Jumat, 07 Agustus 2015

11 Hari untuk Rinjani

Gunung Rinjani. Para pendaki gunung pasti sudah tidak asing dengan nama ini. Rinjani merupakan gunung yang terletak di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gunung ini termasuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Dengan ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut (mdpl), gunung ini merupakan yang tertinggi di wilayah Kepulauan Sunda Kecil. Rinjani seakan memiliki magnet, sehingga banyak pendaki domestik dan asing yang rela pergi jauh untuk melihatnya. Rinjani memang terkenal akan keindahan alamnya yang luar biasa.

Rinjani memang indah. Tapi itu kan kata orang lain. Selama ini, saya hanya bisa memandangi keindahannya dari TV, majalah National Geographic, dan foto-foto racun di media sosial. Saya sempat berpikir, mendaki Rinjani hanyalah khayalan semata. Saya hanyalah mahasiswa yang bermodal pas-pasan. Selain itu, jarak Jakarta Lombok sangatlah jauh, sehingga mendaki Rinjani mungkin akan saya lakukan ketika saya sudah mapan nanti. Tapi, Tuhan selalu punya rencana untuk umat-Nya. Pada tahun 2014, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk mengunjungi salah satu The Seven Summits of Indonesia ini.

Siapa yang meragukan keindahan Gunung Rinjani?

Saya pikir, perjalanan mendaki Rinjani ini hanya modal nekat. Saya tidak begitu berpengalaman dalam mendaki gunung. Sebelumnya, saya baru dua kali mendaki gunung, yaitu mendaki Gunung Papandayan dan Gunung Ijen. Namun, justru di situ lah letak tantangannya. Saya berpikir, mengapa tidak langsung saja mencari pengalaman di salah satu The Seven Summits of Indonesia? Ya, naik gunung sebenarnya adalah hobi yang mahal. Dengan dana yang minim, saya berupaya untuk memaksimalkan dana tersebut untuk hanya untuk mendaki gunung-gunung tertinggi di Indonesia.

Kesempatan mendaki Rinjani akhirnya datang pada tahun 2014. Perjalanan Rinjani ini diinisiasi oleh saya dan Febri. Febri ini sudah saya kenal sejak trip ke Ijen-Baluran pada Januari 2014. Febri ini perempuan dan sudah lumayan sering mendaki gunung. Karena sering kontak via media sosial, muncul gagasan dari kami berdua untuk jalan ke Rinjani. Kami pun membuat perencanaan mengenai trip ini. Perencanaan mulai dilakukan pada bulan Juni 2014. Karena peserta baru dua orang, maka saya dan Febri mencoba membuat ajakan di laman BPI. Akhirnya peserta komplet. Ada Bang Andi dari Bajawa, Pulau Flores dan Dedi dari Garut, Jawa Barat. Kami memang sengaja bergerak dalam tim kecil yang berjumlah empat orang supaya tim lebih kompak dan mudah diatur. Setelah peserta komplet, kami pun menyusun rincian perjalanan. Survei mengenai transportasi, akomodasi, dan hal lainnya, kami lakukan dengan mengumpulkan informasi di dunia maya. Kami berempat sepakat untuk memulai perjalanan pada tanggal 19 Agustus 2014.

Hari Pertama (21 Agustus 2014)
Perjalanan ke Rinjani dilakoni dengan cara backpacker. Kami menolak segala bentuk moda transportasi udara (padahal mah aslinya gak punya duit hehehe). Saya, Febri, dan Dedi menggunakan moda transportasi darat. Kami menggunakan kereta api sampai ke Banyuwangi, dan menyambung sampai ke Pulau Lombok menggunakan kapal dan bus. Begitu juga dengan Bang Andi. Bang Andi naik kapal Pelni dan janjian dengan kami di Pelabuhan Padang Bai. Di sinilah letak kenikmatan perjalanan ala backpacker. Meskipun memakan waktu lebih lama dan fasilitas yang kurang nyaman, saya dapat bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat. Cara ini lebih membumi dan sesuai dengan kehidupan saya sehari-hari. Banyak juga kejadian tidak terduga yang dapat kita jumpai selama perjalanan. Lumayan lah untuk cerita ke anak dan cucu saya nanti.

Perjalanan kami mulai. Saya sudah berpamitan kepada orangtua di rumah. Sedih juga karena akan meninggalkan rumah selama sebelas hari ke depan. Tapi, sebagai anak laki-laki, pengalaman berpergian jauh memang wajib untuk dilakukan. Saya dan Febri berangkat dari Stasiun Pasar Senen menggunakan kereta api. Dedi juga menggunakan kereta dari Bandung dan akan bertemu dengan kami di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Saya dan Febri menggunakan kereta api Kertajaya tujuan Stasiun Gubeng dan berangkat pukul 2 siang. Lumayan panjang juga perjalanan kereta Jakarta-Surabaya yang akan saya lalui. Kebetulan, saya dan Febri duduk bersama dengan seorang Bapak. Kurang nyaman juga duduk dengan Bapak ini. Selama perjalanan, beliau selalu menyetel musik keras-keras melalui telepon genggamnya. Tidak memakai headset, tapi loudspeaker. Mau ditegur, tapi beliau orang yang lebih tua. Lagipula, lagu yang diputar adalah lagu dangdut. Mana mungkin lagu dangdut bisa bikin tidur Adanya juga bikin joget, hahaha. Alhasil, saya tidak bisa tidur selama di kereta.

Hari Kedua (20 Agustus 2014)
Saya dan Febri sampai di Stasiun Gubeng pada pukul 2 pagi. Perjalanan kereta api dari Jakarta ke Surabaya memakan waktu 12 jam. Di Stasiun Gubeng, kami juga menemui beberapa pendaki. Ternyata mereka berasal dari Tambun, daerah rumahnya si Febri. Kebetulan mereka ingin ke Semeru. Kami sempat main kartu dan minum kopi bersama untuk menunggu waktu pagi tiba.

Dari Surabaya, kami harus lanjut menuju ke Banyuwangi. Saya dan Febri menuju ke Stasiun Pasar Turi untuk menaiki kereta Mutiara Timur Siang. Untuk menuju ke Stasiun Pasar Turi, kami naik ojek dari Stasiun Gubeng. Di Stasiun Pasar Turi, saya menyempatkan diri untuk mandi. Meskipun ala backpacker, saya tetap harus tampil kinclong hehehe. Sialnya, waktu saya masih mandi, ternyata kereta tiba lebih cepat. Febri pun berteriak untuk memberitahu bahwa kereta sudah datang. Saya sempat panik, Langsung saja saya mandi ala bebek. Dengan rambut yang belum disisir dan badan yang masih basah, saya bergegas untuk masuk ke kereta. Lumayan malu juga, karena banyak dilihat oleh orang-orang sekitar. Tapi tidak apa-apa, yang penting gak ditinggal kereta huehehehe. Kereta pun berangkat pukul 9 pagi. Perjalanan memakan waktu 6 jam dan kami tiba di Stasiun Banyuwangi Baru pada pukul 3 sore. Oiya kereta Mutiara Timur Siang ini merupakan kereta kelas bisnis. Kursinya lebih nyaman sehingga kami dapat tidur seperti di rumah sendiri hehehe (balas dendam karena tidak bisa tidur saat di kereta Kertajaya).

Dari Banyuwangi, kami harus menyeberang ke Bali dari Pelabuhan Ketapang. Pelabuhan Ketapang jaraknya hanya 200 meter dari Stasiun Banyuwangi Baru. Kami jalan kaki saja menuju ke Pelabuhan Ketapang. Sebenarnya, ada dua peserta lagi dalam tim kami, yaitu Andika dan.....(satu orang lagi saya lupa namanya, maafkan ya hehehe). Keduanya dari Malang. Sebelumnya, mereka sudah oke untuk ikut acara kami. Kemudian, mereka batal karena katanya ada acara ospek di kampusnya. Di menit akhir, mereka akhirnya jadi mengikuti trip. Kedua orang ini akhirnya memilih memisahkan diri dari rombongan kami. Hehehe....ceritanya, sempat terjadi perbedaan pendapat dan sedikit cekcok. Mereka ingin mendaki dari Jalur Senaru, sedangkan tim kami sudah sepakat ingin mulai dari Sembalun. Di tengah jalan (saat sudah sampai Pelabuhan Lembar), mereka memutuskan untuk memisahkan diri. Kabarnya sih mereka jadinya ke NTT. Tapi gak apa lah, saya lihat mereka juga tidak membawa tenda, sehingga tidak akan muat di tenda kami (tim kami hanya bawa satu tenda, tendanya Bang Andi).

Si Dedi tiba di Pelabuhan Ketapang sekitar pukul 6 sore. Setelah makan sore untuk mengisi perut, kami langsung menyeberang ke Bali dengan menggunakan jasa PT. ASDP. Setiap jam, kapal selalu ada sehingga tidak usah takut kehabisan kapal. Penyeberangan dilakukan dengan membelah Selat Bali dan membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Di dalam kapal, Anda tidak akan bosan. Ada seorang sales yang akan menawarkan barang dagangannya dengan bahasa yang jenaka. Lumayanlah untuk hiburan hehehe.

Kami bertiga tiba di pelabuhan Gilimanuk sekitar pukul 7 malam. Di Pelabuhan Gilimanuk, sudah tersedia angkutan bus yang menuju ke Pelabuhan Padang Bai. Setelah tawar-menawar dengan kernet bus, disepakati tarif 50 ribu rupiah per orang. Ternyata pendaki yang ingin ke Rinjani saat itu sangat banyak. Bus saya saat itu disesaki para pendaki yang sepertinya sampai over capacity. Memang kacau juga supir dan kernet bus di sini. Untuk mendapat penghasilan yang tinggi, mereka sampai nekat mengabaikan aspek keselamatan. Untunglah tidak terjadi apa-apa di perjalanan saat itu. Bus berangkat sekitar pukul 9 malam dan sampai di Padang Bai sekitar jam 2 pagi keesokan harinya (21 Agustus 2014).

Hari Ketiga (21 Agustus 2014)
Di Pelabuhan Padang Bai, Bang Andi sudah menunggu kami. Dia naik kapal Pelni menuju ke Pelabuhan Padang Bai dari Pulau Flores. Kami pun beristirahat sejenak dan menunggu kapal yang akan menuju ke Pelabuhan Lembar, Lombok. Setelah kapal siap berangkat, kami berempat langsung membeli tiket kapal. Kapal berangkat sekitar pukul 4 pagi. Tarif penyeberangan sebesar 40 ribu rupiah. Kapal saya saat itu dipenuhi oleh manusia keril. Selain ada yang ingin ke Rinjani, ada juga yang ingin ke Tambora dan NTT. Kapal saat itu lumayan penuh sesak, namun penumpang dimanjakan dengan pemandangan Selat Lombok.

Pemandangan di Selat Lombok, Mempesona!

Perjalanan dari Pelabuhan Padang Bai ke Pelabuhan Lembar memakan waktu sekitar 6 jam. Kami tiba di Pelabuhan Lembar sekitar pukul 10 pagi. Benar-benar perjalanan yang luar biasa. Dua hari waktu yang saya butuhkan untuk menginjak Tanah Lombok. Di Pelabuhan Lembar, kami sudah menyewa satu mobil milik Pak Auri. Kami memang sudah menghubungi Pak Auri beberapa hari sebelum keberangkatan. Kami mendapat nomor Pak Auri melalui informasi di internet. Pak Auri ini memang terkenal ramah dan lumayan dikenal oleh pelaku wisata di Pulau Lombok. Pak Auri kemudan mengantar kami menuju ke Pos Sembalun.  Di tengah perjalanan, kami juga membeli logistik. Pak Auri merekomendasikan kami untuk membeli nanas. Kebetulan di Lombok saat itu sedang musim nanas. Nanas ini nantinya sangat berguna untuk menambah stamina saat mendaki.

Kami tiba di Sembalun sekitar pukul 3 sore. Kami berempat menyewa salah satu kamar penginapan milik warga setempat. Penginapannya lumayan unik, karena berasitektur khas Lombok. Bangunannya merupakan rumah panggung yang cukup tinggi, mungkin tingginya sekitar 4-5 meter. Kami memilih tidur di penginapan supaya dapat tidur dengan nyaman. Maklum kami sudah kecapekan selama di jalan. Kami juga sudah mengurus perijinan dan mendaftar di pos pendakian. Kami dapat tidur dengan tenang untuk memulihkan tenaga demi esok hari.

Salah satu unsur pendakian penting ialah porter. Tanpa porter, sepertinya mustahil saya dapat mencapai puncak Rinjani. Kebetulan, saat itu kami bertemu dengan Ketua Komunitas Porter Rinjani (KPR). KPR merupakan komunitas yang menghubungan para pendaki dengan porter. Ada seorang porter yang bersedia mendampingi kami, yaitu Pak Ipul. Pak Ipul ini badannya kurus kecil, tapi ternyata tenaganya kuda. Sesuai ketentuan, porter hanya membawa beban maksimal seberat 30 kilogram. Porter di Rinjani sudah sangat profesional, mereka semua sudah diberi pelatihan untuk mendampingi pendaki dan memasak. Berikut ini adalah rute pendakian yang akan kami lalui:

herulegowo.files.wordpress.com

Hari Keempat (22 Agustus 2014)
Pendakian kami mulai tanggal 22 Agustus 2014. Seluruh perlengkapan dan logistik sudah siap. Dari Desa Sembalun, kami mencarter mobil bak menuju ke Pintu Rimba Sembalun untuk menghemat tenaga.

Si Febri dan mobil bak

Oke, siap berangkat!

Akhirnya sampai di Pintu Rimba Sembalun. Dari kiri ke kanan: saya, Dedi, Bang Andi, Febri

Kami mulai pendakian pada pukul 8 pagi. Target kami saat itu adalah kemping di Plawangan Sembalun. Di jalur pertama pendakian, kami harus melewati padang savana yang sangat luas. Tidak ada vegetasi pepohonan besar di sini, sehingga para pendaki harus rela diguyur oleh teriknya sinar matahari. Pakailah topi atau penutup kepala, supaya kepala tidak pusing karena sinar matahari yang sangat menyengat. Rinjani merupakan gunung dengan trek yang berat. Ada baiknya pendaki menyiapkan fisik, karena gunung ini termasuk salah satu yang terberat di Indonesia. Trek di savana ini masih relatif datar. Pendaki dapat menyaksikan pemandangan savana khas Nusa Tenggara di tempat ini.



Lumayan banyak pendaki asing. Mungkin perbandingannya dengan pendaki lokal hampir 50:50. 

Di perjalanan, saya menemui adanya petugas Taman Nasional yang menyidak pedagang liar di jalur pendakian. Katanya, pedagang itu telah membuang sampah di salah satu pos peristirahatan, sehingga ia dihukum harus membersihkan sampah itu. Saya juga melihat adanya perlakuan yang berbeda antara pendaki lokal dengan pendaki asing. Di beberapa pos peristirahatan, terlihat adanya diskriminasi bagi pendaki lokal untuk beristirahat di pos. Pos tersebut hanya diperuntukkan bagi pendaki asing saja. Aneh juga saya pikir. Ini kan negara kami, tapi kok diperlakukan seperti ini. Mungkin pendaki asing membayar lebih mahal ya. Ya, mungkin ini perlakuan istimewa supaya pendaki asing lebih betah. Tapi saya tidak ambil pusing. Biarkanlah mereka melakukan apa yang mereka inginkan hehehe.


Masak sejenak sebelum melewati Tujuh Bukit Penyesalan (featuring Pak Ipul)

Sebelum mencapai Plawangan Sembalun, pendaki harus melewati Tujuh Bukit Penyesalan yang legendaris itu. Di tempat ini lah fisik pendaki Rinjani benar-benar diuji. Pendaki harus melewati tujuh buah bukit dengan tingkat elevasi yang tinggi, berbeda dengan trek savana yang relatif datar. Pendakian sangat menguras tenaga dan melatih mental. Saking capeknya, mungkin saya lebih banyak istirahatnya daripada melangkahkan kaki hehehe. Meskipun saya sudah sering latihan fisik, rasanya hal itu masih kurang. Rinjani memang luar biasa berat. Setelah mendaki selama kurang lebih sembilan jam, akhirnya kami sampai di Plawangan Sembalun. Kami sampai di Plawangan Sembalum tepat saat maghrib. Kami langsung mendirikan tenda dan memasak. Kami harus segera tidur karena esok paginya akan memulai summit attack.

Suasana di Plawangan Sembalun


Ini lah Puncak Anjani yang akan kami perjuangkan!

Hari Kelima (23 Agustus 2014)
Keesokan harinya, kami bangun pukul 3 pagi. Setelah briefing, kami siap untuk summit attack. Pak Ipul tinggal di tenda untuk menjaga barang bawaan (hati-hati, kata Pak Ipul sekarang banyak pencurian di Rinjani). Pendakian menuju puncak sungguh teramat berat. Beberapa pendaki mengakui bahwa trek ini lebih berat, bahkan dari summit Kerinci. Di tengah perjalanan menuju puncak, saya menemui beberapa kendala. Pertama, lampu headlamp saya kehabisan baterai. Jadinya, saya harus berjalan di belakangnya Febri untuk mendapatkan cahaya. Dan kedua, kaki kiri saya tiba-tiba kram. Mungkin ini terjadi karena sepatu gunung saya yang kurang berkualitas. Maklum, harganya cuma Rp 250 ribu hehehe. Karena saya dan Febri merupakan pendaki siput, maka kami ketinggalan di belakang. Bang Andi dan Dedi sudah duluan mencapai puncak. Selama pendakian summit. kita dapat melihat sunrise yang luar biasa.

Membidik ke arah timur. A beautiful sunrise is coming.....

Gunung Batur (Pulau Bali) juga terlihat dari Pulau Lombok

Karena saking lambatnya, saya dan Febri bergabung dengan pendaki lain yang tiba paling akhir di puncak. Waktu sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Matahari sudah bersinar terik dan menyengat. Puncak sudah terlihat sangat jelas. Jika dilihat dengan mata, mungkin jaraknya 200 meter saja, namun tetap dibutuhkan waktu satu jam lagi untuk menggapainya (hadehhhh). Di trek terakhir menuju puncak, pendaki harus mendaki jalur pasir menanjak yang sangat sulit dilalui. Bila mendaki dua langkah, maka kaki kita juga akan turun satu langkah karena pasir yang licin. Karena rasa kram di kaki yang sudah sangat menyiksa, saya sempat berpikir untuk menyerah saja. Namun, Febri mengatakan bahwa kita sudah jauh-jauh datang ke Rinjani. Untuk apa datang jauh-jauh kalau tidak sampai puncak. Karena perjuangan dan suntikan moral, akhirnya kami dapat mencapai puncak Rinjani. Puji Tuhan. Saya dan Febri sampai di Puncak Anjani sekitar pukul 10 siang.

Emosi yang diluapkan ketika mencapai Puncak Anjani



Setelah puas berada di puncak, saya dan Febri kembali ke tenda kami di Plawangan Sembalun, Perjalanan turun juga sama sulitnya seperti perjalanan saat naik. Pasir begitu licin, sehingga kita rentan untuk terjatuh. Sial sekali! Karena sepatu murahan ini, akhirnya jari-jari kaki saya lecet. Saya pun menahan rasa sakit selama perjalanan turun. Benar-benar harga luar biasa mahal yang harus dibayar demi Puncak Anjani. Setelah pengorbanan yang luar biasa, akhirnya saya dan Febri sampai di tenda kami di Plawangan Sembalun. Di tenda, sudah ada Dedi dan Bang Andi yang sudah turun lebih dulu. Biasanya, begitu dari summit, pendaki langsung lanjut ke Danau Segara Anak. Namun, karena sudah terlalu siang dan kecapakan, maka kami sepakat untuk tetap di Plawangan Sembalun.

Hari Keenam (24 Agustus 2014)
Keesokan harinya , kami memulai perjalanan ke Danau Segara Anak. Kami berangkat sekitar pukul 8 pagi. Untuk menuju ke Danau, kita tidak perlu mendaki karena treknya menurun dan landai. Meskipun demikian, diperlukan fisik dan kesigapan karena jalurnya lumayan sulit dilalui (licin dan banyak batu besar). Jalurnya juga didominasi oleh padang savana. Sangat indah, namun terik begitu menyengat. Kami tiba di Danau sekitar pukul 3 sore. Tenda langsung didirikan dan kami mencari spot untuk memotret danau yang eksotis ini.

Gunung Baru di seberang Danau Segara Anak

Danau Segara Anak terbentuk karena aktivvitas vulkanologi. Letusan Rinjani pada dahulu kala menyebabkan munculnya lubang kaldera besar yang lama-kelamaan terisi oleh air hujan. Aktivitas vulkanik juga menimbulkan kemunculan gunung baru di sisi Danau, yaitu Gunung Baru Jari, Gunung tersebut memang baru terbentuk. Banyak terdapat kandungan belerang di Danau Segara Anak. Meskipun demikian, masih ada ikan yang hidup di Danau ini. Terdapat ikan nila, mujair, dan karper di Danau. Ikan ini memang sengaja dikembangbiakan oleh Pemerintah Daerah setempat. Kami pun memancing sebagai santapan untuk nanti malam.
Mantap Mania Mancing, Yes

Dibalik keindahannya yang tersohor, ada sisi gelap Rinjani yang patut disesalkan. Ya, Gunung Rinjani sangat kotor. Sampah terlihat di mana-mana, mulai dari Pos di Sembalun sampai di Danau Segara Anak. Perlu adanya strategi dari pihak pengelola untuk membenahi masalah ini. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin Rinjani akan menjadi tempat sampah dan ditutup untuk aktivitas wisata. 







Tidak jauh dari Danau, terdapat sumber air panas. Konon, air panas di sini ampuh untuk mengobati penyakit kulit. Kami berempat menyempatkan diri untuk mandi. Lumayan lah, sudah tiga hari gak mandi hihihi. Air panas juga berguna untuk memulihkan otot-otot yang lelah sehabis mendaki.

Pada malam harinya, terjadi sebuah insiden. Ada seorang pendaki yang nampaknya tersesat. Ia menyalakan lampu darurat dari headlamp-nya. Esoknya diketahui bahwa ia pendaki asal Lombok. Si pendaki akhirnya tewas karena jatuh ke jurang. Jasadnya dievakuasi oleh pihak TNI. Masih belum jelas mengapa Almarhum bisa tersesat saat malam hari.

Hari Ketujuh (25 Agustus 2014)
Pada hari ketujuh, kami bergegas meninggalkan Danau Segara Anak. Kami harus pulang melalui jalur Senaru. Berbeda dengan Sembalun, Senaru merupakan daerah yang didominasi oleh hutan hujan tropis. Panoramanya mirip-mirip hutan liar di Sumatra atau Kalimantan. Perjalanan dari Danau ke Senaru ternyata lebih berat dari pada perjalanan Sembalun-Plawangan Sembalun. Dalam perjalanan menuju Senaru, terdapat beberapa kombinasi jalur mulai dari jalur berbatu, jalan berpasir, dan hutan hujan tropis. Jalur sangat berat karena banyak batu besar dan jurang. Tanjakannya pun melebihi 45 derajat. Namun, jujur saja pemandangan saat di sini merupakan yang paling indah selama saya di Rinjani.




Selama mendaki Rinjani ini, sepertinya Dedi memiliki dengkul dewa. Langkahnya sangat cepat dan sering meninggalkan anggota tim lain. Saat kami masih ada di hutan Senaru, ternyata si Dedi sudah sampai di Pintu Rimba Senaru. Pak Ipul sudah berusaha mengejar, namun tidak kesampaian. Karena hari sudah gelap, maka kami tidak mau nekat untuk lanjut. Kami berkemah di pos 1 Senaru, tanpa si Dedi. Kami lumayan cemas dengan Dedi, karena seluruh logistik dan perlengkapan tim ada di kami. Semoga saja Dedi bisa tidur nyenyak malam ini.

Hari Kedelapan (26 Agustus 2014)
Esok harinya, kami melanjutkan perjalanan ke Pintu Rimba Senaru. Kami akhirnya ketemu dengan Dedi. Ternyata si Dedi malam kemarin tidur di sebuah warung bersama dengan pendaki dari rombongan lain. Di sinilah perpisahan kami dengan Pak Ipul. Kami harus meninggalkan Rinjani. Kami juga sudah menghubungi Pak Auri untuk menjemput kami.

Tiba di Pintu Rimba Senaru

Sesuai dengan rencana awal, kami ingin ke Pantai Senggigi sehabis mendaki Rinjani. Namun, kami takut ketinggalan kereta di Banyuwangi. Kebetulan, saya, Febri, dan Dedi sudah membeli tiket kereta Banyuwangi-Jogja untuk tanggal 28 Agustus 2014. Bang Andi menawarkan untuk menginap di Bali saja. Kebetulan dia punya kenalan di Bali. Akhirnya kami sepakat untuk ke Bali lebih cepat, supaya tidak terburu-buru dalam mengejar kereta saat pulang.

Kami diantar Pak Auri ke Pelabuhan Lembar. Di sini, kami kecolongan karena membeli tiket kapal dari calo. Si calo begitu meyakinkan sehingga kami pikir dia petugas resmi. Sayang sekali uang kami tidak masuk ke kas negara.

Sekali lagi, kami disuguhi pemandangan Selat Lombok yang memesona. Berbeda dengan saat berangkat, kapal kali ini lumayan sepi. Waktu enam jam perjalanan saya gunakan untuk memotret laut. Jalesveva Jayamahe!

Selat Lombok

Mafia kapal

Kami tiba di Pelabuhan Padang Bai sekitar pukul 5 sore. Jarang sekali ada angkutan yang menuju Denpasar dari sini. Bang Andi meminta kenalannya untuk menjemput. Tidak main-main, ternyata kenalannya Bang Andi ialah dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar (Waduh aku lupa namanya Pak siapa). Woww. Ternyata Bang Andi dan Pak Dosen merupakan teman satu komunitas mobil offroad. Kami dijemput menggunakan mobil 4x4. Di dalam mobil, kami juga diberi kuliah umum filsafat hehehe.

Selama di Mobil Pak Dosen, Bang Andi sudah janjian dengan Mas Bayu. Mas Bayu ini ternyata merupakan ketua BPI Bali dan sudah terbiasa menerima teman-teman backpacker untuk menginap di rumahnya. Gratis, tanpa dipungut biaya. Rumah Mas Bayu berada di Ungasan, Kabupaten Badung. Setelah sampai, kami pamit dan berterimakasih kepada Pak Dosen yang sudah mengantar.

Hari Kesembilan (27 Agustus 2014)
Esok harinya (27 Agustus 2014), kami berempat berencana untuk santai-santai saja di daerah Legian. Karena sudah kecapekan mendaki Rinjani, mungkin kami tidak mau jalan-jalan yang terlalu berat. Kebetulan jarak antara Legian dan Ungasan lumayan dekat. Kami menyewa motornya Mas Bayu (Mas Bayu juga pengusaha jasa perjalanan dan penyewaan motor di Bali). Dari pagi sampai siang, kami menikmati indahnya Pantai Kuta dan juga mengunjungi Monumen Bom Bali di Legian. Sangat banyak turis asing di sini (ya iya lah, namanya juga Bali). Saya seperti bukan berada di Indonesia, melainkan berada di luar negeri. Atmosfernya sungguh sangat berbeda

Monumen Bom Bali

Setelah puas nongkrong di Legian, kami harus segera kembali ke rumahnya Mas Bayu. Pada malam harinya, saya, Febri, dan Dedi harus ke Banyuwangi. Kami sudah membeli tiket kereta. Sementara Bang Andi masih stay di rumah Mas Bayu untuk menunggu kapal Pelni ke Pulau Flores. Kami pun saling berpamitan. Saya, Febri, dan Dedi naik bus yang menuju ke Banyuwangi. Kami pun tiba di Banyuwangi sekitar pukul 11 malam dan menunggu kedatangan kereta.

Hari Kesepuluh (28 Agustus 2014)
Esoknya, kami menaiki kereta Sri Tanjung dari Stasiun Banyuwangi Baru. Kereta berangkat pukul 6.30 WIB dan sampai di Jogja pada pukul 7 malam. Kebetulan, saat itu sedang ada kakak dan Mama saya di Kota Jogja. Kakak saya transit sebentar di Jogja untuk berangkat ke Magelang, untuk bekerja, ditemani oleh Mama saya. Kami, kemudian memesan hotel untuk bermalam di sekitar Stasun Tugu. Febri dan Dedi juga memesan hotel di tempat yang berbeda.

Hari Kesebelas (29 Agustus 2014)
Tidak banyak kegiatan yang saya lakukan di Kota Jogja. Saya memang lebih banyak beristirahat di dalam kamar karena ingin memulihkan diri. Kebetulan, saya juga orang Jogja, sehingga sudah sangat sering mengunjungi Kota ini. Dari Jogja, saya harus kembali ke Jakarta. Saya harus memulai jadwal perkuliahan semester ke-7. Saya dan Febri naik kereta Progo dari Stasiun Lempuyangan, sedangkan Dedi naik kereta tujuan Bandung. Kereta berangkat pukul 2 siang dan sampai di Jakarta pukul 12 malam. Saya turun di Stasiun Jatinegara, dan sudah ada Bapak saya yang menjemput.

Sekian trip 11 hari saya untuk Rinjani. Semoga bermanfaat sebagai referensi. Sekian dan terima kasih. Berikut adalah rincian biaya yang saya keluarkan:

-Kereta Kertajaya Jakarta-Surabaya = Rp 50 ribu
-Jasa ojek Stasiun Gubeng-Stasiun Pasar Turi = Rp 15 ribu
-Kereta Mutiara Timur Malam Surabaya-Banyuwangi = Rp 100 ribu
-Tarif penyeberangan kapal ASDP Ketapang-Gilimanuk = Rp 7.500
-Bus Gilimanuk-Padang Bai = Rp 50 ribu
-Tarif penyeberangan ASDP Padang Bai-Pelabuhan Lembar = Rp 40 ribu
-Sewa mobil Pak Auri Pelabuhan Lembar-Sembalun= Rp 500 ribu/mobil
-Penginapan di Sembalun = Rp 100 ribu per malam
-Jasa porter = Rp 150 ribu per hari
-Pendaftaran Masuk Rinjani = Rp 5 ribu per hari
-Angkutan mobil bak Sembalun-Pintu Rimba = Rp 10 ribu per orang
-Sewa mobil Pak Auri Senaru-Pelabuhan Lembar = Rp 500 ribu
-Tarif penyeberangan ASDP Pelabuhan Lembar-Padang Bai = Rp 40 ribu
-Tumpangan mobil Pak Dosen ISI = gratis tis tis tis
-Menginap di rumah Mas Bayu = gratis tis tis tis
-Sewa motornya Mas Bayu = Rp 50 ribu per hari
-Masuk Pantai Kuta = gratis
-Bus Denpasar-Banyuwangi = Rp 40 ribu
-Kereta Sri Tanjung Banyuwangi-Yogyakarta = Rp 50 ribu 
-Menginap di Jogja = Rp 150 ribu per malam
-Kereta Progo Yogyakarta-Jakarta = Rp 50 ribu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar