Sabtu, 04 Juli 2020

COVID-19 dan Sebuah Catatan Lepas

Sejarawan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus yang terbit tahun 2016 menekankan bahwa hanya terdapat tiga masalah yang dihadapi oleh umat manusia di setiap zaman, yaitu peperangan, kelaparan, dan wabah penyakit. Hal tersebut terbukti dan masih terjadi hingga hari ini. Peperangan secara de facto masih terjadi di Suriah dan Ukraina. Bencana kelaparan dapat kita temui di Yaman atau negara-negara miskin di benua Afrika. Dan tentu saja di tahun 2020 ini dunia sedang mengalami wabah penyakit yang berimbas ke seluruh aspek kehidupan. Banyak Ahli menyebut bahwa wabah penyakit datang dalam periode-periode tertentu bagaikan sebuah siklus. Wabah penyakit terakhir yang meluluhlantakkan banyak negara adalah flu spanyol yang muncul di tahun 1918. Di abad ke-21 ini, syukurlah dunia mampu mengatasi wabah SARS (2003), MERS (2012), dan Ebola (2014). Di tahun 2020 ini, barulah umat global tidak mampu mengendalikan sebuah penyakit baru yang masih misterius, yaitu COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-Cov-2.




Dalam tulisan kali ini, saya ingin menyampaikan beberapa pendapat, keluh kesah, dan saran yang semuanya bercampur menjadi satu. Mohon maaf apabila tulisan saya ini tidak terstruktur dengan rapi dan acak-acakan. Namanya juga ide-ide spontan yang terlintas di pikiran dan langsung saya tuangkan ke secarik kertas. Berikut ini beberapa pemikiran yang terlintas di pikiran saya terkait pageblug COVID-19 ini:
  • Hingga hari ini belum ada penelitian sahih yang menunjukkan dari mana virus SARS-Cov-2 berasal. Meskipun COVID-19 pertama kali dilaporkan di Tiongkok oleh otoritas setempat pada 31 Desember 2019, hal tersebut belum tentu membuktikan bahwa virus tersebut berasal dari negeri tirai bambu. Peneliti Prancis mengidentifikasi bahwa COVID-19 sudah beredar di negaranya sejak November 2019. Penelitian terbaru dari Universitas Barcelona bahkan menyebutkan bahwa SARS-Cov-2 sudah ada di Spanyol sejak Maret 2019. Yang pasti, virus ini berasal dari hewan dan bermutasi hingga dapat menulari manusia. Terdapat sekitar 200 jenis virus corona di dunia, dan tujuh di antaranya berbahaya bagi manusia. Kepala Lembaga Eijkman Prof. Amin Soebandrio menjelaskan bahwa virus corona sudah ada sejak lama. Mengapa akhirnya bisa menulari manusia? Karena jarak antara hewan dan manusia yang semakin dekat. Menurut saya, manusianya yang mendekati si hewan. Hutan dirambah, dialihfungsikan menjadi lahan pertanian atau permukiman. Hewan liar turut disantap saking rakusnya manusia akan kebutuhan nutrisi. Saat Panama membangun terusan, saat itu hutan dibabat dan daratan digali besar-besaran. Alam bereaksi dengan memunculkan wabah malaria di negeri tersebut. Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menyatakan bahwa penularan COVID-19 20 kali lipat lebih kuat dibandingan dengan SARS. Virus terus bermutasi agar menjadi lebih kuat daya tularnya. Yang jelas, pasar basah yang menjual hewan liar menjadi salah satu vektor yang membuat virus ini menyebar lebih luas.
Salah Satu Pasar Basah Huanan di Wuhan, Tiongkok yang diindikasi menjadi tempat penularan awal COVID-19

  • Virus ini awalnya hanya menjangkiti orang-orang yang menempati kasta sosial-ekonomi tinggi. Mereka adalah para pebisnis dan pelancong mancanegara yang memiliki mobilitas tinggi. Mereka tentu saja menggunakan pesawat terbang yang berbiaya mahal, dan ada pula yang menumpangi kapal pesiar untuk berwisata, seperti kapal pesiar Diamond Princess. Pada akhirnya virus ini tidak memandang stratifikasi sosial. Semua orang dari kasta apapun sama peluangnya untuk terpapar virus ini. Ini membuktikan juga bahwa globalisasi tidak hanya mempermudah penyebaran ideologi, arus modal, atau data, namun juga wabah penyakit.
  • Ada berbagai tipe orang saat pandemi COVID-19 ini. Pertama, orang yang sangat panik. Mereka memborong dan menimbun sembako, masker, dan alat-alat kesehatan lainnya. Bahkan saking paniknya, terkadang menjadi cuti nalar, seperti pasangan suami istri di Gandaria City yang berbelanja menggunakan hazmat. Kedua, orang yang waspada. Mereka tidak terlampau panik, namun juga tidak menganggap enteng. Mereka selalu sedia masker dan penyanitasi tangan apabila ke luar rumah dan selalu menerapkan protokol kesehatan. Ketiga, orang yang santai-santai saja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mereka tidak menyadari betapa pontang-pantingnya tenaga kesehatan dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 bekerja siang dan malam. Seorang sosiolog Universitas Airlangga bahkan menyebutkan kultur masyarakat “bonek” menjadi salah satu penyebab Kota Surabaya menjadi zona merah (kehitam-hitaman) COVID-19.
  • Mungkin baru kali ini, kita tersadar bahwa penduduk yang besar jumlahnya benar-benar menjadi tantangan serius untuk mengelolanya. Biasanya suatu negara membanggakan jumlah penduduk yang besar, karena pasar yang juga besar dan banyak yang bisa dipajaki. Negara-negara dengan jumlah penduduk besar seperti Amerika Serikat atau India saat ini kewalahan mengatur agar penduduknya tidak tertular COVID-19. Di Amerika Serikat bahkan jumlah infeksi baru per hari dapat tembus 40 ribu. Negara mini dengan jumlah penduduk sedikit seperti Singapura dianggap mampu mengendalikan kasus COVID-19, padahal kepadatan penduduknya terbilang tinggi. Singapura juga merupakan hub kegiatan internasional, sehingga banyak warga mancanegara yang berkunjung ke sana. Apa yang membuat Singapura berhasil? Karena masyarakatnya sudah dididik untuk disiplin sedari dulu. Sebenarnya bukan masalah jika jumlah penduduknya besar, yang penting bagaimana mengorganisasinya.
  • Terlepas dari mana virus ini berasal, tidak perlu kita menyalahkan satu negara atas malapetaka global ini. Mari kita semua merenungkan diri, apakah kita benar-benar bersih dari dosa? Apakah kita sudah membuang sampah pada tempatnya? Apakah kita sudah mengonsumsi produk-produk yang berkelanjutan? Saya sangat terenyuh dengan khotbah Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo dalam Misa Hari Raya Paskah di Gereja Katedral, Minggu, 12 April 2020. Dalam khotbahnya, Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo mengatakan bahwa wabah adalah reaksi natural atas kesalahan manusia secara kolektif terhadap alam. Dalam bahasa iman, wabah disebabkan oleh “dosa ekologis”. Begini isi khotbah tersebut: “Kita semua terlibat di dalam dosa harmoni alam yang telah diciptakan oleh Allah sebagai semua baik dan amat baik adanya. Itulah yang disebut sekali lagi dosa ekologis. Wabah menurut pendapat ini adalah isyarat alamiah bahwa manusia telah mengingkari jati dirinya sebagai citra Allah yang bertugas untuk menjaga harmoni alam bukan merusakknya. Wabah menyadarkan bahwa manusia adalah ciptaan yang rapuh yang tidak mungkin bertahan jika ciptaan lainnya dihancurkan.” Jadi jangan merasa paling suci dan paling bersih, karena pageblug ini merupakan imbas kesalahan bersama dan tentu saja menjadi tanggung jawab secara renteng seluruh umat manusia.
Hutan dan ekosistem di dalamnya semakin terdesak oleh interupsi manusia.
  • Manusia mengambil terlalu banyak dari alam. Hewan liar masih dijadikan santapan, padahal Tiongkok misalnya, tidak lagi mengalami masa kelaparan akut seperti empat dekade lalu. Pasar-pasar basah yang menampung dan menjual hewan liar juga tersebar di berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Butuh perubahan budaya yang panjang agar masyarakat bisa meninggalkan kebiasaan kuliner ekstrem ini. Hewan liar bukanlah hewan domestik, seperti misalnya ayam atau sapi yang memang sengaja diternakkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi manusia. Bumi pada titik tertentu akhirnya membalasnya. Bumi ingin agar manusia menghentikan segala tindak pendzoliman terhadapnya. Virus SARS-Cov-2 mulai tiba di Indonesia pada bulan Maret 2020. Bulan Maret ini bertepatan dengan musim hujan yang sangat intensif. Kala itu hujan turun dengan sangat deras, seolah-olah ingin mencuci Bumi ini dari semua kotoran dosa manusia. Ya, manusia statusnya hanya numpang hidup di Bumi, menumpang namun tidak tahu diri.
  • Hujan deras di bulan Maret 2020 makin membuat daya tahan tubuh tak menentu. Serentak orang mengaku terkena COVID-19, padahal itu cuma pilek biasa. Pemberitaan gencar dan berita palsu di media makin membuat panik kondisi psikologis sehingga imun tubuh makin terkikis. Di tengah terbatasnya tenaga kesehatan untuk pasien COVID-19, kita juga butuh dokter jiwa untuk para warganet yang menambah keruwetan situasi dengan menyebar informasi palsu. Hujan ini datang bukan tanpa alasan. Hujan datang untuk mengisi keran air kita, sehingga tidak akan kering. Masyarakat punya stok air untuk mencuci tangan dan rajin membersihkan lingkungan sekitarnya, sesuatu yang selama ini luput untuk dilakukan. Negara-negara yang diakui berhasil mengendalikan COVID-19 seperti Korea Selatan, Jepang, atau Taiwan, sebenarnya resep mereka sederhana: masyarakatnya memang sudah dari dulu terbiasa rajin mencuci tangan.
  • Bumi ingin agar manusia rehat sejenak. Karyawan underpaid dengan beban kerja di atas ekspektasi akhirnya dapat beristirahat barang sebentar, karena grafik beban kerja yang menyusut karena anjuran untuk bekerja dari rumah. Ada juga korporasi yang tidak rela karyawannya bekerja dari rumah, inginnya tetap berkantor seperti biasa. Padahal gaji si karyawan sudah dipangkas karena arus kas perusahaan yang sedang menurun. Si karyawan juga tidak darurat-darurat amat untuk harus ke kantor. Ia bisa menyusun pekerjaannya di rumah dan lalu mengirimkannya ke atasan via surel. Gampang toh.
  • Mengapa pemerintah Indonesia begitu lamban di awal ketika SARS-Cov-2 mulai masuk ke Indonesia? Otoritas kesehatan kita bahkan menganggap enteng dan seolah sangat denial akan ancaman tersebut. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto di awal Maret 2020 sempat bilang bahwa flu lebih berbahaya dibanding COVID-19. Menteri Terawan menambahkan bahwa kunci mencegah penularan COVID-19 adalah imunitas dan berdoa. Padahal, bangsa kita terkenal cepat dalam merespon kondisi. Masih ingatkah betapa cekatannya para pendiri bangsa kita memanfaatkan situasi berakhirnya Perang Dunia II dengan segera memproklamasikan kemerdekaan ketika Jepang sudah menyerah. Sehingga Indonesia merupakan negara pertama yang berdiri pasca Perang Dunia II.
  • Pemerintah lebih mementingkan ekonomi dibandingkan keselamatan rakyatnya? Diskon tiket pesawat, buzzer untuk promosi wisata, dan ekspor masker, padahal kebutuhan di dalam negeri sedang tinggi-tingginya. Padahal tujuan negara yang pertama dalam konstitusi adalah melindungi segenap warga negara dan tumpah darang Indonesia. Yang diutamakan itu “health of the people” atau “health of the economy”? Penyebaran virus ternyata lebih cepat dibandingkan tingkat responsivitas negara. Yang dilakukan pemerintah juga hanya imbauan dan imbauan. Tentu saja itu tidak mengikat dan tidak ada sanksinya. Kebijakan publik saat pandemi pun dirumuskan tanpa berkonsultasi dengan publik. Mungkin karena situasinya dianggap darurat, ya pemerintah main teken kebijakan saja karena harus segera menangani situasi. Padahal ini rentan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan. Misalnya kebijakan menaikkan premi BPJS Kesehatan secara sepihak oleh pemerintah atau implementasi program Kartu Prakerja, program pelatihan yang kontennya dapat disimak gratis melalui platform youtube.
  • Rakyatnya menginginkan lockdown (aturan hukum di Indonesia mengenalnya sebagai karantina wilayah), namun pemerintahnya tidak senada. Saya melihat ada kontradiksi antara keinginan masyarakat dan pemerintah daerah dengan keinginan pemerintah pusat. Masyarakat di tingkat akar rumput ingin sekali pembatasan aktivitas seketat-ketatnya untuk melindungi mereka dari virus. Fenomena penolakan jenazah pasien COVID-19 sebenarnya merupakan simbol bahwa masyarakat lokal ingin daerahnya terhindar dari COVID-19, namun ada kesenjangan komunikasi di sana, sehingga penolakan menjadi terlihat tidak etis. Pemerintah daerah juga mengambil langkah segera untuk memblokade wilayahnya dari wabah. Seperti misalnya Kota Tegal yang memberlakukan lockdown tingkat kota. Namun pemerintah pusat tidak menyetujui hal tersebut dan malah menegur Pemerintah Kota Tegal. Dalam hal ini, dapat kita lihat bahwa tidak ada satu suara antara otoritas di tingkat tertinggi dengan pemangku kepentingan di tingkat lokal. Padahal kekompakan merupakan instrumen penting untuk menangani wabah.
  • Yang tepat itu pembatasan jarak fisik, bukannya pembatasan sosial (social distancing). Bagi saya yang pernah belajar ilmu sosiologi, aneh sekali ketika ada istilah pembatasan sosial. Untuk mencegah penularan virus, yang harus dilakukan adalah penjarakan fisik. Hubungan sosial jangan sampai renggang atau dibatasi. Kan masyarakat masih bisa mengobrol secara daring atau saling menyapa dari jarak jauh.
  • Pekerja migran Indonesia (PMI) difasilitasi kepulangannya oleh Pemerintah, tapi pekerja-pekerja di kota besar yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kehilangan pendapatan malah tidak diperbolehkan kembali ke kampung halaman. Jangan sampai ini menimbulkan kecemburuan sosial. Banyak pekerja rantau di Jakarta yang kehilangan pekerjaan, namun karena kebijakan larangan mudik, mereka tidak bisa pulang ke kampung halaman. Di Jakarta, mereka tidak tahu mau melakukan apa. Membayar kosan dan biaya makan sehari-hari juga sudah tidak sanggup. Ada seorang perantau dari Kulon Progo yang berhasil kembali ke kampung halaman dan akhirnya tetap dapat produktif, karena ia bisa mengolah hasil bumi di tanah garapan di kampungnya. Yang penting, setibanya di kampung halaman tercinta, perantau harus melakukan isolasi selama 14 hari. Kalau PMI diperbolehkan pulang, mengapa tidak dengan pekerja rantau.
  • COVID-19 menyebabkan kita menjadi tidak mudah percaya dengan orang lain. Kepercayaan akan menjadi barang yang mahal, meskipun kita berinteraksi dengan kalangan elit sekalipun. Sebelum pandemi, jika ada pertanyaan: "Gimana kabarmu bro, sehat kan?", dapat dipastikan bahwa itu adalah basa-basi untuk memulai obrolan atau sekedar menyapa. Saat ini, pertanyaan itu kita lontarkan karena ingin memastikan bahwa rekan kita tidak terpapar COVID-19. Kemarin saya berbincang dengan seorang pejabat di Kementerian, namun ia berbicara tidak menggunakan masker. Perlahan saya mundur satu-dua langkah. Setinggi apapun jabatannya atau status sosial-ekonominya, kita tidak ingin terpapar darinya, apalagi ketika ia sengaja tidak mematuhi protokol kesehatan. Begitu pula dengan orang lain. Kemungkinan besar seseorang akan waspada apabila ada kerabat yang ingin bertamu atau bahkan menginap di rumahnya. Meskipun kita mengenal orang tersebut dengan baik, tentu kita tidak ingin tertular penyakit dari orang tersebut, karena semua orang berpotensi menjadi orang tanpa gejala.
  • Apakah COVID-19 akan memengaruhi kultur masyarakat Indonesia yang suka guyub, “makan gak makan yang penting ngumpul”? Sebelum pandemi, nongkrong di kafe/restoran bareng teman, kemudian swafoto, lalu unggah. Sekarang nongkrong daring di platform zoom, tangkap layar, lalu unggah ke instagram. Jadi ya masih sama kan, cuma nongkrongnya dipindah ke media virtual. SARS-Cov-2 mungkin ingin merenggangkan ikatan sosial umat manusia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang guyub, memiliki semangat gotong royong. Di saat seperti ini, ikatan sosial kita tidak boleh kendor, harus tetap kompak dan guyub untuk menang dari wabah ini. Banyak cerita-cerita inspiratif dari daerah yang menunjukkan secara nyata bahwa gotong royong dan semangat keguyuban masyarakat Indonesia justru semakin subur saat pandemi ini muncul. Berikut ini beberapa kisah inspiratif yang saya rangkum dari berbagai media:
  • Di saat krisis seperti ini, saya baru sadar bahwa profesi yang paling diandalkan dan dibutuhkan adalah petani, peternak, atau nelayan. Mau krisis seperti apapun, manusia pasti butuh asupan pangan. Hai anak muda, mengapa kalian malah bekerja di kota, di gedung bertingkat, memakai jas dan dasi. Mungkin hal tersebut keren, namun saat ada wabah seperti ini, itu semua gak kepake. Sadarlah bahwa potensi Nusantara kita ya bidang agraris dan maritim.
  • Di era pandemi ini ekonomi disebut sangat terpuruk. Banyak pebisnis, UMKM, atau pegiat seni yang tidak dapat berproduksi karena ingin mencegah penularan. Saya baru menyadari bahwa aktivitas ekonomi kita memang “ekonomi kerumunan” atau setidaknya membutuhkan kontak fisik jarak dekat, misalnya aktivitas cukur rambut, praktik dokter gigi, konser musik, menonton pertandingan sepak bola di stadion, atau pagelaran seni. Banyak sektor-sektor yang menjadi loser ketika pandemi ini. Di sisi lain, ada champion baru yaitu pebisnis bidang teknologi dan komunikasi atau produsen masker dan alat kesehatan. Bahkan tes cepat antibodi sekarang menjadi ladang bisnis bagi kalangan tertentu. Di tahun 2020 ini, dipastikan struktur produk domestik bruto akan berubah, karena ada sektor yang lesu dan ada sektor lain yang bergeliat.
  • Yang jahat dari virus ini ialah tidak hanya ulahnya yang menyebabkan kematian dan menghalangi banyak orang untuk mencari nafkah, namun juga virus ini menunda dan membatalkan banyak rencana. Banyak teman-teman kita yang dari jauh hari berencana kuliah di luar negeri, ingin mengajukan kredit untuk mengembangkan usaha rintisannya, para seniman yang ingin menggelar pertunjukan, atau para jomblowan/wati yang ingin mencari jodoh hehe. Semua rencana tersebut harus ditunda dulu hingga kapan yang kita pun tidak ada yang tahu. Meskipun demikian, setiap krisis memunculkan perubahan struktural secara permanen, namun bukan berarti tidak memunculkan peluang. Pandemi flu spanyol pada tahun 1918 menyebabkan kelangkaan tenaga kerja, sehingga mendorong masuknya tenaga kerja perempuan yang lebih besar. Partisipasi perempuan dalam berbagai bidang, termasuk hak pilih dalam politik mulai meningkat signifikan karena adanya wabah flu spanyol tersebut. Resesi ekonomi dunia tahun 2007-09 juga mendorong diterapkannya otomasi dan transformasi digital di banyak organisasi. Pandemi COVID-19 juga memunculkan kenormalan hidup baru yang benar-benar berbeda dari pola hidup sebelumnya. Pageblug COVID-19 mendorong (mau tidak mau) banyak organisasi untuk melakukan inovasi dan transformasi digital. Kebun binatang dan suaka margasatwa saja mempertontonkan satwanya via daring. Penyedia jasa wisata juga sudah berinovasi untuk mempertontonkan obyek wisata secara virtual kepada para wisatawan.
  • Apresiasi juga bagi para kepala daerah di Indonesia yang melakukan inovasi dan bertindak cepat ketika virus mulai masuk ke wilayahnya. Misalnya Bupati Purbalingga yang memberikan gelang penanda bagi warganya yang berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP). Di Kota Salatiga, Walikota memberlakukan penjarakan fisik untuk kios-kios sehingga mengurangi risiko penularan.
Sistem Penjarakan Fisik di Pasar Pagi Kota Salatiga
  • Akan muncul fenomena less government. Sumber daya manusia di pemerintahan akan dipangkas sedemikian rupa. Saya setuju terkait pengurangan jumlah aparatur ini, namun hanya untuk posisi administratif. Mereka datang ke kantor tidak paham mau mengerjakan apa. Yang harus diperbanyak adalah tenaga lapangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat seperti tenaga kesehatan, guru, polisi kehutanan, dan jabatan fungsional. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo juga sudah memberikan sinyal bahwa jumlah Aparatur Sipil Negara atau ASN akan dikurangi di masa depan. Pemerintahan di masa depan akan lebih ramping dari yang ada saat ini. Saya melihat bahwa 5 atau 10 tahun lagi, struktur birokrasi di tingkat pusat akan sangat langsing. Sebaliknya struktur dan anggaran untuk unit pelayanan teknis yang ada di daerah akan bertambah gemuk untuk mengoptimalkan pelayanan segera kepada masyarakat di level akar rumput. Saya juga melihat bahwa pekerjaan pemerintah di masa depan akan jauh lebih sedikit. Sebagian besar pelayanan publik akan diserahkan ke swasta atau organisasi kemasyarakatan. Di era pandemi ini, kinerja pemerintah sangat ditolong oleh modal sosial/kegotongroyongan/kedermawanan masyarakat yang sangat dirasakan sejak awal pandemi.
  • Akankah kebebasan publik akan dikekang di era pandemi ini? Bagaimana dengan aksi unjuk rasa, pawai budaya, atau diskusi publik ketika publik menuntut keadilan ketika pemerintah tidak bekerja dengan benar. Di Amerika Serikat demo besar-besaran “Black Lives Matter” malah terjadi di saat negara tersebut menempati peringkat pertama negara dengan kasus COVID-19 terbanyak. Kapasitas ruang publik kemungkinan akan dibatasi dan konsekuensinya, akan dialihkan ke ruang digital. Pandemi dapat membuka keterlibatan publik yang lebih luas. Sebelum pandemi, acara diskusi atau konferensi hanya dilakukan di ruangan sempit aula Kementerian yang kapasitasnya paling hanya 50-100 orang. Sekarang, melalui diskusi secara daring atau webinar menjadi umum. Audiensnya bisa mencapai seribu orang. Bisa dilihat juga bahwa saat ini rapat terbatas kabinet disiarkan secara langsung. Padahal namanya “rapat terbatas”, namun akhirnya saat ini bisa diakses publik. Dulu publik hanya diberikan cuplikan hasil rapatnya. Tapi jangan terjebak, suara kita baru bisa didengar di forum daring tersebut apabila moderator atau host sudah menekan tombol “unmute”. Peserta pun bisa “bersuara” dengan mengetik pendapatnya di kolom komentar, namun belum tentu narasumber dan pengambil kebijakan mau dan sempat membaca itu.
  • Pandemi COVID-19 memaksa kita, mau tidak mau, menjalani pola hidup yang baru. Saat ini muncul istilah kenormalan baru atau sebutan kerennya “new normal”? Istilah “new normal” sebenarnya mulai muncul pertama kali pada tahun 2015, merespons adanya rekor baru kenaikan temperatur dunia. New normal mulai banyak digunakan di berbagai laporan untuk menjelaskan fenomena perubahan iklim ekstrem yang tidak normal. Tentu saja kita tidak boleh menyerah dengan keadaan. Aktivitas sosial-ekonomi tetap harus berjalan sembari menunggu vaksin rampung diciptakan oleh para Ahli. Kenormalan baru bukan berarti normal seperti sebelum pandemi dan dianggap wabah sudah berakhir. WHO sudah mewanti-wanti bahwa virus ini akan tetap hidup bahkan ketika vaksin sudah ditemukan. Kita akan tidak akan dapat benar-benar hidup sesuai dengan normal lama. Hidup kita akan benar-benar berpola baru. Jika kita menonton film Hollywood di tahun 2022 misalnya, bisa saja para pemeran dan cameo-nya menggunakan masker atau perisai wajah. Jika sebelum pandemi kita menggunakan masker atau bahkan perisai wajah di tempat umum, pasti kita sudah diamankan oleh satuan keamanan karena dianggap aneh dan akan berbuat tindak kriminal. Kenormalan baru akan sepenuhnya berbeda. Yang paling penting, pandemi tidak boleh menyurutkan kebersamaan kita dan membuat manusia menjadi lebih individualistis.
  • Nah yang terakhir ini tentang masalah percintaan nih. Bagi kalian yang sebelum pandemi ini sudah punya pasangan, beruntunglah kalian. Semoga hubungan kalian cocok dan langgeng ya. Yang sudah punya pasangan tidak usah cari yang lain lagi ya, karena satu saja belum tentu habis hehe (bercanda loh). Masalah besar sepertinya akan menimpa kaum tuna asmara, karena akan lebih sulit untuk cari jodoh. Di era kenormalan baru nanti, yang mana interaksi sosial secara tatap muka mungkin akan berkurang, ya kemungkinan untuk dua orang saling bertemu dan berjodoh sepertinya juga akan berkurang. Selama ini kan orang saling berjodoh karena garap proyek bareng, tidak sengaja ketemu di konser, kebetulan suka nongkrong di kafe yang sama, atau dijodohkan/direkomendasikan dari teman. Seiring kegiatan-kegiatan sosial dan bisnis berkurang, probabilitas orang untuk bertemu secara fisik juga berkurang. Selama pandemi ini, relasi baru saya pun hampir dikatakan tidak ada penambahan. Sebelum pandemi, kantor saya terbiasa menggelar proyek gabungan dengan organisasi luar, dan juga saya sering berpergian ke berbagai daerah, sehingga puji syukur saya memiliki banyak kenalan baru. Apakah upaya pencarian jodoh akan kembali ke dunia maya, seperti menggunakan platform tinder misalnya? Ya kita lihat saja akan seperti apa nanti.
Terima kasih sudah membaca, silakan jika sedulur sekalian ingin menambahkan perspektif baru. Semoga selalu sehat dan terhindar dari COVID-19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar