Sabtu, 30 Januari 2016

Terorisme dan Imbasnya Terhadap Turisme

Hari itu tertanggal 14 Januari 2016. Kamis itu awalnya berjalan normal seperti hari-hari sebelumnya. Saya beraktivitas biasa layaknya warga Jakarta lain. Saya menegakkan layar laptop dan menyelesaikan beberapa pekerjaan, sama seperti masyarakat era digital umumnya. Mulai memasuki penghujung pagi, peristiwa yang tidak diduga muncul. Terjadi tragedi kemanusiaan di pusat Ibukota. Kelompok bersenjata melakukan penyerangan yang berimplikasi terhadap jatuhnya korban, baik korban jiwa, luka, maupun trauma.  Peristiwa teror ini tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara sahabat dan komunitas dunia lantas mengutuk aksi terorisme yang terjadi di Sarinah.


Bagi masyarakat sipil, aksi teror di siang bolong ini cukup mengagetkan. Kewaspadaan masyarakat Indonesia mulai kendur, karena relatif tidak ada aksi teror skala besar dalam kurun tiga tahun terakhir. Pada Desember 2015, pihak intelijen sudah mengendus adanya rencana teror yang akan dilakukan pada akhir tahun. Kelompok teror ini mengatakan bahwa akan ada “konser”, dan Indonesia akan menjadi pemberitaan internasional. Pada 14 Januari 2014, sekitar pukul 10 pagi, pelaku teror yang terdiri dari tujuh orang melakukan aksi pengeboman dan penembakan membabi buta. Sekitar empat jam berselang, Kepolisian berhasil melumpuhkan pelaku teror. Terdapat lima pelaku teror dan dua warga sipil yang tewas pada hari itu. Saya pribadi turut berbelasungkawa terhadap seluruh korban dan pihak keluarga.

Peristiwa teror di Sarinah seketika menjadi pemberitaan internasional. Internet menjadi media viral yang membuat peristiwa di Sarinah mendunia hanya dalam hitungan jam. Banyak Negara dan komunitas dunia yang memberikan dukungan bagi Indonesia. Mereka tidak ingin aksi teror ini menjadi sebuah “kemenangan” bagi pelaku teror. Dunia tidak boleh kalah dengan aksi terorisme.

Di sisi lain, aksi teror ini juga menimbulkan kekhawatiran akan isu keamanan. Aksi terorisme sejatinya memang terkait dengan isu keamanan. Selain terorisme, ada juga peristiwa lain−yaitu: kerusuhan, perang, bencana alam, atau wabah penyakit−yang memiliki kaitan dengan keamanan. Keamanan yang buruk dapat berpengaruh terhadap pariwisata, investasi, perdagangan, atau kegiatan bisnis multinasional lainnya.

Salah satu sektor yang terdampak aksi teror yaitu sektor pariwisata. Berdasarkan Koran Tempo Edisi 16-17 Januari 2016, setidaknya terdapat 1.500 turis asing yang batal mengunjungi Indonesia. Sedianya, ke-1.500 turis asing tersebut akan menaiki kapal pesiar MS Vollendam dan sandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Suarabaya. Agen kapal pesiar tersebut menerima himbauan perjalanan dari beberapa negara sehingga batal ke Surabaya dan beralih ke Singapura. Kemudian, terjadi pengurangan pengunjung pusat perbelanjaan sebesar 20 persen di Jakarta, dua hari setelah aksi teror. Tidak hanya itu, ada juga pembatalan acara-acara bisnis internasional karena situasi keamanan yang dirasa tidak menentu. Pembatalan acara-acara tersebut dirasa wajar, sebab Jakarta merupakan salah satu pintu masuk utama bagi warga asing yang ingin mengunjungi Indonesia.


Salah satu acara yang batal saya hadiri akibat aksi teror di Sarinah.

Isu keamanan dapat memengaruhi sektor pariwisata, investasi, perdagangan, atau kegiatan bisnis multinasional lainnya. Meskipun demikian, sektor pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya (Redaksi Indonesia, 2016). Arief mengatakan bahwa: "Pariwisata itu, hubungannya linier dengan isu keamanan. Mohon teman-teman mengerti. Kalau isu keamanan hanya katakanlah naik 10 persen, pariwisatanya naik 10%. Kalau turun 10%, pariwisatanya juga akan turun 10%. Yang paling tidak sensitif sebenarnya investment. Jadi kalau 10 persen naik, investment hanya naik 10 persen, tapi kalau turun 1 persen, investment juga akan turun 1 persen. Jadi yang paling sensitif itu pariwisata, bisa positif-negatif."

Terorisme dan turisme merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan. Terorisme menghasilkan suatu kondisi, yakni ketidakamanan dan instabilitas. Pada akhirnya, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap pariwisata. Richter dan Waugh (1986) menyatkan bahwa stabilitas politik dan pariwisata berjalan beriringan. Pariwisata sangat rentan dipengaruhi oleh ancaman ainternasional seperti terorisme (Putra dan Hitchcok, 2008: 84). Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan mengenai terorisme dan keterkaitannya dengan pariwisata.

Fenomena Terorisme
Istilah terorisme berasal dari bahasa Latin, yaitu “terrere” yang berarti membuat gemetar atau ketakutan. Masalah terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism di Strabourg, Prancis pada tahun 1977. Telah terjadi perluasan cara pandang dari “Crime against State menjadi “Crime against Humanity”. “Crime against Humanity” merupakan tindak pidana untuk membuat ketakutan yang ditujukan kepada individu, golongan, dan masyarakat umum (Firmansyah, 2011: 378).

Menurut the U.S. Code (2008), terorisme didefinisikan sebagai: "Premeditated, politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by subnational groups or clandestine agents" (Baker, 2015). Definisi tersebut menyebutkan bahwa terorisme merupakan tindakan terencana dan memiliki motivasi politik, yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan ditujukan kepada masyarakat sipil.

Definisi lain mengenai terorisme disampaikan oleh Picucci (2008), yaitu: "The act of destroying or injuring civilian lives or the act of destroying or damaging civilian or government property without the expressly chartered permission of a specific government, thus, by individuals or groups independently or governments on their own accord and belief, in the attempt to effect some political change" (Baker, 2015). Picucci menyatakan bahwa terorisme merupakan aksi pengrusakan properti negara dan keselamatan warga sipil yang dilakukan oleh individu, kelompok independen, atau bahkan negara, yang ditujukan untuk menimbulkan  pengaruh politik tertentu.

Terorisme dan Imbasnya terhadap Turisme
Terorisme dan pariwisata merupakan dua hal yang saling bertautan. Aksi teror dapat menghambat kegiatan pariwisata. Menurut Pizam and Mansfield (1996), pariwisata hanya dapat berkembang apabila dilakukan di kondisi yang damai. Hall and O’Sullivan (1996) juga menyatakan bahwa pariwisata tidak dapat dipisahkan dari peristiwa di tingkat internasional (Putra dan Hitchcok, 2008: 83). Berdasarkan pendapat tersebut, sangat wajar apabila seseorang membatalkan rencana wisatanya apabila terjadi instabilitas di suatu wilayah.

Pariwisata  kerap menjadi sasaran empuk untuk memuaskan hasrat pelaku teror. Putra dan Hitchcok (2008: 97) menyampaikan analisis mereka mengenai seringnya wisatawan menjadi target terorisme. Pertama, pelaku teror berpendapat bahwa perilaku turis mudah diprediksi dan memiliki kecenderungan untuk berkumpul di satu tempat. Hal itu akan memudahkan teroris untuk melakukan aksi yang memakan jumlah korban besar. Kedua, teror terhadap turis dianggap akan dipublikasi lebih besar oleh media. Hal itu memperbesar tujuan teroris yang ingin membuat ketakutan di masyarakat.

Sejatinya, pariwisata memang kegiatan yang mengandung resiko. Hal tersebut diungkapkan oleh March dan Woodside (2005), yang mengatakan bahwa: “Risk and tourism are interwoven as the purchase of leisure trip is inherently attached to risk” (Baker, 2015: 4). Resiko dinyatakan sebagai hal yang melekat dalam aktivitas pariwisata. Studi mengenai keselamatan wisatawan dan persepsi keamanan yang dilakukan oleh Pennington-Gray dan Schroeder (2013) menyebutkan bahwa terdapat tujuh jenis resiko terkait kegiatan wisata, yaitu: kriminalitas, penyakit, serangan fisik, cacat peralatan, cuaca, hambatan budaya, dan krisis politik (Baker, 2015: 4). Berdasarkan jenis resiko tersebut, terorisme dapat digolongkan sebagai serangan fisik dan krisis politik.

Meskipun mengandung resiko, wisatawan tetap memiliki rasionalitas. Edgel (1990) menyatakan bahwa: “There is a widespread view among tourism analysts that international visitors are very concerned about their personal safety” (Putra dan Hitchcok, 2008: 83). Wisatawan mancanegara tetap memperhatikan keselamatan diri mereka saat berwisata. Oleh karena itu, wajar apabila mereka membatalkan rencana kunjungan wisata mereka di negara yang dirasa tidak aman.

Terorisme merupakan masalah global. Pelaku teror tidak pandang bulu dalam menjalankan aksinya. Terorisme terjadi di negara berkembang maupun negara maju. Tindak terorisme terbukti telah menimbulkan efek negatif bagi industri pariwisata di suatu negara. Kita mungkin belum lupa dengan peristiwa terorisme di Amerika Serikat yang terjadi pada 11 September 2001 (Peristiwa 9/11). Pada saat itu terjadi pembajakan empat buah pesawat komersial oleh total sembilan belas orang pelaku teror. Dua pesawat ditabrakkan ke Gedung World Trade Center, satu pesawat ditabrakkan ke Menara Pentagon, dan satu pesawat lagi meledak di sebuah lapangan. Berdasarkan data dari George dan Watford (2007), total kerugian dari aksi teror mencapai 100 miliar USD (Baker, 2015: 8). Selain itu, terjadi penurunan permintaan akan jasa angkutan udara dan penurunan jumlah pengunjung internasional (nonimigran) ke Amerika Serikat.

Grafik menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah pengunjung internasional ke Amerika Serikat setelah Peristiwa 9/11. Pada tahun 2007, jumlah pengunjung internasional baru dapat kembali ke posisi sebelum Peristiwa 9/11 terjadi (Cornwell dan Roberts, 2010: 2).

Selain Peristiwa 9/11, mungkin kita masih ingat pula dengan aksi terorisme yang terjadi di Ibukota Prancis (Paris Attacks). Teror Paris Attacks inilah yang digadang-gadang menjadi inspirasi bagi para pelaku Teror Sarinah. Paris Attacks terjadi pada 13 November 2015. Saat itu, sembilan pelaku teror melancarkan serangan bom bunuh diri dan penembakan kepada warga sipil di pusat Kota Paris. Perisitwa itu menelan sekitar 130 korban jiwa. Aksi teror tersebut berdampak bagi pariwisata. Pendapatan hotel dan restoran di Kota Paris menurun 40 persen dibandingkan pendapatan di tahun 2014. Penerbangan ke Paris juga menurun 27 persen seminggu setelah serangan terjadi (www.telegraph.co.uk, 2015).

Peristiwa Terorisme di Indonesia
Terorisme bukan hal baru di Indonesia. Aksi teror mungkin sudah dirasakan oleh nenek moyang kita di masa Kerajaan dan era kolonial. Di era tersebut, banyak peperangan dan kerja paksa yang tentu saja menimbulkan ketakutan di masyarakat. Berdasarkan data yang saya kumpulkan dari Adisaputra (2008) dan Prasetyo (2014), setidaknya terdapat 41 aksi teror yang terjadi sejak era Orde Baru hingga tahun 2012. Aksi teror tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor ideologi, namun juga oleh faktor ekonomi.

Dari sekian banyak aksi teror di Indonesia, tidak sedikit aksi yang menyasar lokasi yang berhubungan dengan pariwisata. Teroris kerap menyerang beberapa lokasi penunjang pariwisata, seperti kafe, bar, restoran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Bahkan ada aksi teror yang dilakukan di obyek wisata, seperti yang terjadi di Candi Borobudur pada 20 Januari 1985. Aksi teror yang menyasar lokasi wisata ibarat menjadi sebuah direct hit yang menghancurkan industri pariwisata di suatu wilayah dalam sekejap.

Tindak terorisme yang mungkin sulit dilupakan masyarakat Indonesia ialah peristiwa Bom Bali tahun 2002 dan 2005. Dapat dikatakan bahwa Bali merupakan “Pulau Pariwisata”. Bali menjadi destinasi wisata yang paling banyak dikunjungi di Indonesia sejak era Orde Baru. Berdasarkan data dari Erawan (2003), pada tahun 2000, Bali menggantungkan 59,95 persen perekonomiannya dari pariwisata. Setelah peristiwa Bom Bali 2002, perekonomian dari sektor pariwisata menurun drastis menjadi 47,42 persen (Putra dan Hitchcok, 2008: 86).  

Ketika masyarakat Bali masih trauma atas insiden di tahun 2002, serangan teror kembali terjadi pada 2005. Lagi-lagi wilayah Kuta yang menjadi terget. Bom Bali 2005 dikatakan berdampak lebih besar terhadap pariwisata dibanding hal serupa tahun 2002. Padahal, masyarakat Bali masih berupaya keras untuk memulihkan diri mereka pascainsiden 2002. Jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata langsung menurun tajam. Di akhir tahun 2005, okupansi hotel menurun menjadi sekitar 40 persen. Dan di tahun 2006, okupansi hotel menurun lebih tajam, hanya berada di kisaran 30 persen (Putra dan Hitchcok, 2008: 96).

Upaya Mitigasi Aksi Terorisme
Aksi terorisme merupakan upaya kejahatan yang sulit untuk dicegah. Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Prancis telah terbukti bisa “kecolongan” dengan aksi terorisme. Terorisme mungkin dapat dideteksi oleh aparat intelijen, namun tetap saja kita tidak dapat menerka secara pasti isi kepala si pelaku teror. Cukup sulit untuk memprediksi aksi teror yang akan dilakukan pada hari dan waktu yang spesifik.

Karena terorisme sulit diprediksi kapan akan terjadi, setidaknya seluruh negara telah menyusun prosedur mitigasi untuk mengatasi aksi terorisme yang sedang atau sudah terjadi. Sonmez, Yiorgos, dan Tarlow (1999) menyebut hal itu sebagai manajemen krisis. Pemerintah perlu membuat pedoman manajemen krisis untuk mengatasi peristiwa-peristiwa darurat, seperti: aksi teror, perang, bencana alam, wabah penyakit, dan sebagainya. Manajemen krisis ini diperlukan untuk mengurangi kepanikan dan ketidakpastian yang terjadi akibat adanya peristiwa darurat. Terkait dengan pariwisata, Sonmez, Yiorgos, dan Tarlow juga menambahkan bahwa perlu dibentuknya Tourism Crisis Center sebagai wadah bagi para wisatawan untuk mendapat perlindungan dan kepastian informasi jika teror sewaktu-waktu terjadi.

Saya kembali ke peristwa teror Sarinah yang masih segar dalam ingatan. Untuk mengantisipasi lesunya industri pariwisata tanah air, perlu dilakukan upaya mitigasi yang segera. Dalam peristiwa di Sarinah, ada berbagai aktor yang terlibat dalam manajemen krisis. Aktor-aktor tersebut memiliki peran yang berbeda-beda. Berikut ini adalah aktor-aktor tersebut berikut dengan perannya:

1. Pemerintah
Pemerintah memiliki peran yang paling besar dalam manajemen krisis. Setiap negara memiliki pedoman masing-masing dalam menangani krisis yang terjadi di negaranya. World Tourism Organization (WTO), sebagai badan pariwisata dunia, telah membuat Global Code of Ethics for Tourism. Dalam kode etik tersebut, WTO menekankan pentingnya peran pemerintah untuk menjamin keselamatan wisatawan apabila terjadi krisis keamanan, yaitu:

“It is the task of the public authorities to provide protection for tourists and visitors and their belongings; they must pay particular attention to the safety of foreign tourists owing to the particular vulnerability they may have; they should facilitate the introduction of specific means of information, prevention, security, insurance and assistance consistent with their needs; any attacks, assaults, kidnappings or threats against tourists or workers in the tourism industry, as well as the wilful destruction of tourism facilities or of elements of cultural or natural heritage should be severely condemned and punished in accordance with their respective national laws.”

Saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang cepat dan tanggap dalam melakukan mitigasi aksi teror. Pemerintah melakukan upaya pemulihan yang cepat. Sekitar satu jam setelah aksi teror berhasil diatasi, Presiden−sebagai orang nomor satu di negeri ini−langsung mengunjungi lokasi teror. Presiden Joko Widodo bahkan datang tanpa mengenakan rompi antipeluru dan pengawalan yang ketat. Dengan hadirnya Presiden ke lokasi teror, hal tersebut menumbuhkan kepercayaan publik bahwa Indonesia sudah kembali aman.

Terlihat Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat negara meninjau lokasi teror di Sarinah

Memang, ada beberapa lembaga negara di Indonesia yang memiliki kewenangan mitigasi, seperti: Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Luar Negeri; Kepolisian Republik Indonesia; Tentara Nasional, Indonesia; Pemerintah Daerah; dan lembaga-lembaga lainnya. Dalam hal ini, saya hanya akan membahas peran dua lembaga negara yang terkait dengan urusan keamanan dan pariwisata, yaitu:
a). Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
Meskipun ada anggapan bahwa pihak intelijen Indonesia “kecolongan”, terbukti pihak Kepolisian mampu menangani situasi teror dengan cepat. Saya pribadi memberikan dua jempol untuk Polri atas kesigapannya membalikkan keadaaan di lapangan. Serangan teror berhasil diatasi dalam kurun waktu 4-5 jam. Polri akhirnya mampu melumpuhkan lima pelaku dan menangkap dua lainnya. Saya juga turut berbelasungkawa untuk anggota Polri yang gugur dan keluarganya. Pihak internasional juga memberi pujian kepada Polri atas kepiawaiannya melumpuhkan pelaku teror (Redaksi Antara, 2016). Polri juga cepat mengumumkan kelompok teroris, kronologi kejadian, dan jumlah korban, sehingga meminimalisasi kesimpangsiuran informasi di masyarakat.

Salah satu kesigapan Polri untuk mengatasi ketidakpastian di masyarakat

b). Kementerian Pariwisata Republik Indonesia
Kementerian ini merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan terbesar dalam urusan pariwisata di tanah air. Kementerian Pariwisata langsung bergerak cepat menanggapi aksi teror Sarinah dengan membentuk crisis center. Dikutip dari marketeers.com (2016), crisis center ini dibentuk untuk menangani beragam pemberitaan simpang siur terkait dengan aksi teror yang terjadi. Menteri Pariwisata Arief Yahya berharap bahwa crisis center ini akan memperjelas kepastian informasi di tengah masyarakat. Tim dari Kementerian Pariwisata juga gencar mengecek hotel-hotel di Jakarta, agen perjalanan wisata, maskapai penerbangan, dan beberapa destinasi wisata unggulan di tanah air. Hasilnya, Kementerian Pariwisata menjamin bahwa tidak ada tamu hotel yang pulang lebih cepat, pembatalan penerbangan, dan pembatalan kunjungan wisatawan (Redaksi BeritaSatu, 2016). Kementerian Pariwisata terus aktif meyakinkan masyarakat bahwa pariwisata Indonesia tidak terpengaruh aksi teror Sarinah. Hal ini dapat memperkuat keyakinan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara, untuk tetap datang ke Indonesia.

2. Media
Di era saat ini, media mulai memiliki peran yang signifikan dalam penyediaan informasi dan pembentukan opini masyarakat. Hampir setiap orang dapat mengakses informasi yang disajikan oleh berbagai media. Ditambah dengan kecanggihan teknologi informasi, informasi dapat menyebar dengan sangat luas dan cepat. Terkait dengan masalah keamanan, Global Code of Ethics for Tourism yang diterbitkan WTO juga mengatur tentang peran media, yaitu:

“The press, and particularly the specialized travel press and the other media, including modern means of electronic communication, should issue honest and balanced information on events and situations that could influence the flow of tourists; they should also provide accurate and reliable information to the consumers of tourism services; the new communication and electronic commerce technologies should also be developed and used for this purpose; as is the case for the media, they should not in any way promote sex tourism.”

WTO menghimbau media untuk menyajikan informasi yang akurat dan berimbang. Media dituntut untuk jujur dan menyajikan fakta dari berbagai sudut pandang. Pemberitaan yang bohong dan tidak berimbang malah akan menambah ketidakpastian di masyarakat.

Saat teror di Sarinah terjadi, seluruh pandangan media tertuju ke peristiwa tersebut. Media dalam negeri dan internasional menjadikan peristiwa tersebut sebagai breaking news mereka masing-masing. Terima kasih kepada media yang sudah memberikan informasi mengenai teror ini, sehingga kita semua tahu mengenai kejadian aktual yang sedang terjadi.

Di sisi lain, saya melihat bahwa ada beberapa media dalam negeri yang memberikan informasi tidak akurat. Ketika video di CCTV menunjukkan seorang polisi berbaju putih sedang memegang pistol, ada media yang malah menyebut polisi tersebut sebagai pelaku teror. Hal tersebut membuat informasi di masyarakat semakin simpang siur. Ada juga beberapa media yang menayangkan gambar jenazah di lokasi. Masyarakat dibuat semakin takut ketika salah satu media mengutip pernyataan pengamat intelijen yang menyatakan bahwa teror Sarinah merupakan awal dari teror-teror selanjutnya!

Salah satu pemberitaan keliru di media

Media menjadi salah satu sarana teroris untuk menyebarkan aksi mereka, dengan tujuan untuk membuat takut masyarakat. Semakin masyarakat takut, semakin senang si pelaku teror karena aksinya berhasil. Menurut Hildebrandt (2009), tercipta suatu hubungan simbiosis antara teroris dan media. Teroris membutuhkan media untuk mempublikasikan aksinya. Media juga membutuhkan adegan dramatis (salah satunya adalah aksi teror) untuk meningkatkan rating (Baker, 2015: 6). Oleh karena itu, media memainkan peranan penting dalam hal ini. Tentu saja kita tidak bisa menutupi suatu peristiwa yang terjadi di suatu wilayah. Jaringan media ada di mana saja dan masyarakat juga butuh informasi mengenai hal itu. Maka dari itu, media perlu membuat pemberitaan yang edukatif, supaya masyarakat mendapat kepastian dan pengetahuan.

Pada saat teror terjadi di Sarinah, hampir seluruh media menayangkan secara live aksi teroris. Media sekarang memang terkenal akan slogan “Tercepat, Teraktual, dan Terpercaya”, sehingga mereka berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam memberitakan aksi teror tersebut. Di sisi lain, minim adanya berita penyeimbang, misalnya mengenai: “Situasi Pariwisata di Kawasan X yang tidak Terpengaruh Teror Sarinah”, atau misalnya: “Meskipun Teror Terjadi, Indonesia Tetap Aman Dikunjungi.” Berita-berita tersebut sangat berguna untuk meredam ketakutan masyarakat. Bayangkan, apabila turis asing ingin datang ke Indonesia, mereka wajar apabila takut dan berniat membatalkan kunjungannya. Apabila ada berita penyeimbang seperti yang saya contohkan tadi, mungkin turis asing tersebut secara psikologis akan tetap percaya terhadap keamanan di Indonesia  dan tidak jadi membatalkan kunjungannya.

Banyak media yang malah membuat berita yang justru memperlemah kepercayaan diri masyarakat, seperti:

Di sisi lain, ada juga berita-berita yang tetap menumbuhkan optimisme di masyarakat, seperti:

3. Masyarakat Indonesia
Aksi teror ditujukan untuk menyebar ketakutan di masyarakat. Semakin masyarakat takut, maka proyek si teroris akan berhasil. Saya pribadi merasa khawatir terhadap teror ini pada awalnya. Lama-kelamaan, kekhawatiran saya hilang. Terlepas dari adanya korban dalam peristiwa di Sarinah, dapat dikatakan bahwa teror ini gagal total. Saat teror terjadi, dapat dilihat bahwa masyarakat malah berkumpul di lokasi kejadian. Mereka seolah-olah tidak takut akan aksi teror ini. Selain itu, di lokasi kejadian juga berseliweran pedagang makanan yang menjajakan dagangannya. Sebenarnya aksi masyarakat tersebut sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan korban lebih besar, namun hal itu dapat dijadikan penyemangat bahwa masyarakat Indonesia sejatinya tidak takut terhadap teror. Optimisme dari dalam dapat menciptakan kepercayaan masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia.

Dari jarak seratus meter dari lokasi baku tembak antara teroris dan polisi, ada Pak Jamal, penjual sate yang menjadi hits. Simbol bahwa masyarakat Indonesia tidak takut.



Inilah sifat komunalisme masyarakat Indonesia. Tetap berkumpul di kondisi apapun. Saat peristiwa Mei 1998 dan peristiwa Mbah Priok, masyarakat juga tetap berkumpul di lokasi meskipun terdengar suara tembakan.

 Tagar tanda optimisme

Doa untuk Jakarta dan Indonesia 

Tanpa mengucilkan para korban dan keluarga, masyarakat malah menjadikan peristiwa ini sebagai bahan hiburan, untuk menunjukkan bahwa teroris gagal menjalankan tujuannya.

4. Negara-negara Sahabat dan Komunitas Internasional
Hampir tiap negara mengalami aksi terorisme. Terorisme menjadi kejahatan global yang sering dibahas di forum-forum dunia. Dunia internasional tentu mengutuk tindak kejahatan ini. Suatu negara korban tindak terorisme membutuhkan dukungan internasional untuk memulihkan perdamaian di wilayahnya.

Di sisi lain, biasanya aksi terorisme yang terjadi di suatu negara dibarengi dengan pemberian “travel warning/travel ban” dari negara tertentu. Travel warning/travel ban merupakan himbauan dengan tingkatan tertinggi, menandakan bahwa terjadi kondisi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berbahaya, sistemis, dan berjangka panjang di negara sasaran. Travel warning/travel ban diidentikkan dengan negara gagal, zona konflik, atau negara yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan negara pemberinya (Friend, 2011).

Pemberian travel warning/travel ban merupakan hak setiap negara, karena itu sesuai dengan kepentingan nasional tiap negara untuk melindungi segenap warga negaranya di mana pun berada. Indonesia sendiri pernah mendapat travel warning dari Amerika Serikat, Australia, dan beberapa negara Eropa ketika terjadi Bom Bali tahun 2002 dan 2005. Pascainsiden Sarinah, harus disyukuri bahwa tidak ada negara yang memberikan travel warning/travel ban untuk Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir. Hanya ada travel advice yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Travel advice hanya bersifat himbauan, tidak sekuat peringatan dalam travel warning/travel ban.

Saya berpendapat bahwa negara-negara sahabat perlu berpikir secara matang sebelum menerbitkan travel warning. Selama ini beberapa negara (khususnya negara Barat), kerap memberikan travel warning ketika ada aksi teror di suatu negara. Studi dari Okumu (2007: 47-48) menyatakan bahwa travel warning/travel ban yang diberikan kepada negara-negara Afrika kerap kali inkonsisten, alasannya dibuat-buat, dan bermotivasi politik.

Pemberian travel warning/travel ban sebetulnya sudah diatur oleh WTO dalam Global Code of Ethics for Tourism, yaitu:

“Governments have the right–and the duty–especially in a crisis, to inform their nationals of the difficult circumstances, or even the dangers they may encounter during their travels abroad; it is their responsibility however to issue such information without prejudicing in an unjustified or exaggerated manner the tourism industry of the host countries and the interests of their own operators; the contents of travel advisories should therefore be discussed beforehand with the authorities of the host countries and the professionals concerned; recommendations formulated should be strictly proportionate to the gravity of the situations encountered and confined to the geographical areas where the insecurity has arisen; such advisories should be qualified or cancelled as soon as a return to normality permits.”

WTO menyatakan bahwa setiap negara berhak memberikan himbauan kepada warga negaranya apabila terjadi krisis di suatu negara. Meskipun demikian, WTO menghimbau bahwa pemberian travel warning/travel ban sebaiknya didiskusikan dahulu dengan negara sasaran. Pemberian travel warning/travel ban harus sesuai dengan kondisi riil, tidak boleh melebih-lebihkan situasi. Ruang lingkup travel warning/travel ban hanya dibatasi pada wilayah tertentu saja, bukan seluruh wilayah negara. Ketika kondisi di negara penerima telah kembali normal, travel warning/travel ban harus segera dicabut.

Bagi negara yang menggantungkan pendapatannya dari sektor pariwisata, tentu saja travel warning/travel ban dapat menjadi penghambat perekonomian. Travel warning/travel ban mengurangi jumlah penerbangan dan kunjungan wisatawan di negara penerima. Bisnis hotel, restoran, dan cinderamata menjadi lesu dan berdampak terhadap pengangguran. Salah satu negara Afrika yang menderita akibat travel warning/travel ban adalah Kenya. Perhitungan yang dilakukan Kementerian Luar Negeri Kenya tahun 2004 menyatakan bahwa travel warning/travel ban yang diberikan oleh Inggris merugikan negaranya hingga 108 juta poundsterling (Okumu, 2007: 46). Nilai itu setara dengan 1,6 persen total kekayaan negara Kenya.

Okumu (2007: 47) juga menyatakan bahwa pemberian travel warning/travel ban malah dapat menyukseskan tujuan si pelaku teror. Terorisme dilakukan untuk menyebar ketakutan. Travel warning/travel ban malah dapat menandakan bahwa negara pemberi mengalami ketakutan atas aksi yang dilakukan teroris.

Kembali ke peristwa di Sarinah. Saya melihat bahwa negara-negara sahabat dan komunitas dunia memberi dukungan yang luar biasa kepada Indonesia. Dukungan dan doa datang dari PBB, pemimpin negara sahabat, dan segenap komunitas dunia. Mereka menyampaikan simpati dan mengutuk aksi terorisme. Mereka tidak ingin dunia larut dalam ketakutan dan kesedihan. Beberapa negara bahkan menawarkan bantuan untuk mengungkap kasus terorisme di Sarinah. Berikut ini adalah dukungan yang diberikan oleh pemimpin negara dan komunitas internasional:

Dukungan diberikan oleh Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull

Klub sepakbola AC Milan turut memberikan dukungan 

Sekian ulasan saya mengenai terorisme dan keterkaitannya dengan turisme. Semoga dapat menambah wawasan pembaca.

Catatan: Seluruh gambar yang saya sertakan merupakan gambar yang tersebar di media facebook secara viral. Apabila ada yang merasa keberatan dengan gambar tersebut, jangan ragu untuk menghubungi saya. Terima kasih.

Referensi
Adisaputra, Asep. (2008. Korban Kejahatan Terorisme: Ketika Negara Kurang Berperan. Tesis. Program Pascasarjana. Departemen Kriminologi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Depok.

Baker, David Mc.A. (2015). Tourism and Terrorism: Terrorists Threats to Commercial Aviation Safety and Security. International Journal of Safety and Security in Tourism/Hospitality, 2015. (pp. 1-18).

Cornwell, Derekh dan Roberts, Bryan. (2010). The 9/11 Terrorist Attack and Overseas Travel to the United States:Initial Impacts and Longer-Run Recovery. Working Paper, Maret 2010. U.S. Department of Homeland Security.

Firmansyah, Hery. (2011). Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 2, Juni 2011. (pp. 376-393).

Friend, Julie. (2011). Travel Warnings: Developing Effective Response Procedures. International Educator, 2011 Health and Insurance Supplement.

Koran Tempo. 16-17 Januari 2016. Edisi No. 5142 Tahun XIV.

marketeers.com. (2016, 14 Januari). Kemenpar Aktifkan Crisis Center Hadapi Bom Sarinah. http://marketeers.com/article/kemenpar-aktifkan-crisis-center-hadapi-bom-sarinah.html.

Okumu, Wafula. (2007). Security Alerts and Their Impacts on Africa. African Security Review 16.3. (pp. 41-48).

Prasetyo. (2014). Perubahan Corak Terorisme di Indonesia Tahun 2000 Hingga Tahun 2013. Jurnal Pertahanan, Maret 2014, Volume 4, Nomor 1. (pp. 83-98).

Putra, I Nyoman Darma dan Hitchcock, Michael. (2008). Terrorism and Tourism in Bali and Southeast Asia. Dalam: Hitchcock, Michael, King, Victor T., dan Parnwell, Michael (Ed.). Tourism in Southeast Asia: Challenges and New Directions. (pp. 83-98). Kopenhagen: NIAS Press.

Redaksi Antara. (2016, 15 Januari). BOM JAKARTA - Dunia kagum pada respon cepat aparat Indonesia. http://www.antaranews.com/berita/540209/bom-jakarta--dunia-kagum-pada-respon-cepat-aparat-indonesia.

Redaksi BeritaSatu. (2016, 15 Januari). Menteri Pariwisata: Tidak Ada Tamu Hotel Pulang Cepat Pasca-Bom. http://www.beritasatu.com/food-travel/341503-menteri-pariwisata-tak-ada-tamu-hotel-pulang-cepat-pascabom.html.

Redaksi Indonesia. (2016, 15 Januari). Sempat Terganggu Bom Sarinah, Pariwisata Indonesia Sudah Pulih. redaksiindonesia.com/read/sempat-terganggu-bom-sarinah-pariwisata-indonesia-sudah-pulih.html.

Sonmez, S. F., Yiorgos, A., & Tarlow, P. (1999). Tourism in crisis: Managing the effects of terrorism. Journal of Travel Research, 38(6), 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar