Minggu, 28 Juni 2020

Mereka-reka Konsep Wisata dan Pendakian Gunung di Era Kenormalan Baru


Tidak ada yang menyangka bahwa di tahun 2020 ini akan datang sebuah wabah besar yang meluluhlantakkan seluruh negara di dunia. Pada 31 Desember 2019, otoritas Tiongkok melaporkan adanya penyakit radang paru baru yang misterius. Otoritas Tiongkok pada 7 Januari 2020 mengonfirmasi bahwa mereka mengidentifikasi virus corona jenis baru (SARS-Cov-2). Virus ini kemudian dilaporkan masuk ke Thailand pada 13 Januari 2020 dan pada akhirnya menginfeksi banyak negara. World Health Organization (WHO) memberi nama penyakit akibat virus ini dengan nama coronavirus disease 2019 atau COVID-19 pada 11 Februari 2020. Di abad ke-21 ini, sudah ada kemunculan empat penyakit yang ditularkan dari hewan (zoonosis) yang menyebabkan pageblug di berbagai negara, yaitu SARS (2003), MERS (2012), Ebola (2014), dan yang terakhir adalah COVID-19.



Dampak yang ditimbulkan krisis ini sifatnya multidimensi, mencakup hampir seluruh dimensi kehidupan manusia. Wabah COVID-19 hingga saat ini sudah menjalar ke 216 negara. Begitu luasnya penyebaran virus SARS-Cov-2 (virus penyebab penyakit COVID-19) tidak mengenal batas negara dan status sosial penderitanya. Pada 11 Maret 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa wabah COVID-19 merupakan pandemi global. Data per 28 Juni 2020 menunjukkan bahwa 10 juta warga dunia terinfeksi penyakit ini dan sekitar 499 ribu orang di antaranya meninggal dunia. Di Indonesia sendiri per 28 Juni 2020 terdapat 54,010 pasien positif COVID-19 sehingga menempati peringkat ke-29 negara dengan penderita COVID-19 terbanyak di dunia.

Tren Infeksi COVID-19 di Indonesia
Sumber: Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di Indonesia

Dana Moneter Internasional (IMF) pada 25 Juni 2020 menyatakan bahwa COVID-19 menyebabkan perekonomian global merugi sebesar Rp168,000 triliun. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan per 12 Mei 2020 menunjukkan bahwa wabah COVID-19 di Indonesia menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dirumahkannya 1.7 juta tenaga kerja. Data kamar Dagang dan Industri (Kadin) pada 25 Juni 2020 bahkan menyebut bahwa 6.4 juta pekerja di Indonesia terkena PHK dan dirumahkan. Proses produksi barang dan jasa menjadi terhambat karena masyarakat memilih tinggal di rumah untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Begitu pula dari sisi permintaan, yang mana konsumsi barang dan jasa menurun karena daya beli masyarakat semakin tergerus. Tingkat kemiskinan di Indonesia selama pandemi ini meningkat karena munculnya masyarakat miskin baru yang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya berkurang. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan aka nada 2 juta orang miskin baru di tahun 2020 ini akibat pandemi.

Beberapa sektor ekonomi terpuruk akibat pandemi ini, salah satunya adalah pariwisata. Pembatasan kegiatan menimbulkan dampak domino bagi roda ekonomi. Banyak negara melarang penerbangan internasional dan menganjurkan warganya untuk tetap berada di rumah. Organisasi pariwisata dunia United Nations World Tourism Organization (UNWTO) pada 7 Mei 2020 di laman resminya menyebutkan bahwa kunjungan wisatawan pada kuartal I 2020 sudah menurun sebesar 22 persen dan pada tahun 2020 diperkirakan menurun hingga 80 persen dibandingkan 2019. Sektor pariwisata global dilansir membutuhkan waktu satu tahun untuk memulihkan diri. World Travel & Tourism Council (WTTC), selaku wadah pengusaha bidang pariwisata global dalam rilis tanggal 21 April 2020 mengakui bahwa 75 juta pekerja wisata di seluruh dunia akan berada di posisi yang sangat rentan.

Di tingkat global, UNWTO pada 30 Juni 2020 melansir bahwa pada periode Januari-April 2020, dunia pariwisata merugi USD 195 miliar atau setara Rp2,800 triliun. Sektor pariwisata tiap tahunnya menjadi salah satu sumber terbesar produk domestik bruto (PDB) Indonesia dan menempati peringkat ke-4 atau ke-5 sumber perekonomian terbesar. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio usai Rapat Terbatas dengan Presiden Joko Widodo (16 April 2020) memprediksi bahwa penerimaan devisa sektor pariwisata tahun ini akan berkurang setengah dari tahun 2019 lalu yang besarnya USD20 miliar. Jumlah wisatawan juga diperkirakan menurun drastis dari 16 juta orang pada 2019 lalu menjadi hanya 5 juta orang pada tahun ini. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani juga mengutarakan bahwa industri pariwisata diklaim menanggung kerugian setidaknya USD1.5 miliar atau setara Rp21 triliun sejak Januari 2020 akibat pandemi. Angka tersebut terdiri dari risiko kerugian akibat kehilangan pendapatan dari turis Tiongkok senilai USD1.1 miliar dan sisanya USD400 juta dengan nilai kerugian dari wisatawan asal negara lain (https://ekonomi.bisnis.com/read/20200426/12/1232875/apindo-selama-pandemi-industri-pariwisata-rugi-rp21-triliun)

Di tengah pandemi ini, banyak negara yang sudah tidak kuat untuk menahan gejolak ekonomi dan akhirnya memutuskan membuka sektor wisata dan penerbangan mancanegara. Italia misalnya, negara yang sempat menjadi negara dengan jumlah pasien COVID-19 terbanyak di benua Eropa dan tingkat kematian tertinggi ini, pada akhirnya membuka aktivitas wisata dan mencabut status karantina pada 3 Juni 2020. Baik negara maju dengan sistem kesehatan dan sistem perekonomian yang mutakhir atau negara berkembang tidak ada yang bisa berkelit dari efek berganda pageblug COVID-19, yaitu dampak kesehatan dan dampak ekonomi. Melonggarkan pembatasan aktivitas dan membuka sektor-sektor ekonomi secara bertahap menjadi opsi untuk membuat ekonomi negara kembali hidup. Di Indonesia, salah satu sektor yang akan dibuka adalah sektor pariwisata. Sektor ini diharapkan cepat pulih dan menjadi salah satu pendorong bangkitnya perekonomian di sektor-sektor lainnya.

Kebijakan pembukaan sektor pariwisata secara bertahap diyakini akan menolong perekonomian negara yang saat ini sangat membutuhkan pemasukan. Pembukaan sektor pariwisata sendiri membutuhkan kepercayaan dari wisatawan akan keamanan dari COVID-19. Pembukaan sektor pariwisata harus dikawal dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Jangan sampai kegiatan ini malah menimbulkan kerumunan dan menciptakan klaster baru. Kebijakan ini digadang-gadang bakal kembali menghidupkan geliat ekonomi di daerah. Bayangkan saja, selama 4 bulan ini, berapa banyak supir rental, pengrajin oleh-oleh, pegiat seni, atau pemandu wisata yang tidak bekerja dan tidak menerima pemasukan. Pada 22 Juni 2020, Pemerintah mengumumkan akan membuka destinasi wisata alam. Hal ini menjadi peluang bagi wisatawan yang ingin kembali memanjakan mata akan keindahan alam Indonesia dan bagi pelaku usaha wisata yang kembali ingin produktif. Banyak pihak yang kemudian melontarkan pertanyaan, bagaimana nasib aktivitas pendakian gunung di era pandemi.

Sebagai pendaki (yang sudah lama tidak mendaki) saya ingin memberikan sumbangan pemikiran mengenai “akan seperti apa aktivitas wisata, khususnya pendakian gunung di era kenormalan baru nanti”. Untuk saat ini, tahan dulu jika sudah kebelet ingin naik gunung. Saya sendiri juga memiliki jadwal untuk mendaki Gunung Binaiya di akhir tahun 2020 ini bersama teman saya dan pastinya harus ditunda. Saya sendiri kangen ingin melihat hutan, menonton pagelaran seni, atau menghadiri festival budaya, namun saat ini lebih baik jika saya lebih banyak berada di rumah. Saya pribadi berpendapat bahwa tidak perlu melakukan sesuatu yang “tidak perlu-perlu amat” di era pandemi ini. Lakukanlah aktivitas wisata yang minim risiko di masa yang masih sulit ini. Pelonggaran dan wacana kenormalan baru yang dicanangkan pemerintah juga menurut saya terlalu dini untuk diimplementasikan. Lihat saja, hingga kini Indonesia belum mencapai puncak pandemi, tapi seolah-olah kasus seperti sudah dapat dikendalikan. Grafik kita masih belum melandai. Beberapa negara yang mengambil kebijakan pelonggaran akhirnya malah menghadapi gelombang kedua wabah. Seperti misalnya Korea Selatan yang mulai membuka aktivitas sekolah secara fisik pada 20 Mei 2020. Ternyata kebijakan tersebut menimbulkan klaster penularan baru di sekolah-sekolah, sehingga Pemerintah Korea Selatan akhirnya kembali menutup 251 sekolah pada 29 Mei 2020.

Mendaki gunung adalah salah satu olahraga ekstrem yang membutuhkan ketahanan fisik dan mental yang prima, serta kemampuan anggota tim dalam melakukan kerja sama. Maka dari itu mendaki gunung tergolong sebagai wisata minat khusus. Tidak sembarangan orang yang memiliki minat mendaki gunung. Risiko keselamatannya pun jauh lebih tinggi, berbeda ketika kita berkunjung ke museum atau kebun binatang. Kenormalan baru banyak dikampanyekan oleh pemerintah dan berbagai kalangan, namun bukan berarti semua sektor harus dibuka saat ini juga, termasuk pendakian gunung. Untuk periode saat kurva infeksi COVID-19 kita masih belum melandai, saya lebih setuju wisata alam nonpendakian dulu yang dibuka. Pendakian gunung membutuhkan fisik yang prima dan risikonya sungguh besar. Terlalu riskan membuka sektor ini di saat-saat seperti ini, yang mana kapasitas rumah sakit sedang penuh-penuhnya. Pada 23 Juni 2020, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo juga meminta masyarakat menahan diri untuk berwisata saat pandemi.

Berikut ini adalah linimasa mengenai kebijakan atau pendapat yang dikeluarkan oleh pemangku kepentingan terkait COVID-19 dan kenormalan baru:
  • 7 Mei 2020: Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa manusia harus berdamai dengan virus.
  • 14 Mei 2020: WHO menyatakan bahwa virus SARS-Cov-2 tidak akan hilang meskipun vaksin sudah ditemukan.
  • 15 Mei 2020: Presiden Joko Widodo mengumumkan penerapan kebijakan kenormalan baru.
  • 20 Mei 2020: World Travel & Tourism Council (WTTC) mengeluarkan protokol kenormalan baru terkait pandemi.
  • 20 Mei 2020: di kondisi kenormalan baru, Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif memprediksi ekowisata akan lebih diminati.
  • 28 Mei 2020: Presiden menyatakan bahwa tren wisata akan beralih ke "Solo Traveling" hingga "Staycation".
  • 29 Mei 2020: kenormalan baru Jawa Barat, Gubernur Ridwan Kamil bolehkan pendakian gunung tapi seorang diri.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan sudah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/382/2020 tanggal 19 Juni 2020 tentang Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam Rangka Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Untuk lebih lengkapnya dapat dibaca langsung pada halaman 47-51 regulasi yang dimaksud. Beberapa kewajiban bagi pengelola wisata, antara lain:
  • Melakukan disinfeksi secara berkala (paling sedikit tiga kali sehari) terutama pada area, sarana dan peralatan yang digunakan bersama
  • Menyediakan fasilitas cuci tangan pakai sabun yang memadai dan mudah diakses oleh pengunjung
  • Melakukan pemeriksaan suhu tubuh di pintu masuk.
  • Mewajibkan pekerja pariwisata dan pengunjung menggunakan masker.
  • Terapkan jaga jarak yang dapat dilakukan dengan berbagai metode, misalnya membatasi jumlah pengunjung yang masuk.
  • Jika memungkinkan, dapat menyediakan pos kesehatan yang dilengkapi dengan tenaga kesehatan dan sarana pendukungnya untuk mengantisipasi pengunjung yang mengalami sakit.
Sementara, beberapa kewajiban bagi pengunjung, antara lain:
  • Memastikan diri dalam kondisi sehat sebelum melakukan kunjungan ke lokasi daya tarik wisata.
  • Selalu menggunakan masker selama berada di lokasi daya tarik wisata
  • Menjaga kebersihan tangan dengan sering mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir atau menggunakan handsanitizer.
  • Bersihkan handphone, kacamata, tas, dan barang lainnya dengan cairan disinfektan.
Beberapa pemangku kepentingan di kegiatan pendakian gunung sudah mengeluarkan protokol pendakian di era pandemi. Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) sudah menerbitkan protokol setebal 29 halaman pada 12 Juni 2020. Protokol ini terbilang lengkap karena mengatur secara detil panduan aktivitas pendakian mulai dari berangkat dari rumah hingga kembali lagi ke rumah. Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) juga menerbitkan protokol bersifat internal untuk anggota atau pemandu wisata gunung. Ada sepuluh protokol internal kepemanduan wisata gunung versi APGI, yaitu:
  • Lakukan kegiatan kepemanduan wisata gunung dalam kelompok kecil (2-7 orang).
  • Pastikan kondisi tubuh sehat selama melakukan kepemanduan wisata gunung (sebelum, saat, sesudah perjalanan).
  • Bawa masker dan gunakan sesuai kebutuhan.
  • Disiplin dalam mencuci tangan atau membersihkan bagian tubuh saat melakukan kepemanduan wisata gunung.
  • Lakukan pembersihan peralatan dan perlengkapan secara rutin selama melakukan kepemanduan wisata gunung.
  • Jaga jarak aman minimal satu meter saat melakukan interaksi dalam kepemanduan wisata gunung.
  • Gunakan peralatan dan perlengkapan secara pribadi dan minimalisir penggunaan secara bersama.
  • Perhatikan kesehatan, kebersihan dan keamanan area perkemahan serta gunakan tenda setengah dari kapasitas maksimal.
  • Jaga kesehatan, kebersihan dan keamanan selama dalam perjalanan menuju destinasi wisata gunung.
  • Lakukan manajemen risiko khusus pandemi saat melakukan kepemanduan wisata gunung.
Tren Wisata dan Pendakian Gunung di Era Kenormalan Baru
Pageblug COVID-19 ini akan benar-benar mengubah pola hidup umat manusia. Kita tidak akan bisa benar-benar kembali pada rutinitas dan pola hidup kita sebelum adanya pandemi ini. Kenormalan baru adalah konsekuensi yang harus kita semua sepakati dan jalani. Beberapa hal kemungkinan akan hilang saat kenormalan baru bagi para pejalan dan kebiasaan baru akan muncul. Beberapa tren wisata saat kenormalan baru menurut pandangan saya, antara lain:
  • Kepercayaan akan menjadi barang mahal di era pandemi ini. Pandemi ini mendorong kita semua untuk waspada dengan siapapun, demi alasan kesehatan. Pendakian atau aktivitas wisata akan terbagi menjadi tim kecil beranggotakan mungkin maksimal empat atau lima orang, dan kemungkinan hanya berisi orang-orang yang sudah saling mengenal (peer group). Melakukan perjalanan dengan orang-orang yang belum dikenal atau dikenal dengan istilah open trip mungkin akan berkurang. Coba dibayangkan, apabila kita berjumpa dengan orang yang tidak kita kenal di tempat wisata, dan tiba-tiba orang itu batuk, pasti kita akan bertanya-tanya, apakah orang ini sehat? Wisatawan akan mencoba melakukan perjalanan dengan orang-orang terdekat yang memang sudah dikenal dan dipercaya dengan baik, misalnya teman kantor atau teman di sekitar tempat tinggal. Namun SARS-Cov-2 bukanlah penghalang bagi wisatawan untuk menambah teman baru. Tetaplah melakukan open trip dengan mematuhi protokol kesehatan. Tetap jaga diri kita selalu sehat. Jangan takut untuk membuka relasi baru dengan orang-orang yang belum dikenal. Yuval Noah Harari, sejarawan yang menulis buku-buku laris itu, menyebut bahwa manusia tetap akan menjadi makhluk sosial meskipun di tengah pandemi (https://www.tempo.co/bbc/5939/virus-corona-pandemi-covid-19-lebih-akut-dibandingkan-krisis-politik-apapun)Pertanyaan berikutnya, apakah mendaki akan dilakukan secara solo? Memang ada orang-orang yang melakukan itu. Namun hal tersebut berbahaya dan hanya dapat dilakukan oleh orang-orang berpengalaman. Mendaki tetap dilakukan bersama tim. Tujuannya untuk saling menjaga dan bersosial. Mendaki bukan berbicara mengenai tujuan akhir, yaitu menggapai puncak. Saya lebih banyak menikmati proses tapak demi tapak saat perjalanan, seperti menjalin interaksi dengan sesama pendaki. Selama mendaki saya banyak mendapat “keluarga baru”. Banyak obrolan asik saat beristirahat di tenda saat malam hari, seperti rekan pendakian saya yang dengan mudahnya membeli ganja di negeri ini (upsss sensor), pengalaman seorang kawan yang sudah berkeliling Indonesia, atau cerita misteri mengenai manusia kerdil di Gunung Kerinci.
  • Wisatawan akan lebih banyak mengunjungi destinasi wisata di sekitar tempat tinggalnya (local tourism). Ini terjadi mengingat berwisata ke luar kota atau luar pulau akan memakan biaya transportasi yang lebih tinggi dan kenaikan tiket wisata. Belum lagi kewajiban menyertakan tes COVID-19 yang biayanya tidak murah. Jadi kemungkinan warga Jakarta akan lebih banyak mendaki Gunung Gede atau Gunung Salak, warga Bandung akan main ke Gunung Ciremai atau Gunung Papandayan, dan warga Surabaya akan lebih banyak mendaki Semeru atau Arjuno.
  • Tren wisata alam, salah satunya mendaki gunung, akan menjadi primadona di masyarakat. Wisata alam dipilih karena wisatawan dapat menjaga jarak dengan lebih optimal. Berbeda halnya dengan kita pergi ke bioskop yang berada di ruangan tertutup dan rentan terkena percikan air liur orang lain. Pendakian gunung dan wisata alam merupakan wisata minat khusus, hanya orang-orang tertentu yang melakoni aktivitas ini karena risiko keamanan dan keselamatan yang lebih tinggi. Hal ini tentunya berbeda dengan wisata massal seperti mengunjungi kebun binatang yang berisiko keamanan lebih rendah. Keramaian wisatawan bisa jadi malah berpindah ke hutan dan gunung. Hal ini tentunya mengganggu upaya konservasi. Konservasi alam dimaksudkan untuk melindungi tumbuhan, satwa, dan ekosistem yang ada di dalamnya. Wisata masih diperkenankan dalam jumlah terbatas. Wisatawan pun hadir dengan tujuan riset & edukasi, tidak hanya rekreasi. Wisatawan datang tidak sekedar untuk swafoto, unggah, lalu pulang. Ada nilai dan pengalaman tertentu yang dicari wisatawan saat melakoni wisata minat khusus. Saya pun juga mengalami hal itu. Mendaki saya lakukan untuk menempa diri agar mental semakin kuat dan melatih kepedulian dengan sesama. Dalam mendaki, kita harus melewati jalur dan cuaca ekstrem, yang mana mental kita dilatih untuk mengatasi rintangan-rintangan yang sangat sulit. Keselamatan hidup kita di gunung juga tergantung dari rekan pendakian kita. Maka kekompakan dan kegotongroyongan sangat dibutuhkan dalam pendakian. Orang-orang yang tadinya egois dan individualistis lambat laun akan lebih altruistis ketika rajin mendaki. Membludaknya wisatawan berpotensi mengganggu keseimbangan ekosistem. Seperti misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting, yang mana pada akhir pekan lebih ramai dari pasar, sehingga orangutannya stres berat. Saya melihat bahwa wisata alam ini harus diproteksi dari konsep mass tourism. Seluruh kawasan konservasi harusnya bersifat “minat khusus”. Implikasinya, bisa jadi semua destinasi wisata nantinya bersifat premium, harga tiketnya fantastis. Seperti yang akan diberlakukan di Komodo. Semua pengunjung yang hadir dibatasi jumlahnya dengan sistem kuota agar tidak terjadi penumpukan. Jujur saja, selama ini saya lebih memilih wisata alam karena kondisinya yang sepi pengunjung. Di kondisi sepi inilah, saya tidak terlalu khawatir mengganggu ekosistem setempat. Saya juga bisa memanfaatkan keheningan untuk berkontemplasi. Seorang sesepuh Wanadri dalam suatu forum pernah bilang bahwa ia pergi ke gunung karena sepi. Ketika wisata alam sudah ramai, ke manakah akan pergi orang-orang yang mencari sepi ini?
  • Animo bisnis penyewaan alat-alat pendakian kemungkinan akan berkurang. Saat ini, wisatawan kemungkinan besar akan menghindari penggunaan alat-alat yang sering dipakai bersama, karena ada kemungkinan alat-alat tersebut terpapar virus SARS-Cov-2. Misalnya kita menyewa sleeping bag, bisa jadi sebelumnya disewa oleh orang yang positif COVID-19. Wisatawan akan melengkapi perlengkapan dan perbekalannya secara mandiri. Pengusaha rental alat pendakian harus berinovasi dan menjamin bahwa produknya bersih untuk mempertahankan bisnisnya. Kondisi ini akan makin memperkuat tren penggunaan barang-barang ringan atau anak kekinian menyebutnya ultralight. Karena pendaki harus membawa peralatan dan perbekalan secara lengkap mulai berangkat dari rumah, maka mereka akan mencari barang-barang yang ukurannya kecil dan ringan untuk menghemat stamina.
  • Akan ada tren mendaki dengan menggunakan perisai wajah (face shield). Pemerintah saat ini menganjurkan masyarakat untuk selalu menggunakan masker ketika berada di luar rumah. Bagaimana dengan aktivitas olahraga, termasuk mendaki gunung? Ini masih bisa didispensasi untuk mencegah hipoksia. Saya merekomendasikan untuk menggunakan perisai wajah, supaya pendaki masih bisa mendaki tanpa masker, namun tetap terlindungi dari droplet. Bayangkan saja, jika kita berjalan kaki menaiki tangga dengan masker menutupi hidung kita, kita terasa engap, bagaimana dengan menanjaki gunung yang tingginya bisa 2 ribu meter di atas permukaan laut (MDPL) lebih. Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Bandung dr. Franky Moudy Rumondor dalam diskusi Webinar Federasi Mountaineering Indonesia (FMI) bertajuk "Mendaki Gunung Aman dan Sehat di Masa Pandemi" (25/6/2020), merekomendasikan bahwa pendaki tak perlu mengenakan masker karena dapat menyebabkan nafas tersendat. Yang terpenting, menurut dr. Franky Moudy Rumondor, pendaki tetap menjaga jarak minimal dua meter. Masker hanya digunakan pada saat di basecamp dan pos peristirahatan.
Di bidang kebudayaan, para pegiat seni sudah menggunakan perisai wajah
  • Mungkin tidak akan ada lagi aktivitas menginap di rumah singgah. Rumah singgah ini menjadi andalah para peransel yang ingin mencari tempat menginap alternatif selain penginapan. Saya pribadi sudah berulang kali tinggal di rumah singgah ketika saya berpergian ke daerah. Ada tiga alasan mengapa saya memilih rumah singgah. Pertama, saya ingin merasakan hidup sebagai orang lokal dan berinteraksi lebih dekat dengan warga setempat. Kedua, di destinasi yang saya kunjungi sama sekali tidak ada penginapan. Dan ketiga, menghemat biaya perjalanan. Di saat saya sudah bekerja dan memiliki penghasilanpun, saya lebih memilih tinggal di rumah warga ketimbang tidur di penginapan. Saat saya ke Gunung Kerinci misalnya, saya tinggal di basecamp Jejak Kerinci yang biasa digunakan oleh para pendaki untuk menginap. Pemilik rumah juga tidak mematok biaya apabila ada pengunjung yang menginap di tempatnya, dan bahkan menyiapkan masakan setiap hari. Di sana ada belasan pendaki lain yang turut menumpang tidur. Kami tidur saja ala kadarnya di lantai beralaskan tikar. Di tempat-tempat seperti inilah saya menemui sahabat-sahabat baru dan hingga kini masih saling berhubungan via media sosial. Di era kenormalan baru, tuan rumah kemungkinan besar akan waspada dan menolak kehadiran orang-orang yang tidak diketahui kondisi kesehatannya. Bagi pejalan, mereka pastinya juga tidak ingin menulari si pemilik rumah atau tertular dari sesama penghuni. Jadi, para pejalan harus sedia dana mencukupi untuk menyewa penginapan. Bila dalam kondisi tidak ada penginapan sama sekali di tempat itu, maka mau tidak mau harus membuka tenda atau tidur seadanya sesuai kondisi yang ada.
Menginap di Wihara seperti yang saya lakukan saat berada di Trowulan ini mungkin sudah tidak diperkenankan lagi di era kenormalan baru
  • Tidak akan ada lagi tempat istirahat bersama di gunung atau tempat wisata lainnya. Di berbagai gunung di Indonesia misalnya, pasti kita sering menemui tempat istirahat yang bisa dijejali hingga belasan orang. Tempat ini bukan semata-mata tempat melepas lelah bagi saya. Ini merupakan tempat untuk saling bercengkrama, baik dengan sesama anggota tim ataupun dengan kelompok pendaki lainnya. Di tempat inilah kita bisa mencari informasi mengenai kondisi gunung kepada pendaki yang baru turun dari puncak atau juga balik memberikan informasi kepada pendaki lainnya. Di era kenormalan baru, kemungkinan sudah tidak diperkenankan lagi adanya tempat istirahat yang menimbulkan kerumunan, sehingga interaksi selama pendakian hanya terbatas pada sesama anggota tim saja. Durasi istirahat di tempat ini juga kemungkinan dibatasi, untuk memberikan giliran kepada pendaki berikutnya. Untuk jalur pendakian, kemungkinan jalur pendakian akan diperlebar (jika memungkinkan) untuk menjaga jarak, atau memisahkan antara jalur naik dan jalur turun. Yang pasti, pendaki yang ingin naik dan pendaki yang ingin turun tidak boleh berpapasan secara fisik.
Bercengkerama di tempat peristirahatan seperti yang saya alami di Gunung Kerinci ini kemungkinan tidak akan ada lagi di masa depan

  • Pada akhirnya, aktivitas pariwisata akan berubah menjadi gaya hidup yang sangat mahal. Sebelum adanya pandemi, wisata bagi sebagian orang sudah bergeser dari awalnya kebutuhkan tersier menjadi kebutuhan sekunder. Wisata sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup. Para pegawai pabrik di Bekasi yang lelah bekerja dari senin hingga jumat, mereka rutin mengunjungi curug yang ada di Bogor pada akhir pekan. Wisata menjadi obat bagi kepenatan sebagian masyarakat, terlepas dari penghasilan yang dimiliki orang tersebut. Di era pandemi, wisata menjadi barang mahal. Akan banyak biaya ekstra ketika kita berwisata, mulai dari tes COVID-19 yang berbiaya mahal hingga angkutan umum, kamar hotel, dan tiket wisata yang semuanya tarifnya naik. Ini harus dilakukan karena kuota penumpang dan pengunjung wisata harus dikurangi hingga 50 persen. Pengelola juga dituntut menyediakan fasilitas yang lebih bersih dan nyaman, sehingga diperlukan biaya ekstra. Di era kenormalan baru, jika ada teman kita yang posting sedang liburan ke Indonesia bagian timur misalnya, mungkin saja dia anak sultan, karena memang membutuhkan biaya sangat mahal untuk dapat ke sana hehehe.
  • Tarif angkutan umum akan semakin mahal. Ada kecenderungan wisatawan menggunakan kendaraan pribadi (touring sepeda motor atau rumah berjalan). Tiket pesawat saat ini sudah terbukti naik harganya. PT. KAI sudah menyatakan bahwa mereka akan menaikkan tarif karena okupansi yang tidak lagi 100 persen. Di masa depan, mungkin nanti akan banyak para peturing motor di destinasi wisata atau para pengendara overlander.
Wisatawan diprediksi akan menggunakan kendaraan pribadi ketika mengunjungi destinasi wisata, meskipun jarak yang jauh
  • Bagaimana dengan acara yang biasa menimbulkan kerumunan (lebih tepatnya memang membutuhkan kerumunan sebagai ajang unjuk aksi), seperti misalnya Jember Fashion Carnival atau Cap Go Meh di Singkawang? Solusinya: pemindahan acara ke lokasi yang lebih luas, supaya penonton bisa menjaga jarak fisik. Selama ini acara karnaval seperti ini dilangsungkan di jalan raya yang sempit. Bisa juga membatasi akses, nantinya penonton akan dikenakan tiket? Risikonya, acara ini jadi eksklusif dan hanya dapat diakses golongan mampu. Ada kemungkinan acara seperti ini akan dipindahkan ke layar virtual sehingga tetap dapat dinikmati banyak orang.
  • Pebisnis di sektor pariwisata harus putar otak betul untuk mengatasi lsunya bisnis di sektor ini. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi pada 31 Mei 2020 mengatakan, sektor usaha yang paling terpuruk akibat COVID-19 di antaranya tour & travel, properti, hotel, dan restoran. Saat ini bisnis tur perjalanan dapat mengikuti tren berwisata secara virtual. Virtual tour ini kemungkinan akan sangat diminati oleh wisatawan yang saat ini menahan diri untuk tetap di rumah. Sebenarnya pengalaman ini sudah mulai diperkenalkan melalui google street view atau teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR). Main Outdoor adalah salah satu penyedia jasa tur virtual. Perusahaan ini menyajikan pendakian yang hampir riil, benar-benar mirip pendakian nyata. Ini merupakan salah satu inovasi yang patut diacungi jempol dari operator wisata agar bisnis mereka tetap hidup. Pebisnis tur perjalanan juga dapat mengakali situasi dengan memperbanyak segmen pasar kelas menengah atas yang lebih memilih private trip.
Ilustrasi berwisata secara virtual
  • Virus SARS-Cov-2 membawa kerentanan bagi masyarakat adat yang selama ini menggantungkan sektor pariwisata sebagai salah satu sumber pemasukan. Jangan sampai kelompok lokal terpapar virus, misalnya masyarakat adat di Kampung Badui, Kampung Naga, atau komunitas Dayak yang selama ini membuka aktivitas wisata bagi orang luar. Jangan seperti di Brasil yang mana suku di pedalaman hutan Amazon ternyata sudah terinfeksi COVID-19.
Skema Pendakian Gunung di Era Kenormalan Baru
Sebagai pendaki yang selama lima tahun belakangan ini sudah tidak mendaki lagi (hehehe), saya memiliki sumbang saran terkait sistem pendakian pada era kenormalan baru. Tentunya saya berharap pendakian baru dibuka ketika kurva kita sudah melandai dan COVID-19 sudah dapat dikendalikan. Mungkin itu baru bisa terjadi pada tahun 2021. Sistem pendakian di era kenormalan baru saya bagi dalam tiga tahap, yaitu: tahap prapendakian, tahap pendakian, dan tahap pascapendakian.
  • Tahap prapendakian adalah tahap ketika menyiapkan suatu aktivitas pendakian. Kegiatan ini dilakukan mulai dari melakukan riset mengenai aktivitas yang kita akan lakukan hingga perjalanan berangkat ke destinasi yang diidam-idamkan. Aktivitas-aktivitas dalam tahap prapendakian adalah:
o   Mencari informasi mengenai destinasi wisata yang dituju. Sebelum pandemi, pastinya kita juga getol mencari informasi mengenai destinasi yang ingin kita sambangi, baik melalui dunia maya atau bertanya kepada rekan kita yang sudah mengunjungi lokasi tersebut. Untuk pendakian di era pandemi ini, informasi tambahan yang perlu kita cari adalah situasi penanganan COVID-19 di destinasi yang kita ingin tuju. Hindari berpergian ke zona merah COVID-19. Jangan sampai niat baik untuk melihat keindahan alam malah berakhir dengan memburuknya kesehatan kita.
o Jangan lupa melakukan pendaftaran daring apabila pengelola destinasi menerapkan hal tersebut. Hal ini untuk memastikan kuota pengunjung dapat terkontrol dengan baik. Banyak destinasi wisata yang menerapkan kuota hingga maksimal 50 persen dari kuota saat kondisi normal.
o  Perlengkapi dokumen administratif yang dibutuhkan, antara lain: surat tes COVID-19. Di Indonesia, ada dua metode pengecekan COVID-19, yaitu rapid test atau tes cepat dan Polymerase Chain Reaction (PCR). Tes cepat bekerja dengan mengambil sampel darah dan memeriksa apakah ada antibodi yang sedang bekerja melawan virus. Sedangkan tes PCR mengambil sampel lendir di dalam hidung dan tenggorokan. Pemeriksaan PCR lebih akurat dibanding tes cepat. Namun biaya keduanya berbeda jauh. Tes cepat dibanderol mulai dari Rp350 ribu-500 ribu sedangkan tes PCR bisa mencapai Rp1.5 juta. Tes cepat hasilnya dapat kita peroleh dalam waktu 15-20 menit sedangkan tes PCR lebih lama, yakni bisa mencapai 2 hari. Sesuai Surat Edaran Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19, masa berlaku surat tes PCR dan rapid test kini adalah selama 14 hari. Saya sendiri tidak setuju dengan adanya masa berlaku surat tes COVID-19 ini, karena itu bukanlah jaminan bahwa kita tidak dapat tertular selama masa berlakunya surat tersebut. Misalnya hari ini kita mengikuti tes PCR dan hasilnya negatif, di hari itu juga bisa saja kita tertular dari orang yang terinfeksi entah bagaimana caranya.
Tentu saja wisatawan harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengurus surat tes COVID-19 ini. Surat ini dibutuhkan untuk menumpangi angkutan umum dan juga persyaratan apabila diminta oleh pengelola destinasi wisata. Namun harus disadari bahwa meskipun kita sudah mengantongi surat bebas COVID-19, ini bukan jaminan bahwa kita sehat. Bisa saja kita tertular saat berada di perjalanan dan rentan membawa virus ini ke destinasi wisata. Oleh karena itu, surat bebas COVID-19 yang kita siapkan sebelum perjalanan sejatinya hanya berguna untuk syarat kelengkapan menaiki angkutan umum.
Dokumen berikutnya yang perlu disiapkan adalah identitas diri seperti Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, atau dokumen pengenal lainnya. Jangan lupa juga untuk membuat rencana perjalanan. Ada juga pihak instansi perhubungan yang meminta penumpang untuk menyertakan rencana perjalanan. Rencana perjalanan juga dibutuhkan sebagai manajemen waktu pendakian. Cari tahu juga persyaratan lain yang diwajibkan oleh pengelola destinasi wisata yang ingin kita datangi.
o Selain dokumen administratif, jangan lupa melengkapi logistik dan perlengkapan pendakian. Saat kenormalan baru ini kita harus menghindari meminjam peralatan milik orang lain demi menjauhi virus SARS-Cov-2. Logsitik yang kita bawa di era pandemi ini ya sebetulnya sama saja saat virus SARS-Cov-2 belum datang. Saat kenormalan baru, ya tinggal ditambah dengan dokumen administratif dan kelengkapan sesuai protokol kesehatan, yaitu:
Ø  Surat bebas COVID-19
Ø  Perisai wajah
Ø  Masker (siapkan masker perhari sebanyak tiga buah)
Ø  Penyanitasi tangan
o   Bagi pendaki, tetap ikuti norma-norma yang sudah berlaku sebelum pandemi, seperti rajin berolahraga untuk menyiapkan kondisi fisik. Dalam mendaki, seluruh bagian tubuh mulai dari bagian atas hingga bawah harus dilatih secara rutin.
o   Cari rekan pendakian, karena sulit apabila seseorang mendaki seorang diri. Tentukan destinasi yang ingin dituju dan tanggal keberangkatan kalian. Kalian juga bisa janji bertemu di titik yang sudah ditentukan.
o   Proses berikutnya adalah perjalanan dari domisili menuju ke destinasi wisata. Perjalanan bisa dilakukan dengan moda transportasi darat, laut, atau udara. Wisatawan bisa menggunakan kendaraan pribadi atau juga angkutan publik. Pada 8 Juni 2020, Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan lima regulasi sekaligus untuk mengatur urusan transportasi di era pandemi, yaitu:
Ø  Permenhub Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19.
Ø  SE Menteri Perhubungan Nomor 11 Tahun 2020 Pedoman dan Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Transportasi Darat pada Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk Mencegah Penyebaran COVID-19.
Ø  SE Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang dengan Transportasi Laut dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman COVID-19.
Ø  SE Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2020 tentang Operasional Transportasi Udara dalam Masa Kegiatan Masyarakat Produktif dan Aman dari COVID-19
Ø  SE Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2020 tentang Pedoman dan Petunjuk Teknis Pengendalian Transportasi Perkeretaapian dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru untuk Mencegah Penyebaran COVID-19.
o Begitu tiba di daerah tujuan, bisa segera mencari penginapan untuk mempersiapkan pendakian esok hari. Penginapan lebih baik jika berada di dekat pos awal pendakian. Apabila masih ada logistik yang masih kurang, harus dilengkapi di toko terdekat.

  • Tahap pendakian adalah tahap ketika pendaki sudah tiba di pos awal pendakian hingga meninggalkan destinasi wisata mendaki. Aktivitas pada tahap ini di antaranya:
o   Mendatangi pos awal pendakian untuk mengonfirmasi kuota pendakian dan persyaratan administratif lainnya. Pemeriksaan barang-barang milik pendaki juga dilakukan di sini untuk mencegah adanya barang terlarang, seperti misalnya cat semprot atau narkotika. Pemeriksaan barang juga dilakukan untuk memastikan bahwa logistik dan perlengkapan milik pendaki sudah komplet supaya bisa menjalani aktivitas pendakian dengan baik dan aman.
o  Di pos awal ini, pendaki juga bisa mencari porter dan pemandu sesuai kebutuhan. Kehadiran porter dan pemandu ini sudah diwajibkan di beberapa gunung, misalnya Gunung Rinjani. Pendaki juga bisa memilih salah satu atau keduanya sekaligus, tergantung kebutuhan. Hadirnya porter dan pemandu ini sudah selayaknya dimanfaatkan dengan betul oleh pendaki, karena jasanya yang sangat membantu dalam pendakian. Dengan menyewa pemandu dan/atau porter, pendaki juga memberdayakan dan menggerakkan perekonomian lokal.
o   Ketika persyaratan administratif, kelengkapan anggota tim, dan logistik sudah terpenuhi, maka pendakian bisa dimulai. Perhatikan kondisi alam dan kondisi fisik saat mendaki. Perkirakan target yang ingin dicapai pada hari tersebut. Misalnya ketika mendaki Semeru, maka target pendakian pada hari pertama adalah mencapai Ranu Kumbolo dan target pada hari kedua adalah mencapai Kalimati. Hitung betul kekuatan anggota tim kalian, apa target yang dapat dicapai dengan kondisi fisik dan (mungkin) kondisi cuaca yang bisa datang berubah-ubah. Maka dari itu, di awal saya sudah mewanti-wanti untuk membuat rencana perjalanan untuk mengestimasi jadwal selama pendakian. Ibarat membuat film, maka rencana perjalanan adalah naskah yang harus menjadi pedoman segenap kru film. Rencana perjalanan ini hanya dapat berubah ketika terjadi force majeur.
o   Selama mendaki, gunakanlah perisai wajah (face shield), jangan menggunakan masker karena dapat memicu kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Bagaimana dengan berkemah di tenda, apakah kapasitas harus dikurangi? Jawabannya iya, diikurangi 50 persen untuk dapat menjaga jarak fisik. Ini berarti bahwa pendaki harus membawa tenda lebih banyak. Jangan lupa pula untuk menyediakan tenda bagi pemandu dan porter.
o  Pendaki harus selalu menjaga kebersihan ketika berada di gunung. Ini berkonsekuensi bahwa pendaki harus membawa lebih banyak air bersih atau juga penyanitasi tangan. Di gunung-gunung yang ketersediaan air bersihnya minim, maka bawalah air bersih lebih banyak dan juga higiene lainnya. Pendaki juga harus menyimpan sampahnya dengan baik di kantong sampah dan membawanya turun. Apabila kita menemukan sampah milik orang lain, tidak usah berat hari dan melakukan pembiaran. Bawa saja sekalian sampah tersebut untuk kebersihan alam kita.

  • Tahap pascapendakian adalah tahap ketika pendaki sudah meninggalkan pos awal pendakian hingga tiba di kediaman masing-masing. Aktivitas pada tahap ini di antaranya:
o   Berpamitan dengan petugas wisata, pemandu, porter, sesama pendaki, dan pihak-pihak lain ketika tujuan pendakian kita sudah selesai. Jangan putus kontak dan tetap menjalin relasi meskipun kita tidak tahu kapan akan bertemu lagi dengan mereka. Pastikan sampah yang kita produksi sudah dibawa turun dan barang-barang kita sudah komplet sebelum kita meninggalkan pos pendakian untuk pulang.
o  Saat meninggalkan destinasi wisata alam, ada dua agenda yang mungkin dilakukan wisatawan. Pertama adalah pulang ke domisili masing-masing dan kedua adalah kembali “mampir” ke tempat lainnya entah ke tempat sanak saudara atau ke destinasi wisata lainnya. Pastikan protokol kesehatan tetap kita jalani. Cari tahu informasi mengenai daerah berikutnya yang ingin kita tuju. Pastikan pula surat tes COVID-19 masih berlaku atau kita harus melakukan tes lagi di fasilitas kesehatan. Surat tes COVID-19 ini dibutuhkan untuk menggunakan angkutan umum atau dokumen administratif jikga dibutuhkan di destinasi wisata.
o    Tujuan dari setiap perjalanan adalah pulang dengan selamat sampai di rumah. Penting untuk mendesinfeksi semua barang yang kita bawa ketika tiba di rumah. Apabila kita mempunyai gejala COVID-19, lakukanlah isolasi mandiri dan jaga jarak dengan anggota keluarga untuk sementara waktu.

Kebijakan Terbaru terkait Pendakian Gunung:
Pada 22 Juni 2020, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Letjen TNI Doni Monardo bersama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Ir. Siti Nurbaya Bakar, M.Sc., Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio dan perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadakan rilis pers di Graha BNPB. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan bahwa beberapa kawasan pariwisata akan dibuka secara bertahap, sebagai bagian dari dimulainya aktivitas berbasis ekosistem dan konservasi dengan tingkat risiko COVID-19 paling ringan. Pengunjung kawasan tersebut dibatasi maksimal 50 persen dari kapasitas normal.

Untuk tahap awal, ada 29 Taman Nasional dan Taman Wisata Alam yang dapat dibuka secara terbatas dan lokasinya berada di zona hijau dan kuning. Ke-29 destinasi tersebut dibuka sejak proyeksi waktu saat ini sampai kira-kira pertengahan Juli 2020. Keputusan pembukaan kembali pariwisata alam ini, katanya, harus melalui tahapan pra kondisi, yakni, edukasi, sosialisasi, dan simulasi sesuai kondisi pariwisata alam dan karakteristik masyarakat di daerah itu. Pengelola kawasan, katanya, harus menyiapkan protokol kesehatan dan menajemen krisis sampai tingkat operasional di tiap kawasan serta monitoring dan evaluasi selama fase pra kondisi maupun fase implementasi. Kawasan wisata yang dibuka terdiri dari wisata bahari, konservasi perairan, wisata petualangan, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, suaka margasatwa, dan geopark, serta pariwisata alam nonkawasan konservasi antara lain kebun raya, kebun binatang, taman safari, desa wisata dan kawasan wisata alam yang dikelola masyarakat. Menurut Siti, beberpaa lokasi yang bertahap bisa dibuka adalah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Selaran dan Bali. Info terkini, Gunung Rinjani akan dibuka untuk pendakian pada 7 Juli 2020 mendatang.

Secara teknis KLHK hanya mengizinkan wisata selama satu hari (one day trip) di destinasi wisata alam. Melihat fakta ini, maka pendakian gunung yang membutuhkan waktu lebih dari satu hari untuk mencapai puncak, tentu saja tidak dapat dilakukan. Atau lebih tepatnya, pendakian masih belum diizinkan. Apabila hanya satu hari, maka gunung yang bisa didaki hingga mencapai puncaknya mungkin hanya gunung-gunung yang relatif tidak terlalu tinggi (di bawah 3,000 mdpl). Di Gunung Ijen misalnya, durasi yang saya butuhkan untuk mendaki dari pos pendakian awal hingga mencapai titik blue fire dan kembali ke titik awal adalah sekitar 6 jam. Jika kamu ingin mendaki dan memuncaki salah satu the seven summit, tentunya tunda dulu rencana tersebut karena pastinya membutuhkan waktu lebih dari satu hari (kecuali kamu juara trail running yang bisa tektok ke puncak hanya dalam beberapa jam). Untuk gunung-gunung yang relatif tinggi, mungkin pendakian hanya dipatok sampai ke titik tertentu saja. Seperti misalnya di Semeru, mungkin saja pendakian hanya bisa mentok sampai ke Ranu Kumbolo yang membutuhkan rata-rata 4 jam pendakian dari pos awal di Ranu Pani. Pendaki bisa memulai pendakian di pagi hari, misalnya jam 7 pagi. Kemudian tiba pukul 11 siang dan menikmati destinasi selama 2 jam. Lalu melanjutkan perjalanan pulang pada pukul 1 siang, dan tiba kembali di pos awal sekitar pukul 5 sore.

Namun kebijakan ini menurut saya tidak akan efektif, karena pastinya pendaki akan menginap-menginap juga di titik di sekitar pos pendakian. Paling banter pendaki akan membuka tenda di sekitar pos pendakian. Untuk pendaki lokal yang berdomisili di sekitar destinasi, mereka bisa saja berangkat dari rumah pukul 4 pagi misalnya dan berkendara ke pos awal pendakian untuk memulai pendakian. Sorenya mereka dapat kembali lagi ke rumah. Untuk pendaki dari luar kota, hal ini tentu sulit. Ujung-ujungnya mereka harus mencari penginapan di sekitar pos pendakian, untuk bermalam sebelum pendakian dimulai dan saat pendakian sudah selesai. Apabila di sekitar pos tidak ada penginapan, maka pilihan paling logis adalah membuka tenda. Efektivitas kebijakan one day trip ini bergantung pada adanya petugas wisata yang mengatur manajemen waktu. Petugas harus mengingatkan para pendaki untuk berangkat tepat waktu, dan pulang tepat waktu. Jangan ada pendaki yang terlalu asik memandangi Ranu Kumbolo sehingga ia malah telat pulang dan akhirnya malah kemalaman di trek pendakian. Petugas juga harus tegas untuk meminta pendaki meninggalkan tenda yang mereka bawa untuk dititipkan di pos pendakian. Jangan sampai ada pendaki yang kedapatan membawa tenda dan itu malah digunakan untuk menginap di gunung. Kebijakan one day trip ini menurut saya hanya cocok untuk aktivitas ringan di wisata alam, seperti misalnya pengamatan satwa di Taman Nasional.

Di pengujung tulisan ini, saya ingin menyampaikan rekomendasi bagi Pemerintah, tepatnya KLHK dan juga pendaki/wisatawan. Rekomendasi bagi KLHK, antara lain:
  • Seluruh area konservasi di Indonesia diampu oleh KLHK. Untuk Taman Nasional yang memiliki wisata gunung, harus dilengkapi sistem informasi yang lebih canggih. Karena ada sistem kuota dan jumlahnya dikurangi (untuk tahap awal 10-30 persen pengunjung), maka apabila kuota di suatu Taman Nasional sudah penuh, harus diberitahu kuota di Taman Nasional mana yang masih tersedia. Ini harus disusun dalam satu sistem informasi yang terintegrasi.
  • KLHK harus menyiapkan sistem deteksi COVID-19 di area kerjanya. Berbagai teknologi dapat digunakan untuk mendeteksi pengunjung yang terkena demam, misalnya melalui kamera thermal untuk mendeteksi suhu tubuh pengunjung.
  • Menyiapkan sistem kedaruratan apabila ada kasus COVID-19 di tempat wisata yang mencakup: proses evakuasi wisatawan, pertolongan pertama, hingga mekanisme bagaimana pasien dirujuk ke rumah sakit COVID-19 terdekat. KLHK juga perlu mendorong beberapa area wisata yang dikelolanya agar memiliki fasiilitas kesehatan untuk pertolongan pertama pasien COVID-19.
  • Memberikan bimbingan teknis kepada pelaku wisata mengenai pemahaman dan penguasaan protokol kesehatan, bagaimana melakukan evakuasi dan pertolongan pertama apabila ada pendaki yang bergejala COVID-19.
Rekomendasi bagi Pendaki dan Wisatawan:
  • Intinya, pendaki harus lebih bertanggung jawab ketika melakukan pendakian. Jika merasa tidak sehat, yang tidak usah keluar rumah. Jika kamu pingsan di gunung, malah akan bikir repot warga sekitar, Tim SAR dan tenaga kesehatan di sekitar tempat wisata. Protokol kesehatan adalah harga mati untuk ditaati. Jangan merasa bahwa kita sehat, bisa saja kita tidak bergejala, dan sudah tertular sebelum berangkat atau tertular di perjalanan. Bila merasa tidak sehat, ya tidak perlu naik gunung dan berpergian toh? Istirahat di rumah saja hingga kondisi membaik, karena kesehatan adalah anugerah termahal yang Tuhan berikan. Bukankah tujuan akhir berpetualang adalah kembali ke rumah dengan selamat?
  • Tips: pendaki dan wisatawan harus aktif memantau berita dan perkembangan terkini. Selain kebijakan pemerintah pusat, juga pelajari kebijakan lokal, baik kebijakan pemerintah daerah, ataupun kebijakan masyarakat lokal di mana lokasi wisata yang ingin dituju.
  • Tipe pendaki yang harus diubah dan dihindari selama kenormalan baru:
  1. Pendaki meeting point: pendaki yang awalnya terdiri dari 1 atau 2 orang saja. Mereka kurang personel untuk mendaki dan sharing peralatan, sehingga mencari tambahan teman melalui media sosial dan saling bertemu di titik temu tertentu. Namun ada juga yang nekat mencari tambahan teman on the spot di basecamp pendakian, seperti yang saya temui di Kerinci. Saat itu ada dua orang dari Bengkulu yang benar-benar mencari rekan pendakian saat sudah tiba di pos awal pendakian. Yang pasti kita tidak mengenal secara pasti siapa mereka dan kondisi kesehatannya.
  2. Pendaki cuek: pendaki yang kalau share cost musti ditagih dulu dan kalau beli rokok/snack di minimarket, dia bilang: “Nih punya gua lu sekalian bayarin dulu, nanti gua ganti.”
  3. Pendaki ogah latihan fisik: pendaki seperti ini nantinya akan merepotkan rekan satu timnya. Pastinya pendaki punya rasa solidaritas tinggi dan tidak akan membiarkan rekannya dalam kesulitan. Musibah juga kita tidak tahu apakah akan datang menimpa kita. Tapi ada baiknya kita juga menyiapkan diri kita agar tidak merepotkan orang lain.
  4. Pendaki ngebul: banyak sobat pendaki yang napasnya tetap kuat berjalan menanjak sekaligus mengisap rokoknya. Saya pribadi salut dengan mereka karena stamina yang sangat kuat. Merokok adalah hak segala bangsa, eh hak kita semua, namun di era saat ini, yuk kita stop merokok berdekatan dengan rekan kita, apalagi merokok di dalam tenda.
Simpulan:
  • Tidak perlu mendaki gunung apabila merasa belum yakin situasi saat ini sudah aman dan juga bila kondisi fisik belum memungkinkan. Hanya Tuhan dan kita sendiri yang mengetahui kondisi fisik kita, sehingga apabila merasa belum bugar atau merasakan gejala penyakit, lebih baik beraktivitas di rumah saja. Dan intinya pemerintah masih belum mengizinkan adanya pendakian untuk waktu dekat, karena wisata alam hanya dapat dilakukan selama satu hari.
  • Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi penolong bagi para penikmat ketinggian yang sudah kadung rindu dengan gunung. Untuk sementara, tidak ada salahnya kita mencoba pendakian virtual yang digagas oleh beberapa operator wisata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar