Rabu, 14 Oktober 2015

Baduy dan Pariwisata: Sebuah Catatan Kritis

".......pembangunan kepariwisataan tanpa mempertimbangkan aspek sosial budaya secara matang, justru akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. Pariwisata memiliki daya dobrak yang relatif tinggi untuk merusak kebudayaan masyarakat, khususnya di daerah pariwisata." (Setyadi, 2007)


Baduy dan Pariwisata, Tetapkah Budaya Asli Terjaga?
Orang Baduy telah membuka diri mereka untuk pariwisata. Setiap akhir minggu, banyak wisatawan (terutama dari Ibukota) yang ingin melihat kehidupan masyarakat Baduy. Mereka penasaran dengan kehidupan orang Baduy yang sederhana, jauh berbeda dengan pola hidup orang di perkotaan.


Pariwisata di Baduy memang belum tergolong mass tourism. Baduy belum ditetapkan sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW). Wisatawan berkunjung ke Baduy hanya pada saat akhir minggu. Biasanya mereka datang pada hari Sabtu dan pulang pada hari Minggu. Wisatawan dilarang untuk menginap lebih dari dua malam. Pariwisata di Baduy tergolong sebagai pariwisata budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang menawarkan kebudayaan, baik yang bersifat nyata maupun abstrak (Widhiastuty, 2013). Daya tarik pariwisata budaya adalah living culture (budaya yang masih ada) dan culture heritage (warisan budaya masa lalu)

Di satu sisi, pariwisata budaya merupakan hal yang baik untuk edukasi supaya orang lain dapat mempelajari budaya asli suatu kelompok masyarakat. Di sisi lain, sudah ada beberapa riset yang menyatakan bahwa pariwisata budaya juga mendatangkan efek negatif. Berdasarkan riset Karini (2011), pariwisata budaya juga berdampak negatif seperti merendahkan budaya dan tradisi, komersialisasi budaya, merusak tradisi lokal, menjauhkan dan menghilangkan identitas budaya, hilangnya keaslian dan nilai-nilai sejarah, industrialisasi, hingga modernisasi. 


Adanya pariwisata di Baduy juga membuat masyarakat adat setempat rentan terhadap pengikisan budaya asli, Orang Baduy rentan terhadap nilai-nilai dari luar. Saya menyaksikan hal tersebut saat saya berkunjung ke sana, 10-11 Oktober 2015. Dari pengamatan saya, sudah terjadi beberapa pergeseran budaya di Baduy Dalam. Beberapa penduduk Baduy Dalam sudah ada yang memiliki barang elektronik, yaitu senter sebagai alat penerangan di malam hari. Bahkan ada selentingan kabar yang menyatakan bahwa sudah ada orang Baduy Dalam yang menggunakan telepon genggam. Mereka menggunakan barang-barang tersebut secara diam-diam, tanpa diketahui pemimpin adat. 

Tentu saja orang luar berandil besar terhadap perilaku itu. Saya juga melihat bahwa ada beberapa wisatawan dari rombongan lain yang dengan santainya menjinjing tab mereka di hadapan penduduk asli. Ada juga wisatawan yang dengan asyiknya mendengarkan lagu menggunakan headset. Sesuai ketentuan, tentu saja barang elektronik seperti itu tidak boleh dipamerkan di depan umum. Pengunjung harus mematikan barang elektronik dan menyimpannya di tas mereka. Meskipun demikian, tidak ada orang Baduy yang menegur wisatawan tersebut. Sepertinya mereka memang sudah permisif terhadap tindakan tersebut. Hemmm...mungkin sudah sering ya ada wisatawan yang seperti itu, sehingga mereka juga sudah malas untuk menegur.


Mereka juga sudah mengonsumsi bahan kimia yang sebetulnya dilarang. Wisatawan, termasuk rombongan saya, membawa perbekalan sendiri untuk dikonsumsi di Baduy Dalam. Kami tentu saja membawa makanan sintetis seperti sarden, mie instan, atau kornet. Makanan-makanan itu pada akhirnya tidak hanya dikonsumsi wisatawan, melainkan juga oleh penduduk asli Baduy. Hal ini menandakan bahwa orang Baduy Dalam sudah terkontaminasi dengan bahan kimia.

Anak-anak Baduy adalah pihak yang paling rentan. Karena masih polos, mereka paling rentan dicekoki nilai-nilai luar. Mereka akan penasaran dengan perilaku wisatawan yang sudah pasti berbeda dengan budaya mereka. Lambat laun, anak-anak ini rentan meniru perilaku orang kota, seperti guyonan, bahasa, dan lainnya. Anak-anak Baduy Dalam juga sudah membeli jajanan yang mengandung bahan kimia. Di Baduy Dalam saat ini, sudah terdapat warung yang dibuka untuk memenuhi wisatawan. Saya melihat bahwa ada anak Baduy yang membeli makanan berwarna-warni di warung tersebut.

Perilaku orang Baduy yang meniru gaya wisatawan sebetulnya juga terjadi di daerah wisata lain di dunia. Di Tonga dan Malaysia misalnya. Pariwisata telah mengikis budaya asli masyarakat yang tinggal di kawasan wisata. Mereka cenderung meniru pola hidup wisatawan, karena mereka menganggap bahwa budaya wisatawan lebih maju dan lebih tinggi nilainya (Setyadi, 2007). Di Indonesia, kita dapat melihat adanya pengikisan budaya di Bali. Bali merupakan tujuan wisata utama di Indonesia. Kebudayaan Bali yang khas menjadi salah satu magnet bagi wisatawan. Dengan masifnya pembangunan pariwisata, masyarakat Bali mulai mengkomersialisasikan budaya mereka. Tradisi seperti tarian atau ritual yang awalnya hanya dilakukan untuk pemujaan, kini sudah di"uang"kan untuk hiburan wisatawan.

Wisatawan memadati jembatan akar, Baduy Luar

Sebetulnya, masyarakat Baduy memiliki mekanisme pengawasan sendiri untuk menjaga kemurnian adat dari orang luar dan wisatawan, Sesekali, jaro Baduy Dalam melakukan inspeksi untuk melihat apakah ada benda-benda yang dapat melunturkan tradisi mereka. Jika terdapat benda "asing", maka jaro akan menyita barang tersebut. Meskipun demikian, hal tersebut dirasa belum efektif. Saya menyarankan agar sistem pariwisata di Baduy dievaluasi atau dikaji kembali. Pariwisata tetap ada, namun sistemnya diatur sedemikian rupa supaya tidak merusak budaya Baduy. Ada beberapa rekomendasi yang saya berikan:

1. Perlu adanya penegakan aturan yang lebih ketat agar wisatawan yang masuk benar-benar menaati peraturan yang ada. 
2. Jumlah pengunjung perlu dibatasi, untuk menjaga keheningan dan kenyamanan penduduk asli Baduy.

Sekian catatan dari saya mengenai pariwisata di Baduy. Pariwisata memang perlu, namun perlu dikemas dalam suatu sistem yang berkelanjutan. Saya sadar bahwa saya juga ikut berandil terhadap pengikisan budaya di Baduy. Maafkan kami warga Baduy.....


Rujukan:
Karini, Ni Made Oka. (2011). Pengelolaan Daya Tarik Wisata Tinggalan Arkelogi yang Berkelanjutan di Bali. Analisis Pariwisata, Vol. 11, No.1, 2011: 1-7).

Setyadi, Yulianto Bambang. (2007). Pariwisata dan Perubahan Nilai-nilai Sosial Budaya Berdasarkan Lingkungan Tradisi Pada Masyarakat Bali. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2007: 97-109.

Widhiastuty, Ashriany. (2013). Strategi Pengembangan Kampung Adat Banceuy Sebagai Kawasan Wisata Budaya di Kabupaten Subang. Universitas Pendidikan Indonesia.

1 komentar:

  1. Banten punya banyak banget tempat wisata yang bagus, tapi baduy belum pernah dikunjungi dan baru trip ke pulau Peucang aja..

    BalasHapus