 sore. Kami menuju ke Terminal Arjosari, Malang untuk mencari angkutan yang menuju ke Trowulan.

Perjalanan ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari Pendakian Semeru (Yang Tertunda). Dari 25 rombongan, enam orang (saya, Fahmi, Nanda, Mbak Siti, Mbak Eki, dan Mbak Rizka) memilih untuk menuju ke Kota Malang. Sedangkan sembilan belas orang lainnya lanjut ke Pulau Sempu. Sesudah pamit, kami berenam mencarter satu angkot menuju ke Kota Malang. Tarif angkot sebesar 115 ribu rupiah  Mbak Siti, Mbak Eki, dan Mbak Rizka sudah memesan kamar hotel di Kota Malang. Katanya sih mereka bertiga ingin main-main saja di Kota Malang. Sedangkan Fahmi dan Nanda masih bingung mau kemana. Namun akhirnya mereka berdua memilih bergabung dengan saya untuk ke Trowulan.

Di Terminal Arjosari, ternyata tidak ada bus yang melewati Trowulan. Kami harus naik bus jurusan Malang-Surabaya dan turun di pertigaan Japanan. Tarif bus sampai ke Japanan sebesar 25 ribu rupiah (bus AC). Dari pertigaan Japanan, kami harus melanjutkan perjalanan dengan bus berwarna kuning yang menuju ke Terminal Kertajaya, Mojokerto. Tarif bus kuning sebesar 8 ribu rupiah. Kami sampai di Terminal pukul 8 malam. Aktivitas di Terminal terlihat sudah sangat sepi. Sempat terpikir untuk tidur saja di terminal untuk menunggu bus datang. Kebetulan, saya sudah membawa matras dan sleeping bag. Namun, Tuhan selalu bersama backpacker. Tiba-tiba, ada bus terakhir yang ingin menuju ke Jombang. Kami menaiki bus itu dan turun di perempatan Trowulan (tarif bus 2 ribu rupiah).

Sesampainya di perempatan Trowulan, kami mencari losmen atau penginapan. Ternyata di kawasan ini tidak ada penginapan sama sekali (padahal ini tempat wisata loh). Setelah bertanya pada penduduk, kami bisa menginap gratis di Maha Wihara Mojopahit. Dari perempatan Trowulan, kami jalan kaki ke arah barat sejauh 500 meter.

Berbeda dengan aktivitas di Jakarta yang selalu hidup, suasana di Trowulan sudah sangat sepi. Padahal, arloji saya masih menunjukkan waktu pukul 8 malam. Kami pun sampai di Wihara, namun Wihara sudah dikunci dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Sekali lagi bantuan Tuhan datang. Ada seorang warga lokal yang menghampiri kami. Ternyata dia adalah salah satu penjaga Wihara. Alhamdulilah, akhirnya kami diperkenankan masuk. Di dalam Wihara, ada dua orang penjaga lain (sayang sekali saya lupa nama mereka). Mereka menyuruh kami untuk tidur di ruangan yang telah disediakan. Ruangannya sangat nyaman, banyak kasur dan ada AC. Sungguh baik sekali para penjaga Wihara ini. Meskipun baru bertemu, mereka menyambut kami layaknya saudara. Kami akhirnya tidur  dengan pulas karena sudah sangat lelah.

Pintu Gerbang Maha Vihara Majapahit


Suasana ruang tidur di Wihara

Keesokan harinya (12 November 2013), kami memulai untuk eksplor Trowulan. Di Wihara ini, ada patung Budha tidur yang konon katanya menjadi yang terbesar ketiga di Asia.

Patung Budha Tidur Terbesar Ketiga di Asia

Kami akhirnya memutuskan pamit kepada penjaga Wihara. Kami harus lanjut eksplor Trowulan dan kemudian kembali ke Malang. Namun Fahmi dan Nanda memutuskan kembali ke Malang karena harus membeli tiket pulang. Alhasil, ini lah solo traveling pertama saya. Saya juga penasaran, bagaimana sih solo travvelling itu. Akhirnya saya memutuskan mengeksplor Trowulan sendirian. Sebenarnya, ada semacam becak motor yang dapat kita gunakan untuk mengeksplor Trowulan dengan tarif 100 ribu rupiah, namun saya memilih untuk jalan kaki. Jika dilihat di peta, jarak dari satu titik ke titik lain sebenarnya lumayan jauh. Tapi tak apa, selagi kaki masih sehat, saya lebih baik jalan kaki saja (sekalian ngirit hehe).

Peta Trowulan

Selama saya jalan kaki, saya menemukan bahwa masyarakat setempat masih mempertahankan budaya leluhur mereka. Sebagian penduduk banyak yang bekerja sebagai pembuat patung atau arca.

Patung yang dipajang di depan rumah penduduk

Titik pertama yang saya kunjungi adalah Candi Brahu. Tidak ada tarif khusus untuk masuk ke Candi ini. Pengunjung diperkenankan memberikan sumbangan sukarela. Candi ini terlihat sudah berlumut, namun tetap gagah menjulang. Berdasarkan prasasti yang ditulis Mpu Sendok, Candi ini berfungsi sebagai tempat krematorium (pembakaran abu jenazah) para Raja Majapahit. Di candi ini, ada beberapa petugas yang sedang menyapu. Ada seorang petugas yang mengajak saya mengobrol, namanya Pak Gofur. Saya berbicara sejenak dengan Pak Gofur sebelum meninggalkan Candi Brahu.


Candi Brahu

Sehabis dari Candi Brahu, saya jalan kaki ke Kolam Segaran. Di kolam itu, konon Kerajaan Majapahit sering membuang peralatan emas untuk menunjukkan kekayaannya. Jarak yang ditempuh cukup jauh sebetulnya. Di perjalanan, saya menemukan sebuah Candi yang masih dipugar. Namanya Candi Gentong. Saya meminta ijin mandor untuk melihat-lihat Candi ini.


Candinya sedang dipugar

Setelah melihat Candi Gentong, saya lanjut jalan kaki menuju Kolam Segaran. Lumayan jauh jarak yang harus saya tempuh. Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada seorang pengendara motor yang menawarkan tumpangan. Tak disangka, ternyata beliau adalah Pak Gofur yang habis saya temui di Candi Brahu. Bantuan Tuhan selalu datang. Ternyata Pak Gofur ini adalah pegawai Badan Peletarian Peninggalan Purbakala (BP3) setempat. Beliau akhirnya mengantarkan saya sampai ke Kolam Segaran.

Seorang warga sedang membersihkan area Kolam Segaran

Kolam Segaran

Setelah mengantarkan saya sampai ke Kolam Segaran, Pak Gofur pulang ke rumahnya. Saya lanjut ke spot di sekitar Kolam Segaran, yaitu Museum Majapahit. Di Museum Majapahit ini, pengunjung bisa melihat peninggalan sejarah seperti prasasti, arca, mangkuk, dan sebagainya. Tarif masuk museum ini sebesar 2 ribu rupiah. Tapi sayang sekali, pengunjung tidak diperkenankan untuk memotret isi museum. Saya hanya dapat memotret di luar Museum.

Museum Majapahit

Peninggalan Arkeologi di Museum Majapahit

Dari Museum, saya lanjut jalan kaki ke Makam Putri Campa. Putri Campa merupakan Permaisuri Raja Brawijaya V. Makamnya berada di area permukiman penduduk, sehingga agak meyulitkan saya untuk mencarinya. Untung ada papan yang menunjukkan lokasi makam. Di makam ini, pengunjung tidak diwajibkan membayar, namun hanya memberikan sumbangan sukarela. Pada saat itu, tidak ada pengunjung selain saya. Hanya ada seorang ibu penjaga makam. Area makam yang sepi membuat bulu kuduk saya berdiri. Nuansa mistis cukup terasa di sini (namanya juga kuburan hehehe). Apalagi banyak pohon beringin di sekitar makam. Tapi rasa penasaran membuat saya harus berani untuk melihat makam Putri Campa.

Ternyata di situ....

Dalam hening dan sepi....

Makam penduduk Majapahit jaman dulu

Ini lah Makam Putri Campa

Saya tidak berani berlama-lama di Makam Putri Campa. Tujuan saya berikutnya adalah Pendopo Agung. Menurut peta, jarak dari Makam Putri Campa menuju Pendopo Agung lumayan jauh, sekitar 3 kilometer. Saya pun mencoba trik ala backpacker. Yak betul sekali, saya mencoba mencari tumpangan kendaraan. Saya mencoba mengacungkan jempol berharap ada pengendara motor yang mau memberi tumpangan. Setelah beberapa kali percobaan, akhirnya ada seorang bapak yang bersedia mengantarkan saya sampai ke Pendopo Agung (saya tidak sempat menanyakan nama bapak tersebut). Sungguh baik sekali warga Trowulan yang saya temui.

Pendopo Agung merupakan tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa. Di tempat ini, ada pendopo yang sangat luas. Tempatnya lumayan adem, sehingga saya sempat tertidur selama 15 menit hehehe. Di tempat ini, ada makam prajurit Majapahit dan tempat untuk melakukan doa.

Gerbang Pendopo Agung

Patung Mahapatih Gadjah Mada

Pendopo yang sangat adem

Makam Tentara Majapahit

Husssttt....

Beberapa orang sedang memanjatkan doa

Setelah puas tidur-tiduran di Pendopo Agung, saya mencoba es oyen yang berada di luar Pendopo. Harganya relatif murah, 4 ribu rupiah. Rasanya sih sebenarnya hampir mirip seperti es campur.

Penampakan Es Oyen

Ibu-ibu penjual es oyen kemudian menawarkan jasa ojek kepada saya untuk mengunjungi destinasi berikutnya. Saya mencoba mengiyakan, karena hari sudah siang, saya takut kesorean dan kehabisan bus yang menuju ke Malang. Selain itu jarak destinasi berikutnya (Candi Bajang Ratu dan Candi Tikus) lumayan jauh, sekitar 6 km. Si Ibu kemudan menyuruh tetangganya untuk mengantar saya. Akhirnya disetujui tarif ojek sebesar 30 ribu rupiah.  Kami pun beranjak menuju Candi Bajang Ratu.




Dari Candi Bajang Ratu, saya kemudian beranjak ke Candi Tikus yang jaraknya lumayan dekat. Candi ini dinamakan Tikus. Awalnya, Candi ini terletak di persawahan. Pada saat ditemukan oleh warga, banyak terdapat tikus di tempat ini. Akhirnya Candi ini dinamakan Candi Tikus, hehehe. Sebagian ahli meyakini bahwa Candi ini merupakan tempat pertirtaan (permandian) bagi anggota keluarga Kerajaan. Sebagian lagi meyakini bahwa Candi ini berfungsi sebagai tempat penampungan air bagi penduduk Majapahit.




Petualangan saya di Trowulan harus segera saya akhiri. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Perjalanan ke Malang membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Apabila saya kesorean, saya takut tidak ada bus lagi yang menuju ke Malang. Akhirnya mas-mas ojek mengantar saya ke jalan raya Jombang-Mojokerto untuk mencegat bus. Saya pun pulang kembali ke Malang dengan angkutan yang sama saat saya berangkat. Perjalanan pulang dihiasi dengan hujan lebat. Kata penduduk sekitar, sudah sekitar 1 bulan tidak turun hujam. Begitu saya datang, langsung hujan lebat hehehehe (abaikan saja). 

Menurut saya, Trowulan masih belum dikelola dengan baik sebagai tempat wisata. Tidak ada penginapan sama sekali di tempat ini. Situs Trowulan juga terancam oleh rencana pembangunan pabrik baja. Miris rasanya, karena tempat ini pernah menjadi ibukota Kerajaan terbesar Nusantara. Perlu adanya keseriusan dari berbagai pihak untuk merevitalisasi tempat ini. Bagaimanapun juga, tempat ini merupakan saksi dari kejayaan Nusantara di masa lalu. Penting sekali tempat ini dilestarikan. Sekian cerita perjalanan saya di Trowulan. Semoga bermanfaat bagi para pejalan yang ingin mengunjungi Trowulan.

3 komentar:

  1. Hai, aku Dini.
    Aku tertarik untuk jalan-jalan le Trowulan, Mojokerto & ketemu sama tulisanmu.
    Ada kontak Wihara tempat kalian nginep nggak ya?
    Thanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh join ga mbaa ?? aku jg pgn tapi blm dpt tmn yg mau :)

      Hapus
  2. wahh kereenn mass ... bnran pgn kesana jdnya .. mbaa @dinilint aku join dong .. udh telat blm yaa

    BalasHapus