Minggu, 13 September 2015

Lampung Barat: Cerita Tentang Ombak dan Gajah

sd.keepcalm-o-matic.co.uk

Lampung merupakan sebuah Provinsi yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra. Provinsi ini memiliki peran dan lokasi yang strategis, karena merupakan titik penghubung antara Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra. Apa yang terbersit di pikiran Anda ketika mendengar nama Lampung? Apakah Anda membayangkan kopi, pisang, gajah, transmigrasi, atau mungkin begal? Hehehe. Ya, betul sekali. Hal-hal tersebut memang identik dengan Provinsi Lampung. Selain terkenal sebagai penghasil komoditas pangan, Lampung juga memiliki potensi wisata yang boleh dikatakan masih tersembunyi. 

Lampung sebenarnya memiliki jarak yang relatif dekat dengan Jakarta, namun Provinsi ini masih jarang dikunjungi oleh wisatawan dari Jakarta atau daerah sekitarnya. Mungkin karena terpisah oleh laut, sehingga Lampung seakan-akan terletak sangat jauh dari Jakarta. Padahal, jarak Jakarta-Lampung hampir sama dengan jarak Jakarta-Bandung. Lampung memiliki bentang alam yang relatif lengkap. Terdapat pegunungan, hutan, sungai, danau, pantai, dan pulau-pulau kecil yang kesemuanya memiliki potensi keindahan. Lampung juga memiliki kekayaan sosial, sehingga dijuluki Sai Bumi Ruwai Jurai. Kurang lebih, artinya adalah bumi yang multi etnis. Provinsi ini memang terkenal sebagai lokasi tujuan transmigrasi sejak jaman kolonial Belanda. Terdapat transmigran asal Jawa, Bali, dan daerah lain yang telah berbaur dengan penduduk asli Lampung, yaitu Saibatin dan Pepadun.

Sudah sejak lama saya ingin mengunjungi Lampung. Kebetulan saya ingin sekali bermain dengan gajah di habitat aslinya. Perjalanan saya kali ini ditemani oleh teman kampus saya. Kebetulan, kami baru saja diwisuda dan ingin jalan-jalan sejenak sebelum terikat dengan dunia kerja. Pada awalnya, ada lima orang yang ingin ikut dalam perjalanan ini, namun tiga orang lainnya berhalangan ikut karena urusan pekerjaan. Alhasil, peserta perjalanan ini hanya dua orang, yaitu saya dan Adam. Kebetulan, Adam sudah pernah ke Lampung dan memiliki saudara di sana. Berikut ini adalah destinasi yang ingin kami kunjungi:


Karena ingin bermain dengan gajah, maka tujuan utama kami adalah Taman Nasional Way Kambas (TNWK). Selain itu, kami juga ingin melihat keindahan pantai di Lampung barat, yaitu Pantai Tanjung Setia dan Pulau Pisang. Banyak racun foto di media sosial yang menampilkan potensi Tanjung Setia dan Pulau Pisang, sehingga kami ingin juga mengunjunginya. Oiya, tujuan saya ke sini bukan hanya untuk jalan-jalan. Saya juga ingin melakukan survei mengenai akses menuju ke destinasi wisata, informasi harga, dan lain-lain. Hal ini saya lakukan untuk memberikan informasi kepada para pejalan mengenai destinasi wisata di Provinsi Lampung. Maklum, masih jarang wisatawan yang berkunjung ke daerah ini.

Saya dan Adam sepakat untuk berangkat ke Lampung pada tanggal 7 September 2015. Destinasi yang akan dikunjungi diubah sehari sebelum keberangkatan. Kami tidak jadi mengunjungi TNWK. Setelah dipikir, TNWK tidak sejalur dengan pantai-pantai yang ada di Lampung barat. Selain itu, saya juga khawatir dengan tingkat keamanan di wilayah Lampung timur. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari dosen saya yang asli orang Lampung, wilayah Lampung timur memang rawan aksi begal. Bukan untuk menakut-nakuti, namun wisatawan memang perlu waspada akan hal ini. Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian perlu mengatasi masalah ini untuk kepentingan pariwisata. Bagaimanapun juga, rasa aman merupakan hal penting dalam aktivitas wisata.

Akhirnya kami mengalihkan tujuan ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang berada di Lampung barat. Di TNBBS, saya juga masih dapat bermain dengan gajah. Saya sudah pernah menonton tayangan 100 Hari Keliling Indonesia dan tertarik dengan kunjungan Ramon Tungka dkk. di TNBBS. Saat itu, mereka ikut patroli gajah dengan para mahot. Karena tidak jadi ke TNWK, maka rute yang akan kami lalui menjadi lebih pendek. Lumayan lah ongkos jadi lebih irit hehehe. 

Hari Pertama (7 September 2014)
Perjalanan menuju Lampung saya mulai dari Stasiun Tanah Abang, Jakarta. Saya dan Adam akan menuju ke Pelabuhan Merak dengan menggunakan kereta api. Masih banyak warga Jakarta yang belum tahu bahwa ada angkutan kereta api menuju ke Pelabuhan Merak. Biasanya, warga Jakarta menggunakan angkutan bus untuk menuju ke Merak. Kereta yang saya naiki adalah Kereta Api Krakatau, kelas Ekonomi AC. Kereta berangkat pukul 22.30 WIB. Sangat sepi penumpang yang berada di kereta ini. Mungkin betul, karena masih jarang orang yang tahu mengenai informasi kereta ini hehehe. 

Hari Kedua (8 September 2015)
Perjalanan kereta api dari Jakarta ke Merak memakan waktu sekitar 4 jam. Kami sampai di Pelabuhan Merak pukul setengah 3 pagi. Stasiun Merak berada di dalam areal pelabuhan, sehingga kita tidak perlu berjalan jauh menuju loket. Saya dan Adam langsung membeli tiket kapal ASDP untuk menyeberang ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung. Kapal datang pukul tiga pagi dan kami langsung masuk ke dalam kapal.

Ini lah kapal yang kami tumpangi, Tribuana Ferry.

Di dalam kapal, saya dan Adam memilih untuk berada di ruang lesehan. Ruangannya ber-AC dan ada tempat lesehan bagi penumpang yang ingin beristirahat. Ada tarif tambahan yang dikenakan apabila berada di ruangan ini, yaitu 10 ribu rupiah. 

Suasana di ruang lesehan. (Model: Adam)

Saya lumayan kecewa dengan fasilitas toilet di kapal ini. Toiletnya sempit dan jorok. Masih ada bekas yang tidak disiram oleh penumpang. Sangat mengecewakan! PT. ASDP perlu mengatasi masalah ini demi kenyamanan penumpang.

Perjalanan kapal mengarungi Selat Sunda saat itu lumayan cepat, hanya memakan waktu sekitar 2,5 jam. Akhirnya kami dapat keluar dari zona nyaman. Ya, maksud saya keluar dari Pulau Jawa, Pulau yang sudah terbangun dengan pesat dan penuh dengan fasilitas publik yang nyaman. Kami sampai di Pelabuhan Bakauheni pukul enam pagi, tepat saat matahari terbit. Bagi saya pribadi, ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di Provinsi Lampung. Ini juga menjadi kali kedua saya menginjak tanah Sumatra setelah sebelumnya saya mendaki Gunung Kerinci, Jambi.

Sunrise di Bakauheni, kurang begitu terlihat karena awan

Pelabuhan Bakauheni, pertama kali mengunjunginya

Begitu sampai di Bakauheni, jangan kaget apabila banyak sopir mobil travel yang menghampiri dan memaksa untuk menggunakan jasa angkutannya. Saya dan Adam bersikap cool dan tidak kikuk, seolah-olah kami warga asli sini hehehe. Dari Pelabuhan Bakauheni, kami harus menuju ke Terminal Rajabasa yang terletak di Kota Bandar Lampung. Agar tidak ditipu, kami mencoba bertanya kepada petugas pelabuhan. Menurut informasi, tarif mobil travel dari Bakauheni ke Terminal Rajabasa seharga 25-30 ribu rupiah. Kami kemudian mencari sebuah mobil travel. Memang alot sekali supir-supir di Bakauheni. Tarif awal yang mereka berikan sebesar 50 ribu rupiah per orang. Jauh lebih mahal daripada informasi harga yang diberitahu oleh petugas pelabuhan. Setelah negosiasi panjang, akhirnya kami diberikan tarif 35 ribu rupiah. Fuhhh, akhirnya luluh juga supirnya hehehe.

Kami berangkat dari Bakauheni pukul setengah tujuh pagi. Mobil travel yang kami tumpangi adalah Suzuki APV. Ternyata mobil ini diisi oleh sepuluh orang. sempit sekali. Jelas sekali bahwa si supir ingin mengambil keuntungan lebih hehehe. Mobil melaju sangat cepat, dan kami sampai di Terminal Rajabasa pukul setengah sembilan pagi. Terminal Rajabasa memang terkenal sebagai tempat yang kurang aman. Berdasarkan cerita beberapa teman, banyak preman di terminal ini. Mereka kerap memaksa calon penumpang untuk naik ke kendaraannya. Belum lagi harga yang dipatok oleh preman di sini jauh lebih mahal daripada harga normal.

Saya dan Adam sempat waswas dengan isu yang beredar mengenai Terminal Rajabasa. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan, Adam menghubungi saudaranya yang berkuliah di Universitas Lampung (Unila), namanya Herly. Kebetulan, Unila terletak di sebelah Terminal Rajabasa. Kami memang butuh orang setempat untuk menemani kami masuk ke dalam Terminal Rajabasa. Herly kemudian mengantar kami untuk masuk ke dalam terminal. Ternyata isu yang santer beredar selama ini sudah mulai hilang. Terminal Rajabasa sudah mulai berbenah. Saya tidak menemukan adanya preman di sini. Ternyata, sudah ada pos polisi di dalam terminal dan sudah ada upaya dari Pemerintah Daerah untuk membenahi masalah preman. Luar biasa! Untuk kalian yang masih meragukan keamanan di Terminal Rajabasa, saya jamin bahwa terminal ini sangat aman.

Sesuai rencana, saya dan Adam akan menuju ke Kota Agung, yang terletak di Kabupaten Tanggamus. Kebetulan, Adam juga mempunyai suadara di sana dan kami akan menginap di rumahnya. Anugerah banget ya, punya saudara banyak memang rejeki yang tidak ternilai. Herly juga mencarikan bus untuk kami. Banyak pilihan bus untuk menuju ke Lampung barat di Terminal Rajabasa. Untuk menuju ke Kota Agung, kami memilih untuk menaiki Bus Puspa Jaya. Kami pun pamit ke Herly. Bus Puspa Jaya berangkat pada pukul 10 pagi.

Lumayan bagus juga bus Puspa Jaya ini. Busnya ber-AC. Selain itu, ruang kakinya lumayan luas. Bagi orang dengan kaki panjang seperti saya, yang jelas ini nyaman sekali. Sepanjang perjalanan, saya banyak menemukan rumah-rumah panggung khas Lampung di sisi jalan. Masih banyak masyarakat yang mempertahankan budaya asilnya. Saya juga melihat banyak sawah dan sungai yang mengering. Ya Tuhan, semoga kemarau panjang tahun ini segera berakhir. Amin!

Perjalanan bus dari Bandar Lampung ke Kota Agung memakan waktu sekitar tiga jam. Kami sampai di Kota Agung pukul satu siang. Begitu turun dari bus, banyak tukang ojek nakal yang menarik-narik tas penumpang. Mereka memaksa untuk naik ke ojek mereka. Mirip-mirip kejadian di Terminal Ubung, Bali, yang mana banyak kernet bus yang menarik tas calon penumpang dan memaksa-maksa, bahkan mereka tidak tega untuk melakukan kekerasan fisik. Alhamdulilah, tukang ojek di Kota Agung tidak sampai seperti itu. Maklumi saja, mungkin sulit mencari uang di daerah ini, sehingga mereka melakukan hal-hal seperti itu. 

Begitu sampai di Kota Agung, Adam sudah menghubungi saudaranya, yaitu Izom. Izom ini tinggal di Kecamatan Wonosobo (di Lampung memang banyak nama tempat yang mirip dengan nama-nama di Jawa). Jarak Wonosobo-Kota Agung sekitar 4 km. Saya dan Adam kemudian menunggu kedatangan Izom di sebuah halte di Kota Agung. 

Kota Agung merupakan sebuah kota kecil yang menjadi ibukota Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. Kota ini sangat panas, mungkin karena minim penghijauan. Ketertiban lalu lintas di sini masih belum teratur. Dapat dilihat bahwa banyak pengendara motor yang tidak menggunakan helm dan sering melawan arus. Selama kami menunggu kedatangan Izom, banyak tukang ojek ngeyel yang menawarkan jasa ojeknya. Meskipun kami sudah bilang akan dijemput dengan mobil, mereka tetap saja memaksa. Begini kata salah seorang tukang ojek: "Oh kalian dijemput pakai mobil, yaudah gapapa sini satu orang naik ojek saya aja, 50 ribu aja kok..." Idihh, ini apa-apaan sih. Yaudah lah, mungkin mencari uang memang susah hehehe. 

Pukul dua siang, akhirnya Izom datang dengan menggunakan mobil Honda Jazz-nya. Kami kemudian menuju ke rumah Izom untuk beristirahat. Perjalanan darat dan laut dari Jakarta ke Kota Agung memakan waktu sekitar 14 jam. Lumayan capek, tapi seru. Saya dan Adam memilih untuk beristirahat untuk mengisi tenaga demi perjalanan esok hari.

Hari Ketiga (9 September 2015)
Di hari ketiga, saya dan Adam berencana untuk menjelajah pantai yang ada di Lampung barat. Tujuan kami adalah Pantai Tanjung Setia dan Pulau Pisang. Pantai Tanjung Setia merupakan pantai yang sering dkunjungi oleh wisatawan asing. Ombak di pantai ini memang tinggi dan panjang, sehingga banyak menjadi incaran para surfer dunia. Sedangkan, Pulau Pisang terletak tidak begitu jauh dari Tanjung Setia. Pulau Pisang merupakan sebuah pulau kecil dengan pantai berpasir putih. Kedua obyek wisata ini memang masih jarang dikunjungi oleh wisatawan domestik. Kami ingin sekali melakukan survei mengenai kedua obyek wisata ini. 

Dari rumah Izom, saya dan Adam berencana naik bus saja untuk menuju ke Tanjung Setia. Kami dapat menaiki Bus Krui Putra. Beruntung sekali, karena Izom ikut bersama kami. Kebetulan, Izom hanya sedang menyusun skripsi di kampusnya, sehingga punya waktu luang untuk ikut jalan-jalan. Izom juga sudah pernah sekali ke Tanjung Setia sehingga sudah tahu rute jalan. Kami kemudian menuju ke Lampung Barat dengan menggunakan Honda Jazz (sebenarnya bukan sponsor, tapi gak apa deh dipromosiin hehehe). Kami berangkat dari rumah Izom pukul setengah sembilan pagi. Kami juga menyempatkan diri untuk membeli bekal makanan dan air.

Perjalanan dari Kota Agung ke Tanjung Setia berjarak sekitar 130 km. Di rute awal kami harus melalui Tanjakan Sedayu. Daerah ini sudah masuk ke dalam wilayah Pegunungan Bukit Barisan, sehingga memang banyak tanjakan-tanjakan jahat di sini hehehe. Saking menanjaknya jalan, banyak bus atau truk yang mogok karena mesin yang tidak kuat. Alhamdulilah, Honda Jazz kuat melewati tanjakan ini.

Setelah melewati Tanjakan Sedayu, kami mulai memasuki jalan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Jalan ini memang membelah Taman Nasional. Kami benar-benar masuk dalam hutan rimba. Karena jalan ini membelah hutan, jangan kaget apabila banyak satwa liar, seperti burung dan anjing hutan yang berseliweran di jalanan. Konon kabarnya, harimau dan gajah sumatra juga kerap muncul di jalan ini, namun saat malam hari. Jalan ini cukup panjang, sekitar 25-30 km. Pemandangan di TNBBS yang hijau benar-benar memanjakan mata. Maklum, di Jawa sana, hutan boleh dikatakan sudah tidak ada lagi.

Inilah jalan yang membelah TNBBS. Kami mulai memasuki Kabupaten Pesisir Barat.

Setelah melawati jalan yang membelah TNBBS, kami mulai melewati jalan yang sudah ramai oleh permukiman. Kami sudah berada di jalan yang persis berada di pinggir pantai. Banyak rumah berarsitektur Bali di sisi jalan. Hal ini menandakan bahwa daerah ini merupakan permukiman transmigran asal Bali. Kata Izom, transmigran asal Bali banyak yang bekerja di perkebunan sawit. 

Ya, di sepanjang jalan, banyak ditemukan perkebunan sawit. Di situ juga saya melihat bahwa banyak tanah yang tandus dan kering. Ditambah musim kemarau panjang seperti ini, hawa menjadi sangat panas. Mungkin sawit mendatangkan penghasilan yang besar bagi masyarakat, namun apa manfaatnya bagi lingkungan? Hehehe, maaf ya kalo malah jadi ngomongin sawit. Oke, kita kembali ke perjalanan. Jalan yang kami lalui benar-benar berada di pinggir pantai. Sesekali, kami menyempatkan diri untuk beristirahat dan mengabadikan pemandangan di pesisir pantai.

Udah penuh tuh....

Banyak sapi yang digembalakan di pesisir pantai.

Akhirnya kami sampai di Tanjung Setia pada pukul setengah 12 siang. Kurang lebih, kami menghabiskan waktu tiga jam perjalanan menggunakan mobil. Pantai ini terletak di pinggir jalan raya, sehingga mudah untuk mencarinya. Tanjung Setia sudah mempersolek diri untuk menyambut wisatawan. Sudah ada beberapa penginapan, warung, toko, dan tempat penyewaan papan selancar yang dikelola oleh warga setempat. Begitu turun dari mobil, aroma laut benar-benar terasa. Aroma lautnya berbeda dengan aroma laut di Pulau Jawa. Di sini aromanya sangat mencolok.

Pantai Tanjung Setia memang menjadi destinasi bagi wisatawan asing. Wisatawan yang ada saat itu didominasi oleh para bule. Hanya ada saya, Adam, dan Izom yang menjadi wisatawan domestik pada saat itu. Pantai yang masih berada di teritori Indonesia ini seolah-olah dimiliki oleh orang asing. Mungkin, masyarakat Indonesia masih belum mengetahui informasi mengenai pantai ini. Untuk itu lah tujuan saya datang ke sini. Saya ingin menjadi duta wisata yang menyebarluaskan informasi mengenai destinasi tersembunyi di Indonesia *tjakep*.

Saya, Adam, dan Izom kemudian berjalan-jalan untuk melihat kondisi Pantai Tanjung Setia. Yang saya lihat, pantai ini biasa saja untuk urusan keindahan pesisirnya. Pantai di sini hampir mirip dengan pantai-pantai di selatan Jawa Barat. 





Lalu, apa yang membuat Tanjung Setia terkenal hingga seantero dunia? Daya tariknya bukan karena keindahan pantainya. Yang membuat para wisatawan datang ke Tanjung Setia ialah karena kedahsyatan ombaknya. Tanjung Setia menjadi salah satu tempat terbaik untuk melakukan olahraga selancar di Indonesia. Peselancar dalam negeri mungkin lebih mengenal Bali atau Banyuwangi sebagai tempat berselancar terbaik di Indonesia. Meskipun demikian, ternyata pantai-pantai di Samudra Hindia juga memiliki ombak yang tidak kalah bagusnya. Saat ini, peselancar asing sudah mulai beralih ke Pulau Nias, Mentawai, dan tentu saja Tanjung Setia. Indonesia memang kaya dengan tempat selancar. Bangga!

Tanjung Setia seolah-oleh menjadi kiblat bagi para peselancar. Pantai ini memang memiliki keistimewaan. Ombak di sini cukup konsisten. Ketinggian ombak dapat mencapai 6 meter dan panjangnya dapat mencapai 200 meter. Peselancar mana yang tidak tergoda dengan ombak sebagus itu? Jarang ada pantai di Indonesia yang ombaknya bisa setinggi dan sepanjang itu. Tidak heran apabila banyak peselancar asing yang rela jauh-jauh datang ke sini. Tanjung Setia memang top!




Saya, Adam, dan Izom hanya satu jam berada di Tanjung Setia. Kami harus bergegas pergi ke Dermaga Tembakak, untuk menyeberang ke Pulau Pisang. Jarak dari Tanjung Setia ke Dermaga Tembakak sekitar 15-20 km. Kami berangkat pukul setengah satu siang. Oiya, di sepanjang jalan, saya menemukan banyak proyek perbaikan jalan. Mungkin ini adalah salah satu upaya Pemerintah Daerah untuk kelancaran arus barang/jasa dan tentu saja untuk mempermudah akses wisata. Karena saat itu sudah jam makan siang, maka kami berhenti sejenak di warung nasi. Kami pun memesan ikan bakar untuk mengisi perut. Harga per porsi sebesar Rp20 ribu. Lumayan murah menurut kami apabila dibandingkan dengan harga makanan serupa di Jakarta. Kami juga mendapatkan nasi yang banyak, lalapan, dan sayur asam. Nikmatnya hidup!

Menu ikan bakar. Mumpung lagi ada di daerah pesisir.

Si Izom kelaperan karena nyetir terus. Gua juga lebih laper, padahal gak nyetir hehehe. 

Kami sudah selesai makan dan arloji menunjukkan pukul 2 siang. Sempat ada keraguan, ingin lanjut ke Pulau Pisang atau tidak. Sesuai rencana, jika kami kesorean sampai di Pulau Pisang, maka kami akan mencari penginapan. Karena kami membawa mobil, kami bingung apakah ada tempat yang aman untuk menitipkan mobil di sekitar Pulau Pisang. Setelah berembuk, kami sepakat tidak jadi ke Pulau Pisang. Oke tidak apa-apa. Kami lebih mengutamakan keamanan mobil. Pulau Pisang tak kan kemana. Saya masih dapat mengunjunginya lain waktu. 

Kami bergegas pulang ke Kota Agung. Apabila kemalaman, sudah dipastikan kami akan kesulitan melewati jalan di TNBBS. Maklum, jalan di sana tidak dilengkapi penerangan. Siang hari saja jalanannya gelap, apalagi malam hari. Akhirnya kami sampai di rumah sekitar pukul lima sore. Kami bertiga langsung beristirahat untuk memulihkan tenaga. Sesuai rencana, esok hari kami akan bermain dengan gajah di TNBBS, yihaaa.....

Hari Keempat (10 September 2015)
Misi saya untuk bermain dengan gajah akhirnya dapat terealisasi pada hari ini. Saya, Adam, dan Izom akan bermain dengan Gajah di TNBBS. Pada hari sebelumnya, kami sudah melewati TNBBS saat menuju ke Pantai Tanjung Setia. Oleh karena itu, kami sudah mengetahui pintu masuk untuk menuju ke dalam TNBBS. Sebelum memasuki TNBBS, pengunjung diwajibkan untuk melapor dan mengurus perijinan. Bagaimanapun juga, TNBBS merupakan kawasan konservasi. Tidak boleh sembarang orang dapat masuk ke dalamnya. 

Untuk mengurus perijinan, pengunjung harus datang ke kantor Balai Besar TNBBS yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No.19, Kota Agung. Saya, Adam, dan Izom kemudian menuju ke sana untuk mengurus perijinan. 

Kantor Balai Besar TNBBS

Di kantor Balai Besar, kami diwajibkan untuk mengisi buku tamu dan menjelaskan tujuan kedatangan ke TNBBS kepada petugas. Kami pun menjelaskan bahwa kami hanya ingin bermain dengan gajah di TNBBS. Petugas kemudian mengarahkan kami untuk datang saja ke Resort Pemerihan. Di resort tersebut, terdapat penangkaran gajah. Karena tujuan kami hanya untuk berwisata, kami tidak perlu mengurus perijinan di kantor ini. Kami hanya diarahkan untuk datang ke Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Semaka. Letaknya berada di sisi jalan yang membelah TNBBS, sehingga tidak akan sulit mencarinya. Di Kantor Bidang, nantinya kami dapat membeli tiket masuk untuk wisata. Setelah selesai melapor, kami pun pamit dan kembali menuju ke rumah untuk bersiap-siap.

Tidak jauh dari kantor Balai Besar, ada sebuah dermaga. Kota Agung memang terletak di pesisir selatan Lampung. Izom mengajak saya dan Adam untuk melihat-lihat dermaga tersebut. Di dermaga ini, saya dapat melihat aktivitas nelayan setempat dan keindahan Teluk Semaka.





Setelah puas mengabadikan gambar di dermaga, kami bergegas menuju ke rumah untuk persiapan berangkat ke TNBBS. Saya ingin menjelaskan sedikit profil mengenai TNBBS. Seperti dikutip dari situs resmi TNBBS (www.tnbbs.org) dan situs resmi Kementerian Kehutanan (www.dephut.go.id), TNBBS memiliki luas sekitar 355.511 ha yang terbentang di bagian barat Provinsi Lampung hingga selatan Provinsi Bengkulu. TNBBS memiliki ekosistem yang beragam, mulai dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan pamah tropika, hingga hutan pegunungan. Terdapat berbagai flora dan fauna langka di kawasan ini. Flora khas Taman Nasional ini ialah bunga bangkai jagung (Amorphopallus decus-silvae), Bunga Bangkai Raksasa (A. titanum), dan Anggrek Raksasa (Grammatophylum speciosum). Kawasan ini juga menjadi rumah bagi hewan langka seperti harimau sumatra (panthera tigris sumatrae), gajah sumatra (Elephas masimus sumatranus), badak sumatra (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), atau beruang madu (Helarctos malayanus malayanus).

Ada beberapa spot yang dapat dikunjungi oleh wisatawan di TNBBS, yaitu:
1. Rhino Camp/Sukaraja Atas: Di tempat ini, wisatawan dapat menjelajah hutan, berkemah, atau mengamati flora dan fauna, terutama badak sumatra.
2. Tampang, Blubuk, Danau Menjukut, Way Sleman, dan Blimbing: Kawasan ini berada di daerah pesisir. Wisatawan dapat menjelajah hutan, menelusuri sungai, dan mengamati flora/fauna.
3. Kubu Perahu: Wisatawan dapat mengunjungi dua air terjun di kawasan ini.
4. Pemerihan: Kawasan ini merupakan pusat penangkaran gajah. Wisatawan dapat menjelajah hutan atau melakukan patroli gajah di tempat ini. 

TNBBS berada di bagian barat Provinsi Lampung. Akses paling dekat untuk menuju ke TNBBS adalah melalui Kota Agung. Kota Agung terletak di sebelah timur TNBBS. Jarak Kota Agung-TNBBS sekitar 40-50 km. Perjalanan ke TNBBS kami mulai. Berbeda dengan hari sebelumnya. Hari ini kami akan berangkat dengan menggunakan sepeda motor. Izom menggunakan KLX 150 sedangkan saya dan Adam menggunakan motor matic. Kami memang sengaja menggunakan sepeda motor, supaya dapat menghirup secara langsung udara TNBBS. Kami mulai berangkat sekitar pukul 10.30 WIB. 

Sesuai dengan arahan petugas kantor Balai Besar TNBBS, kami mampir terlebih dahulu ke Kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Semaka. Lokasinya persis berada di sisi jalan. Di sini, kami membeli tiket masuk. Tarif tiket sebesar lima ribu rupiah/orang dan tarif masuk motor sebesar lima ribu rupiah/motor. Karena ingin melihat gajah, kami diarahkan untuk datang ke Pemerihan. Kami diberi arahan mengenai kondisi di sana dan disuruh memberi uang tips bagi pawang gajah di sana. 

Resort Pemerihan terletak tidak begitu jauh dari Kantor Bidang. Kami bertiga akhirnya sampai di Pemerihan sekitar pukul 1 siang. Resort Pemerihan juga terletak di sisi jalan raya, sehingga mudah menemukan lokasinya. Oiya, tim 100 Hari Keliling Indonesia juga pernah ke sini loh. Akhirnya saya dapat mengikuti jejak mereka hehehe.

Resort Pemerihan

Di resort, terdapat beberapa petugas yang bekerja. Kami menjelaskan maksud kedatangan serta menunjukkan tiket yang sudah dibeli. Kami meminta ijin masuk ke dalam Taman Nasional untuk melihat gajah. Kami ditemani seorang petugas, yaitu Pak Prabowo. Pak Prabowo mengantarkan kami untuk menemui mahot atau pawang gajah yang ada di dalam Taman Nasional. Kebetulan, ada tiga orang mahot yang sedang memandikan gajah di sebuah sungai. yang sedang memandikan gajah di sebuah sungai. Kami tidak ingin menyia-nyiakan momen langka ini. Kami pun segera bergegas menuju sungai yang dimaksud.

Sungai yang mengering karena kemarau

Bergegas menemui gajah

Sungai tempat memandikan gajah lokasinya tidak begitu jauh dari Pos pertama Resort Pemerihan. Kami hanya cukup berjalan sejauh 1,5 km. Sungai yang dimaksud akhirnya terlihat. Puji Tuhan. Akhirnya saya dapat melihat gajah langsung di habitat aslinya. Maklum, selama ini saya hanya melihat gajah di Kebun Binatang Ragunan.






Terdapat dua ekor gajah yang saya lihat saat itu. Keduanya bukanlah gajah liar, melainkan gajah penangkaran. Total, terdapat enam ekor gajah penangkaran di Resort Pemerihan. Empat ekor gajah yang lain berada di lokasi yang berbeda. Selain gajah penangkaran, terdapat pula gajah liar yang berada jauh di dalam hutan. Kedua gajah yang saya lihat masih kecil. Yang satu berumur tujuh tahun dan yang paling kecil berumur satu tahun. Karena masih kecil, gajah ini masih imut-imutnya. Gajah-gajah ini juga sedang disapih (dipisahkan dari induknya), sehingga kaki mereka masih dirantai. Gajah ini disapih supaya mereka dapat mandiri dan mencari makan sendiri.  

Akhirnya kesampaian juga misi saya untuk bermain dengan gajah di rumah tinggalnya. Saya melihat bahwa para mahot sangat menyayangi gajah-gajah ini. Mereka merawat si gajah dengan penuh kasih sayang. Persis seperti orangtua yang merawat anak-anaknya.

Kami pun puas bermain dengan gajah. Saya dan para mahot kembali ke resort. Sebagai tanda terima kasih, kami memberikan uang kepada ketiga mahot (menurut petugas di Kantor Bidang, beri saja uang tips 100 ribu rupiah). Di Pemerihan, terdapat pula tempat menginap apabila ada wisatawan yang ingin bermalam. Bila memiliki tenda, wisatawan juga dapat berkemah di sini. Apabila menginap, wisatawan dapat membawa bahan makanan. Nantinya, petugas di sini yang akan memasaknya. 

Ini tempat para mahot menginap

Inilah penginapan yang dapat digunakan oleh wisatawan.

TNBBS memiliki potensi pariwisata yang dapat dikembangkan. Meskipun demikian, Pak Prabowo menyatakan bahwa pihak Taman Nasional belum memiliki legalitas hukum untuk menjadikan TNBBS sebagai obyek wisata. Pemerintah Pusat, yakni Kementerian Kehutanan masih belum mengijinkan bila TNBBS menjadi obyek wisata, karena alasan konservasi. Padahal, TNBBS dapat menjadi satu paket wisata di Lampung bagian barat bersama dengan Pulau Pisang dan Tanjung Setia. Apabila dikelola dengan baik, fungsi konservasi dan fungsi rekreasi di TNBBS dapat berjalan beriringan. 

Misi saya di TNBBS sudah selesai. Saya berhasil bermain dengan gajah di habitat aslinya. Badan rasanya capek setelah bermain dengan jagoan kecil. Saya, Adam, dan Izom pun berpamitan kepada para petugas. Kami harus pulang. Esoknya, saya dan Adam harus kembali ke Jakarta.

Hari Kelima (11 September 2015)
Hari ini merupakan hari terakhir saya dan Adam berada di rumah Izom. Saya dan Adam harus kembali ke Jakarta. Izom dan keluarganya sangat baik. Kami diterima dengan baik di rumahnya. Setelah menginap selama tiga hari tiga malam, kami harus pamit. Saya dan Adam berpamitan dan berterimakasih kepada Pak Ansori, Bu Ansori, dan adiknya Izom. 

Sebelum meninggalkan Kota Agung, Izom mengajak kami untuk main di Air Terjun Way Lalaan. Way Lalaan merupakan salah satu obyek wisata unggulan di Kota Agung. Rencananya, kami akan mandi di sana. 

Way Lalaan terletak tidak begitu jauh dari pusat Kota Agung. Jaraknya hanya sekitar 4 km. Pintu masuk obyek wisata ini terletak persis di jalan raya. Kami sampai di Way Lalaan sekitar pukul sembilan pagi. Tarif masuk per orang sebesar 5 ribu rupiah dan mobil sebesar 10 ribu rupiah. 

Dari parkiran, kami harus menuruni anak tangga yang cukup panjang, jumlahnya ada 130 anak tangga. Tangga ini dibuat oleh Pemerintah kolonial Belanda. Ya, Air Terjun ini mulai dijadikan tempat wisata sejak tahun 1930. Sebenarnya ada tiga air terjun di kompleks ini. Dua air terjun lagi terletak kurang lebih 200 meter dari air terjun utama. Alhamdulilah, karena hari itu adalah weekday, maka sangat sepi pengunjung. Hanya ada kami bertiga di Air Terjun yang memiliki ketinggian sebelas meter ini. Air Terjjun ini seakan hanya milik kami hahaha. Sesuai rencana, mandi pun dimulai. Way Lalaan juga dipakai oleh masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci, dan kebutuhan air lain.





Seluruh wilayah Indonesia, termasuk Lampung sedang dilanda kemarau panjang dan fenomena el nino. Selama perjalanan di Lampung, saya melihat bahwa banyak sungai dan sawah yang mengering. Di Air Terjun ini, air masih mengalir dengan deras. Mungkin, Pegunungan Bukit Barisan masih bermurah hati untuk memberikan air ke sungai Way Lalaan. Hutan yang masih terjaga dapat menyimpan kandungan air yang melimpah. Jadi, masih mau babat hutan? Hehehehe....

Di dekat Air Terjun, pengelola sudah menyediakan tempat sampah. Meskipun demikian, banyak sampah bertebaran di sekitar air terjun. Ada bungkus rokok, kaleng minuman, bahkan celana boxer. Mental orang-orang ini memang masih terbelakang. Sudah disediakan tempat sampah, masih saja buang sembarangan. Kebetulan saya membawa kantung plastik. Saya pun memunguti sampah-sampah itu (ceritanya pamer hahahaha). Meskipun tidak bisa dibersihkan seluruhnya, paling tidak sampah di sini berkurang. Keindahan Air Terjun Way Lalaan tidak boleh ternoda oleh sampah.

Ritual mandi di Air Terjun pun selesai. Saya dan Adam harus pamit ke Izom. Terima kasih sudah menjadi gatekeeper selama di Lampung. Kami pun harus pulang. Sayonara......

Rincian biaya yang dikeluarkan:
-Kereta api Krakatau Tanah Abang-Merak: Rp30 ribu
-Tiket penyeberangan Merak-Bakauheni: Rp15 ribu
-Tiket ruang penumpang di dalam kapal: Rp10 ribu
-Mobil Travel Bakauheni-Rajabasa: Rp35 ribu
-Bus Puspa Jaya Rajabasa-Kota Agung: Rp25 ribu
-Masuk Pantai Tanjung Setia: gratis
-Tiket masuk TNBBS: Rp5 ribu/orang
-Tiket masuk motor TNBBS: Rp5 ribu/motor
-Uang tip untuk mahot: Rp100 ribu
-Tiket masuk Way Lalaan: Rp5 ribu/orang
-Tarif parkir mobil di Way Lalaan: Rp10 ribu/mobil
-Bus Rajabasa-Bakauheni: Rp30 ribu
-Bus Merak-Jakarta: Rp35 ribu

2 komentar:

  1. hallo, saya kebetulan tertarik dengan cerita di blog mas, boleh minta cpnya untuk tanya2? soalnya saya deket2 ini mau ke daerah lampung juga. makasih

    BalasHapus
  2. keren! yang mau wisata ke Taman Nasional Way Kambas bisa contact saya. WA 0857800751780 atau ig @raisabariro
    insyaallah saya bisa bantu, soalnya rumah saya 2km dari TNWK. kita bisa bertukar homestay untuk sama sama menekan budget saat wisata :)

    BalasHapus