Minggu, 27 September 2015

Raksasa Maritim yang Tertidur: Sebuah Filosofi Tentang Kejayaan

Tahun 2014, Indonesia sukses melaksanakan pesta demokrasi. Terlepas dari ganasnya rivalitas politik, akhirnya Indonesia memiliki Presiden baru. Joko Widodo resmi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-7. Presiden kemudian membentuk Kabinet Kerja untuk mewujudkan visi dan misinya.

Pemerintahan di negara manapun pasti memiliki sebuah visi yang ingin diwujudkan. Di Pemerintahan Kabinet Kerja, ada sebuah visi penting yang dapat dikatakan “baru”. Visi tersebut adalah visi maritim. Presiden Joko Widodo ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Visi ini dapat dikatakan “baru”. Meskipun Indonesia merupakan negara kepulauan, pembangunan sektor kelautan masih diposisikan sebagai sektor pinggiran. Menurut saya pribadi, siapapun yang terpilih menjadi Presiden, visi maritim tetap harus diwujudkan.


Sumber: Majalah Alumni Universitas Indonesia Edisi Oktober-November 2014



Sudah tujuh Presiden yang dimiliki Indonesia, dan baru kali ini ada seorang Presiden yang ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Terlepas dari fisibilitas visi tersebut, sudah sepantasnya Indonesia mencanangkan diri untuk menjadi poros maritim dunia. Berikut ini adalah pidato Joko Widodo saat dilantik sebagai Presiden tanggal 20 Oktober 2014:

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya, sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali.”

Joko Widodo, saat berpidato di Gedung MPR/DPR
www.lebahmaster.com

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah laut Indonesia sebesar 5,8 juta km² dan luas daratannya sebesar 1,9 juta km². Sekitar 2/3 wilayah Indonesia adalah laut. Selain itu, Indonesia memiliki kurang lebih 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Rompas, 2011: xv). Laut Indonesia memiliki potensi kekayaan yang melimpah. Posisi geografis kepulauan Indonesia sangat strategis karena terletak di antara dua benua dan dua samudera. Hal ini menandakan bahwa laut memiliki peran yang signifikan bagi masyarakat Indonesia.

Peta Indonesia
patriotgaruda.com

Pembangunan Indonesia selama beberapa dekade memang difokuskan di wilayah daratan. Sebagai negara kepulauan, semestinya pembangunan di Indonesia dilandaskan pada pembangunan maritim. Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara maritim, karena memiliki laut yang luas. Hal itu sebetulnya keliru. Negara maritim adalah negara yang mampu menguasai lautan. Ada lima elemen dalam membangun negara maritim sebagaimana saya kutip dari buku Indroyono Soesilo yang berjudul “Iptek untuk Laut Indonesia”. Kelima elemen itu adalah:
(1) wawasan kelautan,
(2) kedaulatan nyata di laut,
(3) industri kelautan yang kuat,
(4) tata ruang kelautan yang benar, dan
(5) sistem hukum kelautan yang lengkap dan terpadu.


Negara Indonesia yang sekarang bukanlah negara maritim. Padahal, dahulu kala, Bangsa Indonesia pernah mencicipi kejayaan melalui pembangunan maritimnya. Indonesia pernah memiliki dua kerajaan besar yang makmur karena pembangunan maritim, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Setelah kedua kerajaan tersebut berakhir, kejayaan maritim mulai memudar. Masuknya penjajah Belanda juga semakin menghilangkan budaya maritim Bangsa Indonesia. Belanda menggiring masyarakat Indonesia ke daratan dan melupakan laut.

SEJARAH PEMBANGUNAN MARITIM DI INDONESIA
Berikut ini, akan saya jelaskan secara singkat sejarah maritim di Indonesia:

Era Prasejarah

Dilihat dari aspek sejarah, sejak dahulu Bangsa Indonesia memiliki ikatan emosional yang kuat dengan laut. Sejarah mencatat bahwa budaya bahari Bangsa Indonesia sudah lahir pada tahun 10.000 SM (indomaritimeinstitute.org, 2010). Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Selain itu, ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain dengan menggunakan kapal layar.

Lukisan Perahu di Gua Metanduno, Pulau Muna
kebudayaan.kemdikbud.go.id

Era Kerajaan Sriwijaya (Tahun 683–1030)
Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan Budha yang jaya di abad ke-7. Kerajaan ini berpusat di Palembang dan Jambi. Pada masa jayanya, Sriwijaya menguasai Sumatra Sumatra, Jawa bagian barat, Kalimantan bagain barat, Pulau Bangka, Pulau Belitung, Singapura, dan Semenanjung Malaya. Wilayahnya yang luas menjadikan Sriwijaya sering disebut sebagai Negara Kesatuan Pertama.

Sriwijaya sangat serius membangun sektor maritimnya. Wilayah pesisir timur Sumatra pada saat itu merupakan pelabuhan yang sangat ramai. Sriwijaya menguasai jalur perdagangan laut internasional, yaitu Selat Malaka. Hubungan dagang dengan Tiongkok dan India intensif dilakukan. Untuk menjaga teritori lautnya, Seriwijaya memperkuat armada lautnya. Sriwijaya memperoleh keuntungan yang besar dari pajak, upeti, dan perdagangan komoditas.

Pada abad ke-11, era keemasan Sriwijaya mulai memudar. Kala itu, Kerajaan Chola dari India melakukan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Sriwijaya. Hal itu menyebabkan Sriwijaya kehilangan kendali atas jalur perdagangan internasional.

Ilustrasi Mengenai Kerajaan Sriwijaya
assets.kompas.com

Era Kerajaan Majapahit (Tahun 1293-1527)
Majapahit merupakan Kerajaan Hindu-Budha yang jaya pada abad ke-14. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya dan meraih kejayaan di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada. Majapahit menguasai wilayah yang luas. Masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan mengenai wilayah kekuasaan Majapahit. Menurut Kitab Negarakertagama, wilayah Majapahit mencakup Jawa, Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaya, Thailand bagian selatan, Nusa Tenggara, hingga kepulauan Maluku (Muljana, 2005). Begitu luasnya wilayah Majapahit sehingga dijuluki sebagai Negara Kesatuan Kedua setelah Sriwijaya.

Majapahit jaya karena berhasil membangun sektor maritimnya. Armada laut yang kuat menjadi kunci bagi Majapahit dalam menyatukan wilayah Nusantara. Majapahit berhasil mengembangkan teknologi perkapalan, yaitu perahu bercadik. Majapahit berhasil pula menguasai jalur perdagangan internasional, yaitu Laut Jawa. Selain itu, Raja Hayam Wuruk berhasil membangun politik diplomasi dengan Kerajaan-kerajaan di sekitarnya.

Majapahit mulai kehilangan pengaruh setelah Raja Hayam Wuruk wafat. Terjadi perang saudara di internal Kerajaan untuk memperebutkan kekuasaan. Serangan Kerajaan Demak pada abad ke-16 semakin mempertegas kehancuran Majapahit.

Wilayah Kerajaan Majapahit
upload.wikimedia.org

Era VOC (Tahun 1602-1800)
VOC atau Verenigde Oostindische Compagnie adalah perusahaan dagang Belanda yang beroperasi di wilayah Hindia-Belanda. Di masa ini, Bangsa Indonesia sudah mulai dipisahkan dari laut oleh Belanda. Hal ini dapat dilihat dari adanya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755.

Perjanjian Giyanti adalah adalah perjanjian antara VOC, Kerajaan Surakarta, dan Kerajaan Yogyakarta. Salah satu isi Perjanjian Giyanti adalah:

“Kerajaan Surakarta dan Kerajaan Yogyakarta harus menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi, dan rempah-rempah kepada pihak Belanda.”

Melalui Perjanjian ini, kedua Kerajaan hanya berhak menghasilkan komoditas pertanian. Mereka tidak dapat memperdagangkannya melalui laut. Akses masyarakat ke laut menjadi terputus. Hal ini menjadi titik awal pemisahan Bangsa Indonesia dengan laut.

Era Tanam Paksa (Tahun 1830-1870)
Tanam Paksa atau cultuurstelsel merupakan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch yang mewajibkan penduduk untuk menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor. Kebijakan ini dikeluarkan karena Belanda membutuhkan biaya besar setelah kalah perang di Eropa. Kebijakan ini membuat masyarakat Indonesia “digiring” ke daratan untuk mengurus lahan pertanian dan perkebunan. Masyarakat tidak lagi mengurus laut, namun hanya mengurus sektor agraris.

Sejak saat itu, budaya maritim sudah memudar di kalangan masyarakat Indonesia. Laut tidak lagi dianggap sebagai beranda depan, melainkan sebagai pemisah daratan. Laut bukan lagi tempat bermain, melainkan dianggap daerah yang menakutkan.

Tanam Paksa di Pulau Jawa
upload.wikimedia.org

Era Pascakemerdekaan (1945-1965)
17 Agustus 1945, Proklamasi berhasil didengungkan dan Negara Indonesia resmi berdiri. Bung Karno menjadi Presiden pertama Indonesia. Pembangunan maritim mulai digagas oleh Bung Karno. Bung Karno memiliki slogan, yaitu cakrawatu samudra. Artinya, jiwa yang berani mengarungi samudra. Salah satu pencapaian penting pada masa ini adalah dicetuskannya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi Juanda merupakan salah satu langkah untuk kembali menanamkan budaya maritim. Laut kembali dimasukkan sebagai wilayah pembangunan. Deklarasi Juanda juga merupakan salah satu keberhasilan diplomasi internasional kala itu.

Berikut ini adalah isi Deklarasi Juanda:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan:
-Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
-Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan.
-Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
  keselamatan NKRI.

Langkah Bung Karno untuk membangun sektor maritim juga dapat dilihat dari pembentukan Dewan Maritim dalam Kabinet Dwikora pada tahun 1960. Selain itu, dibentuk pula Kementerian Koordinator Bidang Maritim.

rajasamudera.com

Era Orde Baru (Tahun 1966-1998)
Era kepemimpinan Bung Karno berakhir dan digantikan oleh Mayor Jenderal Soeharto dari Angkatan Darat. Di era Soeharto, pembangunan maritim kembali dilupakan, sama seperti di era kolonial Belanda. Soeharto menghapus Kementerian Koordinator Bidang Maritim yang telah dibangun Bung Karno. Pembangunan kembali diarahkan ke sektor agraris. Dengan bangganya Indonesia menyebut diri sebagai penghasil komoditas pertanian besar dunia, namun sektor maritim dianaktirikan.

Meskipun demikian, terdapat sebuah pencapaian penting mengenai maritim di era Orde Baru, yaitu disahkannya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982. UNCLOS merupakan salah satu keberhasilan diplomasi Indonesia yang telah diperjuangkan sejak dicetuskannya Deklarasi Juanda. UNCLOS mengatur mengenai kepemilikan suatu negara terhadap wilayah laut. Dalam UNCLOS, diatur bahwa sebuah negara pantai berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut, zona tambahan sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen (dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih.


le-mot-juste-en-anglais.typepad.com

Era Reformasi (Tahun 1998-sekarang)
Pengembalian jati diri Bangsa Indonesia sebagai bangsa maritim mendapatkan titik terang di era reformasi ini. Pemimpin-pemimpin Indonesia pada era ini memiliki visi untuk membangun sektor maritim.
-Presiden B.J. Habibie. Pada 26 September 1998, Presiden Indonesia ke-3 B.J. Habibie mendeklarasikan Deklarasi Bunaken. Isi Deklarasi Bunaken adalah: “Mulai saat ini visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia harus juga berorientasi laut.” Deklarasi ini menegaskan bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan harapan untuk masa depan, serta persatuan, kesatuan dan pembangunan Bangsa Indonesia.
-Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden Indonesia ke-4 yang akrab disapa Gus Dur ini menyadari bahwa laut Indonesia memiliki potensi besar yang dapat digali. Pada tahun 1999, Presiden Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut (sekarang menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertugas untuk mengeksplorasi potensi laut Indonesia. Pada era Pemerintahan Gus Dur, baru pertama kali diangkatnya Panglima TNI yang bukan berasal dari Angkatan Darat, melainkan dari Angkatan Laut.
-Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden kelima Indonesia ini mengembangkan sektor maritim Indonesia dengan mencetuskan Seruan Sunda Kelapa. Seruan Sunda Kelapa adalah pesan yang mcngajak masyarakat untuk membangun kembali sektor maritim Indonesia dengan lima cara, yaitu: (1) membangun kembali wawasan bahari, (2) menegakkan kedaulatan secara nyata di laut, (3) mengembangkan industri maritim; (4) mengembangkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, dan (5) mengembangkan sistem hukum nasional di bidang maritim.
-Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Selama masa pemerintahannya, Presiden ke-6 Indonesia ini mencanangkan pembangunan yang seimbang antara matra darat dan matra laut.

Itulah cuplikan sejarah mengenai pembangunan maritim di Indonesia, dari masa prasejarah hingga saat ini. Dapat kita lihat bahwa terjadi pasang-surut semangat untuk membangun sektor maritim. Kepemimpinan merupakan faktor krusial dalam pembangunan maritim. Diperlukan komitmen politik yang sangat kuat dari pemimpin tertinggi Negara untuk membangun sektor maritim. Paling tidak, saat ini ada Pemimpin yang sadar tentang kodrat kelautan yang dimiliki Indonesia.

Sampai saat ini, saya belum menemukan cetak biru atau masterplan mengenai konsep poros maritim Indonesia. Konsep yang saya maksud adalah konsep detail mengenai implementasi visi maritim tersebut. Meskipun demikian, saya menemukan sembilan sasaran pembangunan kemaritiman dari dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Berikut ini adalah sembilan sasaran tersebut:
1. Penguatan keamanan laut, daerah perbatasan, serta pengamanan SDA dan ZEE.
2. Peningkatan luas kawasan konservasi perairan berkelanjutan (17 juta ha) dan penambahan kawasan konservasi 700 ha dan rehab. Kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
3. Penerapan best aqua-culture practices untuk komoditas-komoditas unggulan.
4. Mendesain tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang mendukung kinerja pembangunan maritim dan perikanan.
5. Peningkatan produksi perikanan dua kali lipat (40-50 juta ton per tahun) pada tahun 2019.
6. Peningkatan kapasitas dan pemberian akses terhadap sumber modal, sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan pasar.
7. Pembangunan 100 sentra perikanan sebagai tempat pelelangan ikan terpadu dan pembangunan 24 pelabuhan strategis.
8. Pemberantasan illegal, unregulated dan unreported fishing (IIU).
9. Mengurangi intensitas penangkapan di kawasan underfishing sesuai batas kelestarian.

Ini lah kesamaan saya dengan Joko Widodo. Meskipun kami berdua bukanlah orang pesisir, namun kami berdua sadar akan kodrat maritim Indonesia. Joko Widodo lahir dan besar di Surakarta, sedangkan saya lahir dan besar di Jakarta Selatan. Kami berdua jarang melihat laut, namun sadar bahwa Indonesia harus dibangun berdasarkan potensi laut. Pembangunan maritim tidaklah menegasikan pembangunan yang ada di darat. Keduanya dilakukan secara bersamaan, tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa maritim.

Momen Saat Menyeberangi Selat Lombok

Rekomendasi:
Banyak kalangan yang menilai bahwa konsep poros maritim dunia Presiden Joko Widodo masih belum jelas dan tidak realistis. Sebaiknya Pemerintah segera mematangkan konsep tersebut dan menyebarluaskannya ke masyarakat. Pemerintah perlu melibatkan banyak kalangan dalam merumuskan konsep tersebut.


Sumber:
Rompas, Rizald Max. 2011. Membangun Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini, dan Masa
Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik.

Muljana, Slamet. 2005. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: LKiS.

Soesilo, Indroyono dan Budiman. 2002. Iptek untuk Laut Indonesia. Jakarta: Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar