Senin, 26 Oktober 2015

Kok Namanya Ngaku-ngaku Backpacker Sih?

Ngaku-ngaku Backpacker.......Sebuah nama tidak penting yang kadang kala juga bisa menjadi penting. Sebetulnya sih, nggak ada yang nanya kenapa blog saya ini bernama "Ngaku-ngaku Backpacker" (ngenes banget sih gak ada yang nanya hahaha). Tapi gak apa, saya orangnya memang penuh inisiatif. Sebelum ada orang yang bertanya suatu saat nanti, saya sudah bisa menyiapkan jawabannya (sok iye banget). Sempat bingung juga untuk menentukan nama dari blog ini. Setelah memilah-milah beberapa nama, akhirnya nama ini lah yang saya pilih sebagai nama blog saya. 

Untuk membuat suatu blog, memang dibutuhkan suatu nama untuk menjadi judul dari blog kita. Bagi sebagian orang, mungkin nama tidaklah menjadi hal yang utama. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang pujangga yang hidup di masa Renaissance, Wiliam Shakespeare. Shakespeare memiliki petikan terkenal, yakni: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet". Apalah arti sebuah nama? Jika bunga mawar kita beri nama yang berbeda, tetap saja ia memiliki keharuman. 

www.thefeministwire.com

Di sisi lain, nama dapat menjadi penting bagi sebagian orang. Pepatah Konfusius mengatakan bahwa: "The beginning of wisdom is to call things by their proper name". Artinya, suatu kearifan akan muncul jika kita memberi nama yang baik kepada suatu hal. Dengan nama yang tepat, niscaya akan muncul kebaikan dari nama tersebut. 

Saya pribadi menganut kedua pepatah dari Shakespeare dan Konfusius. Bagi saya, nama bukanlah hal utama. Yang terpenting dari suatu blog adalah isi tulisannya. Meskipun demikian, nama juga penting. Yang paling pertama dilihat dari suatu hal ialah nama. Nama dapat menimbulkan kesan awal bagi seseorang ketika melihat suatu hal. 

Nama "Ngaku-ngaku Backpacker" ini sebetulnya adalah sebuah kritik sosial. Kedengarannya sih serius. Tapi tenang saja, ini sebetulnya hanya lucu-lucuan saja kok hehehe. Sebenarnya nama blog saya ini merupakan tanggapan atas fenomena merebaknya "traveller dadakan" yang mulai muncul beberapa tahun belakangan. Mereka-mereka ini sebetulnya merupakan orang-orang yang ikut-ikutan menjadi traveller karena tren. Hal tersebut harus saya akui karena mulai munculnya tayangan-tayangan travelling macam "5cm" atau "My Trip My Adventure".

Di beberapa tempat, saya kerap berjumpa dengan beberapa traveller dadakan ini. Banyak dari mereka yang pergi ke suatu destinasi dengan tujuan hanya untuk aksi, selfie, lalu unggah ke media sosial. Mereka cenderung selfish, abai terhadap lingkungan dan orang di sekitarnya. Memang, beberapa program travelling, terutama MTMA, mengajarkan pemirsanya untuk gagah-gagahan. "Ini loh trip gue", "Jangan di rumah aja bro, Indonesia itu indah loh". Itu lah secuplik jargon yang mereka ajarkan, sehingga para remaja yang tadinya tidak hobi travelling, mendadak menjadi traveller supaya dibilang kekinian.

Selain itu, saya sering melihat jargon atau judul berita yang menyatakan bahwa seseorang jangan mengaku sebagai backpacker/traveller jika belum pergi ke suatu tempat. Jargon atau judul berita yang bagaimana sih? Berikut ini adalah contoh-contohnya:






Beberapa cuplikan di atas merupakan beberapa contoh jargon atau judul berita yang saya maksud. Sebetulnya sih itu hak mereka untuk membuat tulisan seperti itu. Saya juga mengerti bahwa maksud dari berita itu adalah: "Eh tempat ini bagus loh, sayang banget deh kalau lo ke Jogja tapi gak ke sini". Berita-berita tersebut sebetulnya memang ingin mempromosikan suatu tempat yang indah, yang sayang sekali apabila dilewatkan oleh para wisatawan. 

Tapi sayang sekali, beberapa kali saya menemui ada orang yang memamerkan keberhasilannya pergi ke suatu tempat secara berlebihan, bahkan mendiskreditkan orang lain yang belum pernah pergi ke tempat itu. "Nih Bro Rajaampat. Belum backpacker lo kalau belum kemari". Ada juga beberapa orang yang posting foto keren mereka di media sosial, dan dengan entengnya bilang: "Ini dia Tana Toraja. Indonesia itu indah loh, masih betah di rumah aja?"

Saya yakin pasti beberapa di antara kalian pernah mendengar celotehan seperti itu. Itu mutlak hak asasi mereka untuk berkata seperti itu. Memamerkan sesuatu merupakan hak setiap individu, selama tidak melanggar ketentuan hukum. Pamer juga merupakan bagian dari aktualisasi diri. Lagipula, untuk apa kita jalan-jalan apabila hasil dokumentasinya tidak dipublikasikan? 

Di sisi lain, terkesan tidak etis apabila kita mendiskreditkan orang lain hanya karena mereka tidak mampu melakukan apa yang sudah kita lakukan. Di telinga saya, kalimat-kalimat tersebut seperti memiliki nada angkuh, jumawa, dan egois. 

Menurut saya, semua orang berhak menjadi backpacker. Meskipun dia hanya berpergian dari Jakarta ke Puncak, ia tetap memiliki hak untuk menyebut dirinya backpacker. Lagipula. apa kriteria atau batasan untuk menyebut seseorang sebagai backpacker atau bukan? Tidak ada kriteria baku untuk hal itu.

Menghargai orang lain juga menjadi hal penting. Sepertinya sangat tidak elok apabila kita menyuruh orang lain untuk berpergian keliling Indonesia dan jangan berdiam diri di rumah saja. Berani sekali kita berkata demikian tanpa memperhatikan kondisi orang lain. Kita juga harus menghargai perasaan orang lain yang boleh dikatakan tidak sering berlibur seperti kita. Mereka memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Mereka harus bekerja keras untuk mencari nafkah kehidupan. 

Berdasarkan riset, berlibur memang penting untuk keseimbangan hidup. Berlibur juga bagus untuk perkembangan pariwisata Indonesia. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika kita tidak jumawa dan memahami kondisi orang lain.

Sebenarnya bukan hanya saya yang "gerah" dengan perspektif seperti itu. Seorang teman saya di komunitas motor juga mengalami hal serupa. Di komunitasnya, ada beberapa bikers senior yang sudah pernah turing jauh, dan lantas mendiskreditkan bikers lain yang belum pernah turing sejauh yang ia lakukan. Menurut bikers senior tersebut, jika belum pernah turing jauh, maka seseorang tidak pantas untuk disebut biker. Gerah dengan sikap tersebut, akhirnya teman saya membuat komunitas baru, namanya "Pura-pura Bikers". 

Tulisan ini dibuat dengan sudut pandang saya sendiri. Mohon maaf apabila tulisan ini tidak berkenan. Saya sangat menerima kritik dan masukan, supaya perspektif yang saya miliki dapat lebih luas. Terima kasih banyak.

UPDATE:
Setelah saya merilis tulisan ini, ada artikel serupa yang ditulis Mbak Eva Bachtiar di laman phinemo.com. Judul tulisannya adalah "Tak Perlulah Ajakan Ayo Bertualang". Isi dari tulisannya kurang lebih sama, mengkritisi fenomena traveller kekinian akibat tayangan travelling yang minim edukasi. Ini tautannya: http://phinemo.com/tak-perlulah-ajakan-ayo-bertualang/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar