Minggu, 20 Desember 2015

Fenomena Turis Kekinian dan Insiden Bunga Amaryllis


Dalam beberapa tahun terakhir, orang Indonesia menjadi lebih familiar dengan kegiatan pariwisata. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, pendapatan masyarakat semakin meningkat. Alhasil, mereka sanggup untuk membiayai kebutuhan tersier seperti berwisata. Kegiatan wisata bahkan menjadi kebutuhan sekunder bagi kalangan menengah ke atas. Meningkatnya aktivitas pariwisata di Indonesia dapat dilihat dari mulai menjamurnya perusahaan travel, perhotelan, restoran, dan tentu saja meningkatnya jumlah wisatawan. Berikut ini adalah tren jumlah wisatawan nusantara dalam beberapa tahun terakhir:




Meningkatnya aktivitas pariwisata telah mendatangkan efek positif bagi Indonesia. Dari segi ekonomi, pariwisata dapat mendatangkan devisa bagi negara, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Cohen, 1984 dalam Priono, 2011: 24). Dari segi sosial, kegiatan pariwisata relatif mampu memacu berkembangnya sistem sosial yang lebih demokratis, toleransi yang lebih tinggi terhadap perbedaan, meningkatnya kesadaran berbangsa dan bernegara, dan kesadaran akan identitas etnik (Setyadi, 2007: 104).

Di sisi lain, aktivitas pariwisata juga mendatangkan efek negatif. Dari segi ekonomi, pariwisata dapat menimbulkan kesenjangan karena tidakmeratanya keuntungan pariwisata lebih banyak dinikmati kaum elit, seperti yang terjadi di Malta (Pitana, 1994 dalam Setyadi, 2007: 101). Dari segi sosial, pariwisata dapat menurunkan aktivitas gotong royong, komersialisasi kebudayaan, meningkatkan kejahatan dan penggunaan narkoba, serta migrasi penduduk yang cepat (Geriya, 1983 dalam Setyadi, 2007: 101). Dan dari segi ekologi, pariwisata dapat menimbulkan pencemaran lingkungan seperti sampah, vandalisme, rusaknya habitat flora dan fauna, serta polusi air, udara, dan tanah (Abdurrachmat dan Maryani, 1980 dalam Waluya, 2013: 2).

Pariwisata bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ia dapat memberikan manfaat. Di sisi lain, ia dapat membawa dampak negatif. Masalah yang paling dapat kita lihat adalah kerusakan lingkungan. Di beberapa tempat wisata, sampah merupakan pemandangan yang sering saya jumpai, baik di gunung maupun pantai. Saya melihat bahwa hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan dari pengelola wisata. Ditambah lagi, kurangnya pemahaman wisatawan mengenai kelestarian lingkungan.

Insiden di Kebun Bunga Amaryllis
Pada akhir November 2015, masyarakat dihebohkan oleh perilaku wisatawan di kebun bunga amaryllis yang terletak di Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul. Bunga amaryllis merupakan bunga yang konon berasal dari Afrika bagian selatan. Di Gunung Kidul, bunga ini dibudidayakan oleh beberapa warga. Amaryllis hanya tumbuh sekali dalam satu tahun,, tepatnya pada awal musim penghujan. Usia bunga ini tidak terlalu panjang. Setelah tiga minggu, bunga indah ini akan layu dan mati.

Kebun bunga ini memang "aman-aman saja" pada awalnya. Setiap tahun, bunga-bunga ini memang tumbuh setperti biasa. Awal "kehancuran" bunga ini muncul ketika ada seorang travel blogger yang mengetahui lokasi kebun bunga. Kemudian, ia mempublikasikan foto kebun bunga tersebut melalui media instagram. Si travel blogger juga mencantumkan beberapa tagar, sehingga foto tersebut menjadi terkenal dan di-share oleh beberapa media. Kebun bunga amaryllis yang selama ini tersembunyi, akhirnya harus sudi untuk diketahui khalayak ramai. Berikut adalah foto pertama yang membuat kebun bunga amaryllis menjadi hits:


Setelah di-share oleh beberapa media terkemuka, akhirnya banyak orang yang penasaran dengan tempat tersebut. Ditambah lagi, media tersebut memberikan informasi mengenai akses menuju ke lokasi. Alhasil, kebun bunga tersebut diserbu oleh khalayak ramai. Kebanyakan dari mereka mereka merupakan anak muda. Mereka membawa tongkat sakti mereka, yaitu tongkat narsis (tongsis). Sudah jelas bahwa mereka ingin berfoto selfie dan mengabadikan keindahan bunga amaryllis yang menawan. 

Berfoto selfie atau mengabadikan keindahan alam tentu saja merupakan hak setiap warga negara. Meskipun demikian, apabila dilakukan sambil merusak, tentu hal tersebut tidak dibenarkan. Kebun bunga amaryllis menjadi sangat hits. Per hari, jumlah pengunjung dapat mencapai 1.500 orang. Mungkin pemilik kebun tidak pernah menyangka bahwa kebunnya akan menjadi lautan manusia. Kebun bunga ini bukanlah tempat wisata. Alhasil, kebun bunga tidak mampu menampung jumlah pengunjung yang membludak. Para pengunjung pada akhirnya menginjak bunga-bunga tersebut dengan dalih ingin ber-selfie dan mengabadikan gambar. 







Baru dua hari bunga di kebun ini mekar. Seharusnya, bunga-bunga ini memiliki waktu tiga minggu untuk hidup di alam. Bunga-bunga ini tidak sempat mencicipi waktu tiga minggu mereka yang sempit. Baru dua hari tumbuh, para manusia sudah merenggut hak hidup mereka. 

Padahal, di area kebun, sudah dipasang tanda peringatan:

Kecaman Netizen Atas Insiden di Kebun Bunga Amaryllis
Para turis ini kemudian dengan bangganya mempublikasikan foto mereka (dengan merusak bunga) ke media sosial. Sontak, para netizen mengecam tindakan turis kekinian tersebut. Mereka pun di-bully di dunia maya. Aksi ini sempat menjadi hot thread  di laman kaskus.co.id di sini







Tidak hanya itu, bahkan ada sebagian turis kekinan yang malah membenarkan perbuatan vandal yang mereka lakukan.








Ternyata benar hal yang dikatakan oleh Dosen saya di FISIP UI. Menurut beliau, sense of humanity manusia Indonesia semakin menurun dari hari ke hari. Manusia Indonesia, terutama generasi muda, telah kehilangan kepekaan sosial terhadap orang lain. Pernah suatu hari Dosen saya berjalan di lorong sempit di kampus bersama seorang temannya. Dari arah berlawanan, ada beberapa mahasiswa yang juga melewati lorong. Ketika berpapasan, si mahasiswa ternyata tidak mau minggir untuk memberikan jalan kepada orang yang lebih tua. Malah Dosen saya yang minggir untuk memberi mereka jalan. Hal seperti ini juga mudah sekali kita lihat saat berlalu-lintas. Seringkali kita menemukan adanya pengendara yang melawan arus atau pengendara yang merenggut hak pejalan kaki di trotoar. Ini lah realita Bangsa kita!

Salah satu pemilik kebun, yakni Pak Sukadi merasa pasrah dan merelakan kebun bunganya rusak. Ada juga pemilik kebun bunga yang menyayangkan insiden ini.




Fenomena Turis Kekinian dan Tayangan Jalan-jalan Minim Edukasi
Akhir-akhir ini, beberapa teman pejalan memang menyayangkan sikap beberapa wisatawan yang kerap abai terhadap lingkungannya. Bukan hanya di kebun bunga amaryllis. Jauh sebelumnya, sudah ada fenomena Gunung Semeru yang menjadi gunung sampah karena banyaknya pendaki dadakan yang tidak paham menjaga lingkungan. Pendaki tersebut muncul karena dirilisnya film "5cm". Para penikmat film tersebut terpukau akan keindahan Gunung Semeru dan Ranu Kumbolo-nya. Namun, film "5cm" tidak memberikan edukasi bagi pendaki. Contohnya, para pemeran film menggunakan celana jeans ketika mendaki. Padahal, celana jeans sangat tidak direkomendasikan untuk dipakai ketika mendaki gunung.

Bagi saya dan beberapa teman pejalan, kami lebih sering menggunakan istilah "turis kekinian". Definisi dari saya, turis kekinian merupakan wisatawan dadakan yang baru muncul 2-3 tahun belakangan. Mereka ini menjadi wisatawan karena sekedar mengikuti tren, namun mereka tidak memahami arti travelling yang sesungguhnya. Mereka hanya ingin mengunjungi suatu tempat keren. Biasanya yang dikunjungi adalah obyek wisata alam. Mereka tidak menyukai wisata budaya seperti candi, museum, arca, dsb. Kemudian, mereka mempublikasikan foto mereka di media sosial dengan harapan mendapat like dan share sebanyak-banyaknya . 

Tren ini terutama didorong oleh tayangan-tayangan jalan-jalan kekinian, seperti misalnya Merasa Tenar Merasa Alay (disingkat MTMA hehehehe). Pada awalnya acara MTMA ini asyik-asyik saja dengan host Vicky dan Hamish. Setelah rating dan sponsorship meningkat, entah kenapa acara ini langsung mengubah konten acaranya. Lama-kelamaan acara ini menjadi (maaf) alay. Isi acaranya menjadi hanya mengunjungi obyek wisata alam (terutama pantai dan air terjun), tidak lagi mengunjungi obyek wisata yang lebih bersifat budaya. Konten acaranya hanya diisi oleh kegiatan aksi para host yang ber-selfie dengan kamera aksi, lalu berkata: "Indonesia itu indah bro, masih betah di rumah aja....". Belum lagi adegan yang tidak mendidik, seperti balapan motor trail, menantang crew untuk lompat dari batu yang cukup tinggi, dan masih banyak lagi. Belum lagi perilaku host yang tidak menghargai budaya lokal. Seringkali host berbicara pada penduduk lokal dengan sebutan gue/elu. Acara-acara seperti ini lah yang membuat para penontonnya menjadi korban. 

Ternyata bukan hanya saya yang menganggap bahwa acara MTMA ini menjadi biang keladi perilaku turis kekinian yang merusakan bunga amaryllis. Banyak juga netizen yang menyatakan bahwa acara MTMA memiliki andil dalam membentuk perilaku turis kekinian. Berikut link-nya:


1. Taman Bunga di Gunung Kidul Rusak, Netter Salahkan Acara 'My Trip My Adventure'

2. Fenomena My Trip My Adventure yang merusak taman bunga AMARYLLIS di Gunung Kidul

Bukan kali ini saja Tr*ns TV menayangkan acara yang kurang mendidik. Dulu, pernah ada tayangan "Primitive Runaway." Acara itu menuai kecaman karena mendiskreditkan masyarakat adat. Masyarakat adat dianggap sebagai kelompok primitif yang tidak bersahabat dengan orang kota. Akhirnya nama acara diganti menjadi "Ethnic Runaway", namun konten acaranya masih sama saja.

Para turis kekinian sebetulnya adalah korban dari acara yang lebih menekankan pendekatan turistik, bukan pendekatan sosial-budaya. Atas tuntutan sponsor dan rating, mereka mengabaikan edukasi terhadap pemirsanya. Mungkin konten acaranya diatur agar lebih mengikuti keinginan si penyandang dana. Saya melihat bahwa para remaja Indonesia digiring supaya hobi selfie dan aksi. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan smartphone dan kamera aksi yang canggih. Berdasarkan data dari Redaksi Republika (2014), Indonesia berada di peringkat kelima negara dengan pengguna smartphone terbanyak anpada tahun 2014. Para remaja juga digiring untuk aktif di media sosial, supaya menguntungkan para rente yang berbisnis di bidang tersebut.

Turis dan Traveller. Mana yang Kau Pilih?
Fenomena turis kekinan menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji. Orang awan mungkin menganggap bahwa turis dan traveller merupakan istilah yang sama. Setelah dikaji, ternyata keduanya memiliki definisi yang berbeda. Riset mengenai perbedaan perilaku turis dan traveller salah satunya dikaji oleh McCabe (2005). Perbedaan pertama terletak pada perjalanan yang mereka lakukan. Turis identik dengan liburan (holiday), sedangkan traveller identik dengan perjalanan (trip). Holiday hanya mengisi waktu libur, sedangkan trip merupakan perjalanan untuk merasakan pengalaman di suatu tempat. 

McCabe (2005) juga mengumpulkan beberapa pandangan dari responden mengenai perbedaan turis dan traveller. Para responden mengkonotasikan istilah turis sebagai hal yang bersifat lebih negatif daripada traveller. Berikut ini adalah pendapat dari beberapa responden mengenai perbedaan turis dan traveller:

"Menjadi turis menandakan bahwa Anda hanya melihat pemandangan, bukan merasakan kehidupan penduduk di tempat yang Anda datangi. Jika saya berpergian, saya memiliki motto: Jika kau berada di Roma, jadilah seperti orang Roma! Itu lah motto yang dipegang oleh traveller."

"Menjadi traveller berarti Anda pergi ke tempat yang terpencil, ingin mengetahui kehidupan penduduk lokal, menggunakan moda transportasi lokal, dan mencicipi makanan lokal."

"Para traveller menyukai budaya dan lingkungan tempat mereka pergi, sedangkan para turis malah merusaknya!"

Ada juga responden yang mengakui bahwa ia merupakan campuran turis dan traveller:
"Terkadang, saya hanya pergi ke tempat wisata mainstream untuk melihat pemandangan. Namun, saya juga ingin pergi ke tempat-tempat terpencil yang belum pernah dikunjungi turis."

Selain pendapat di atas, saya juga menemukan beberapa gambar mengenai perbedaan turis dan traveller di grup Facebook "The Selfies Research Network". Grup tersebut merupakan wadah bagi para peneliti yang tertarik dengan isu selfie











Menguak Fenomena Selfie 
Beberapa pendapat dan gambar di atas dapat memberikan pemahaman mengenai perbedaan turis dan traveller. Perilaku hobi berfoto selfie dapat menjadi ciri pembeda antara turis kekinian dengan para traveller. Seperti yang terjadi di kebun bunga amaryllis. Hanya karena ingin ber-selfie, mereka sampai tega merusak bunga yang hanya berusia pendek tersebut. Menarik untuk mengkaji fenomena selfie. Mengapa para turis di kebun bunga amaryllis rela merusak lingkungan hanya demi foto selfie? 

Selfie menjadi hal yang jamak dilakukan oleh masyarakat Indonesia, terutama kaum remaja. Bahkan, mereka sampai dijuluki generasi selfie. Meskipun demikian, selfie bukan hanya fenomena yang terjadi di Indonesia. Selfie juga menjadi fenomena global. Beberapa tahun belakangan, selfie menjadi aktivitas yang familiar dilakukan masyarakat dunia. Saking familiarnya, pada 2013, Kamus Oxford memasukkan kata selfie dalam perbendaharaan katanya. Masih ingat dengan foto selfie pada saat acara Oscar tahun 2014? Foto tersebut memecahkan rekor sebagai foto yang paling banyak di-retweet sepanjang sejarah.


Senft dan Baym (2015) mendefinisikan selfie sebagai sebuah obyek fotografi yang mentransmisikan perasaan manusia dalam bentuk relasi (antara obyek foto dan fotografer, antara yang melihat dengan yang dilihat, dll.). Selfie juga merupakan sebuah gestur yang dapat mengirim berbagai pesan kepada beberapa individu yang berbeda, komunitas, atau audiens. 

Selfie tidak hanya sekedar memfoto diri sendiri. Lebih dari itu, selfie dilakukan agar orang lain mengetahui bahwa si uploader sedang/telah mengalami suatu kejadian. Misalnya, seseorang yang ber-selfie dengan latar belakang kerusuhan demo buruh di Barcelona, atau seseorang yang ber-selfie dengan latar belakang tentara sesaat setelah terjadi kudeta di Thailand.

Selfie dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan. Di perkampungan kumuh di Brasil, beberapa perempuan perantau ber-selfie dengan latar belakang kondisi perkampungan kumuh. Perkampungan tersebut rawan aksi kejahatan. Mereka ber-selfie dan mempublikasikannya agar orangtua mereka tahu bahwa mereka dalam kondisi aman di tempat tersebut sehari-harinya (Nemer dan Freeman dalam Senft dan Baym, 2015),

Di sisi lain, kita juga kerap menemui aksi selfie yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Selain insiden selfie di kebun bunga amaryllis, ada juga beberapa aksi selfie yang mungkin tidak seharusnya dilakukan.

Foto selfie di bangkai pesawat AirAsia:

Selfie di bangkai pesawat Hercules:

Selfie ketika sedang menangani pasien:

Ada juga beberapa kasus kematian yang terjadi karena aksi selfie. Mereka rela melakukan tindakan berbahaya demi mendapat foto yang mereka inginkan. Bahkan, di Rusia, selfie lebih mematikan daripada serangan hiu. Tahun 2015, ada dua belas kematian akibat selfie, sedangkan kematian akibat serangan hiu berjumlah delapan (Selfie Lebih Mematikan Daripada Serangan Hiu).

Bukan hanya para pe-selfie. Ada juga tingkah fotografer yang tega menggangu aktivitas orang lain demi mendapatkan jepretan terbaik!


Selfie memiliki efek positif sebagai media penyampai pesan. Di sisi lain, selfie juga membawa efek negatif. Di kebun bunga amaryllis, para turis kekinian ber-selfie dan abai terhadap lingkungan sekitarnya. Berdasarkan riset yang dilakukan Senft dan Baym (2015), selfie memang memiliki beberapa efek negatif. Karena terlalu asyik dengan perangkat kameranya, para pe-selfie menjadi tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu, selfie membuat seseorang menjadi egois. Meskipun demikian, para pehobi selfie belum tentu menderita penyakit kejiwaan seperti narsisme. Narsisme merupakan perasaan mencintai diri secara berlebihan. Selfie dapat dikatakan merupakan bagian dari narsisme, namun belum tentu pelaku selfie mengalami gangguan kejiwaan narsisme.

Kritik untuk Para Travel Blogger
Kebun bunga amaryllis di Gunung Kidul memang memiliki keindahan. Meskipun demikian, tempat tersebut bukanlah obyek wisata. Tempat ini menjadi terkenal karena ada seorang travel blogger yang mempublikasikan foto mengenai kebun bunga ini. Tidak ada pengelola wisata di tempat itu yang dapat menjamin keamanan dan kelestarian tempat. Karena memang tidak didesain sebagai obyek wisata, ditambah dijejali 1.500 orang sehari, wajar jika tempat ini akhirnya hancur berantakan.

Di sini lah suka duka menjadi travel blogger. Di satu sisi, dia berperan sebagai pihak yang mempromosikan suatu destinasi wisata. Travel blogger merupakan duta wisata yang berkontribusi terhadap pengembangan pariwisata di Indonesia. Banyak juga travel blogger yang melaksanakan tugasnya tanpa dibayar. Dengan adanya mereka, destinasi wisata yang awalnya kurang terkenal, dapat menjadi hits. Hal ini dapat menambah pemasukan bagi warga di sekitar destinasi wisata.

Di sisi lain, mengingat adanya fenomena turis kekinian, ada baiknya setiap travel blogger memiliki rasa responsivitas dan sense of forecasting. Dia harus menganalisis dampak yang akan timbul apabila mengunggah suatu foto ke media sosial. Si travel blogger mengakui bahwa ia menggungah foto di kebun bunga amaryllis untuk konsumsi pribadi saja. Namun, apabila sudah ada hashtag ini dan itu, tentu saja akan ada implikasinya. Terlebih lagi, foto yang diunggah merupakan kebun bunga milik warga yang sifatnya privat. Tempat tersebut notabene belum menjadi tempat wisata dan belum ada pengelolanya. Tempat tersebut rawan rusak apabila disebarluaskan kepada masyarakat luas. Kerusakan yang terjadi di kebun bunga merupakan bentuk ketidaksiapan warga sekitar dan daya dukung lingkungan, karena memang tempat tersebut belum dijadikan obyek wisata masal.

Obyek-obyek bagus di Negeri ini tidak perlu di-share seluruhnya. Biarkanlah tempat yang tersembunyi, tetap tersembunyi, agar tidak ada tangan jahil yang merusaknya. Jangan terlalu gatal untuk mempublikasikan suatu tempat atas dasar ingin mendapat like atau share. Cukup share tempat-tempat yang memang sudah dijadikan obyek wisata. Tempat tersebut sudah ada pengelolanya, sehingga resiko kerusakan dapat diminimalisasi.

Saya mendapati status Facebook seorang teman. Kebetulan, ia merupakan seorang fotografer. Ia kerap mempublikasikan tempat indah, namun enggan memberi tahu lokasinya. Meskipun dicap pelit, semua itu dilakukan agar tempat tersebut tetap terjaga keasliannya.




Sekian tulisan dari saya. Saya pikir, setiap pihak perlu introspeksi diri dari adanya fenomena turis kekinian ini. Terima kasih.


Referensi:
McCabe, Scott. (2005). Who is a Tourist? A Critical Review. Tourist Studies, Vol. 5(1). (pp. 86-106).

Priono, Yesser. (2011). Studi Dampak Pariwisata Bukit Batu Kabupaten Kasongan Ditinjau dari Aspek Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jurnal Perspektif Arsitektur, Vol. 6, No. 2, Desember 2011. (pp. 23-33).

Senft, Theresa M. dan Baym, Nancy K. (2015). What Does the Selfie Say? Investigating a Global Phenomenon. International Journal of Communication, 9(2015. (pp. 1588-1606).

Setyadi, Yulianto Bambang. (2007). Pariwisata dan Perubahan Nilai-nilai Sosial Budaya Berdasarkan Lingkungan Tradisi Pada Masyarakat Bali. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 8, No. 2, 2007. (pp. 97-109).

Waluya, Jaka. (2013). Dampak Pengembangan Pariwisata. Region, Vol. 5, No. 1, Maret 2013. (pp. 1-7).
www.republika.co.id/berita/trendtek/gadget/14/11/02/neehfh-pengguna-smartphone-indonesia-peringkat-kelima-dunia

2 komentar:

  1. tulisan bagus mas, mengena banget, semoga banyak yang membaca tulisan ini dan menjadi sadar dengan sikapnya. Jangan jd "Latah Adventure"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mas sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan ini.

      Hapus