Hari itu tertanggal 14 Januari 2016.
Kamis itu awalnya berjalan normal seperti hari-hari sebelumnya. Saya
beraktivitas biasa layaknya warga Jakarta lain. Saya menegakkan layar laptop
dan menyelesaikan beberapa pekerjaan, sama seperti masyarakat era digital
umumnya. Mulai memasuki penghujung pagi, peristiwa yang tidak diduga muncul.
Terjadi tragedi kemanusiaan di pusat Ibukota. Kelompok bersenjata melakukan
penyerangan yang berimplikasi terhadap jatuhnya korban, baik korban jiwa, luka,
maupun trauma. Peristiwa teror ini tentu
saja bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Negara sahabat dan komunitas
dunia lantas mengutuk aksi terorisme yang terjadi di Sarinah.
Bagi masyarakat sipil, aksi teror di siang bolong ini cukup mengagetkan. Kewaspadaan masyarakat Indonesia mulai kendur, karena relatif tidak ada aksi teror skala besar dalam kurun tiga tahun terakhir. Pada Desember 2015, pihak intelijen sudah mengendus adanya rencana teror yang akan dilakukan pada akhir tahun. Kelompok teror ini mengatakan bahwa akan ada “konser”, dan Indonesia akan menjadi pemberitaan internasional. Pada 14 Januari 2014, sekitar pukul 10 pagi, pelaku teror yang terdiri dari tujuh orang melakukan aksi pengeboman dan penembakan membabi buta. Sekitar empat jam berselang, Kepolisian berhasil melumpuhkan pelaku teror. Terdapat lima pelaku teror dan dua warga sipil yang tewas pada hari itu. Saya pribadi turut berbelasungkawa terhadap seluruh korban dan pihak keluarga.
Peristiwa teror di Sarinah seketika
menjadi pemberitaan internasional. Internet menjadi media viral yang membuat
peristiwa di Sarinah mendunia hanya dalam hitungan jam. Banyak Negara dan
komunitas dunia yang memberikan dukungan bagi Indonesia. Mereka tidak ingin
aksi teror ini menjadi sebuah “kemenangan” bagi pelaku teror. Dunia tidak boleh
kalah dengan aksi terorisme.
Di sisi lain, aksi teror ini juga
menimbulkan kekhawatiran akan isu keamanan. Aksi terorisme sejatinya memang
terkait dengan isu keamanan. Selain terorisme, ada juga peristiwa lain−yaitu:
kerusuhan, perang, bencana alam, atau wabah penyakit−yang memiliki kaitan
dengan keamanan. Keamanan yang buruk dapat berpengaruh terhadap pariwisata,
investasi, perdagangan, atau kegiatan bisnis multinasional lainnya.
Salah satu sektor yang terdampak aksi
teror yaitu sektor pariwisata. Berdasarkan Koran Tempo Edisi 16-17 Januari
2016, setidaknya terdapat 1.500 turis asing yang batal mengunjungi Indonesia.
Sedianya, ke-1.500 turis asing tersebut akan menaiki kapal pesiar MS Vollendam
dan sandar di Pelabuhan Tanjung Perak, Suarabaya. Agen kapal pesiar tersebut
menerima himbauan perjalanan dari beberapa negara sehingga batal ke Surabaya
dan beralih ke Singapura. Kemudian, terjadi pengurangan pengunjung pusat
perbelanjaan sebesar 20 persen di Jakarta, dua hari setelah aksi teror. Tidak
hanya itu, ada juga pembatalan acara-acara bisnis internasional karena situasi
keamanan yang dirasa tidak menentu. Pembatalan acara-acara tersebut dirasa
wajar, sebab Jakarta merupakan salah satu pintu masuk utama bagi warga asing
yang ingin mengunjungi Indonesia.
Isu keamanan dapat memengaruhi sektor
pariwisata, investasi, perdagangan, atau kegiatan bisnis multinasional lainnya.
Meskipun demikian, sektor pariwisata merupakan sektor yang paling terdampak.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya (Redaksi Indonesia,
2016). Arief mengatakan bahwa: "Pariwisata itu, hubungannya linier dengan
isu keamanan. Mohon teman-teman mengerti. Kalau isu keamanan hanya katakanlah
naik 10 persen, pariwisatanya naik 10%. Kalau turun 10%, pariwisatanya juga
akan turun 10%. Yang paling tidak sensitif sebenarnya investment. Jadi kalau 10
persen naik, investment hanya naik 10 persen, tapi kalau turun 1 persen,
investment juga akan turun 1 persen. Jadi yang paling sensitif itu pariwisata,
bisa positif-negatif."
Terorisme dan turisme merupakan dua hal
yang memiliki keterkaitan. Terorisme menghasilkan suatu kondisi, yakni
ketidakamanan dan instabilitas. Pada akhirnya, hal tersebut sangat berpengaruh
terhadap pariwisata. Richter dan Waugh (1986) menyatkan bahwa stabilitas
politik dan pariwisata berjalan beriringan. Pariwisata sangat rentan
dipengaruhi oleh ancaman ainternasional seperti terorisme (Putra dan Hitchcok,
2008: 84). Melalui tulisan ini, saya ingin menjelaskan mengenai terorisme dan
keterkaitannya dengan pariwisata.
Fenomena
Terorisme
Istilah terorisme berasal dari bahasa
Latin, yaitu “terrere” yang berarti
membuat gemetar atau ketakutan. Masalah terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism di Strabourg, Prancis pada
tahun 1977. Telah terjadi perluasan cara pandang dari “Crime against State” menjadi
“Crime against Humanity”. “Crime against Humanity” merupakan tindak
pidana untuk membuat ketakutan yang ditujukan kepada individu, golongan, dan
masyarakat umum (Firmansyah, 2011: 378).
Menurut the U.S. Code (2008), terorisme
didefinisikan sebagai: "Premeditated,
politically motivated violence perpetrated against noncombatant targets by
subnational groups or clandestine agents" (Baker, 2015). Definisi
tersebut menyebutkan bahwa terorisme merupakan tindakan terencana dan memiliki
motivasi politik, yang dilakukan oleh kelompok tertentu dan ditujukan kepada
masyarakat sipil.
Definisi lain mengenai terorisme
disampaikan oleh Picucci (2008), yaitu: "The
act of destroying or injuring civilian lives or the act of destroying or
damaging civilian or government property without the expressly chartered
permission of a specific government, thus, by individuals or groups
independently or governments on their own accord and belief, in the attempt to
effect some political change" (Baker, 2015). Picucci menyatakan bahwa
terorisme merupakan aksi pengrusakan properti negara dan keselamatan warga
sipil yang dilakukan oleh individu, kelompok independen, atau bahkan negara,
yang ditujukan untuk menimbulkan
pengaruh politik tertentu.
Terorisme
dan Imbasnya terhadap Turisme
Terorisme dan pariwisata merupakan dua
hal yang saling bertautan. Aksi teror dapat menghambat kegiatan pariwisata.
Menurut Pizam and Mansfield (1996), pariwisata hanya dapat berkembang apabila
dilakukan di kondisi yang damai. Hall and O’Sullivan (1996) juga menyatakan
bahwa pariwisata tidak dapat dipisahkan dari peristiwa di tingkat internasional
(Putra dan Hitchcok, 2008: 83). Berdasarkan pendapat tersebut, sangat wajar
apabila seseorang membatalkan rencana wisatanya apabila terjadi instabilitas di
suatu wilayah.
Pariwisata kerap menjadi sasaran empuk untuk memuaskan
hasrat pelaku teror. Putra dan Hitchcok (2008: 97) menyampaikan analisis mereka
mengenai seringnya wisatawan menjadi target terorisme. Pertama, pelaku teror
berpendapat bahwa perilaku turis mudah diprediksi dan memiliki kecenderungan
untuk berkumpul di satu tempat. Hal itu akan memudahkan teroris untuk melakukan
aksi yang memakan jumlah korban besar. Kedua, teror terhadap turis dianggap
akan dipublikasi lebih besar oleh media. Hal itu memperbesar tujuan teroris
yang ingin membuat ketakutan di masyarakat.
Sejatinya, pariwisata memang kegiatan
yang mengandung resiko. Hal tersebut diungkapkan oleh March dan Woodside (2005),
yang mengatakan bahwa: “Risk and tourism
are interwoven as the purchase of leisure trip is inherently attached to risk”
(Baker, 2015: 4). Resiko dinyatakan sebagai hal yang melekat dalam aktivitas
pariwisata. Studi mengenai keselamatan wisatawan dan persepsi keamanan yang
dilakukan oleh Pennington-Gray dan Schroeder (2013) menyebutkan bahwa terdapat
tujuh jenis resiko terkait kegiatan wisata, yaitu: kriminalitas, penyakit,
serangan fisik, cacat peralatan, cuaca, hambatan budaya, dan krisis politik
(Baker, 2015: 4). Berdasarkan jenis resiko tersebut, terorisme dapat
digolongkan sebagai serangan fisik dan krisis politik.
Meskipun mengandung resiko, wisatawan
tetap memiliki rasionalitas. Edgel (1990) menyatakan bahwa: “There is a widespread view among tourism
analysts that international visitors are very concerned about their personal
safety” (Putra dan Hitchcok, 2008: 83). Wisatawan mancanegara tetap
memperhatikan keselamatan diri mereka saat berwisata. Oleh karena itu, wajar
apabila mereka membatalkan rencana kunjungan wisata mereka di negara yang
dirasa tidak aman.
Terorisme merupakan masalah global. Pelaku
teror tidak pandang bulu dalam menjalankan aksinya. Terorisme terjadi di negara
berkembang maupun negara maju. Tindak terorisme terbukti telah menimbulkan efek
negatif bagi industri pariwisata di suatu negara. Kita mungkin belum lupa
dengan peristiwa terorisme di Amerika Serikat yang terjadi pada 11 September
2001 (Peristiwa 9/11). Pada saat itu terjadi pembajakan empat buah pesawat
komersial oleh total sembilan belas orang pelaku teror. Dua pesawat ditabrakkan
ke Gedung World Trade Center, satu pesawat ditabrakkan ke Menara Pentagon, dan
satu pesawat lagi meledak di sebuah lapangan. Berdasarkan data dari George dan
Watford (2007), total kerugian dari aksi teror mencapai 100 miliar USD (Baker,
2015: 8). Selain itu, terjadi penurunan permintaan akan jasa angkutan udara dan
penurunan jumlah pengunjung internasional (nonimigran) ke Amerika Serikat.
Grafik menunjukkan bahwa terjadi
penurunan jumlah pengunjung internasional ke Amerika Serikat setelah Peristiwa
9/11. Pada tahun 2007, jumlah pengunjung internasional baru dapat kembali ke
posisi sebelum Peristiwa 9/11 terjadi (Cornwell dan Roberts, 2010: 2).
Selain Peristiwa 9/11, mungkin kita
masih ingat pula dengan aksi terorisme yang terjadi di Ibukota Prancis (Paris
Attacks). Teror Paris Attacks inilah yang digadang-gadang menjadi inspirasi
bagi para pelaku Teror Sarinah. Paris Attacks terjadi pada 13 November 2015.
Saat itu, sembilan pelaku teror melancarkan serangan bom bunuh diri dan
penembakan kepada warga sipil di pusat Kota Paris. Perisitwa itu menelan
sekitar 130 korban jiwa. Aksi teror tersebut berdampak bagi pariwisata.
Pendapatan hotel dan restoran di Kota Paris menurun 40 persen dibandingkan
pendapatan di tahun 2014. Penerbangan ke Paris juga menurun 27 persen seminggu
setelah serangan terjadi (www.telegraph.co.uk,
2015).
Peristiwa
Terorisme di Indonesia
Terorisme bukan hal baru di Indonesia.
Aksi teror mungkin sudah dirasakan oleh nenek moyang kita di masa Kerajaan dan
era kolonial. Di era tersebut, banyak peperangan dan kerja paksa yang tentu
saja menimbulkan ketakutan di masyarakat. Berdasarkan data yang saya kumpulkan
dari Adisaputra (2008) dan Prasetyo (2014), setidaknya terdapat 41 aksi teror
yang terjadi sejak era Orde Baru hingga tahun 2012. Aksi teror tidak hanya
dilatarbelakangi oleh faktor ideologi, namun juga oleh faktor ekonomi.
Dari sekian banyak aksi teror di
Indonesia, tidak sedikit aksi yang menyasar lokasi yang berhubungan dengan
pariwisata. Teroris kerap menyerang beberapa lokasi penunjang pariwisata,
seperti kafe, bar, restoran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Bahkan ada aksi teror
yang dilakukan di obyek wisata, seperti yang terjadi di Candi Borobudur pada 20
Januari 1985. Aksi teror yang menyasar lokasi wisata ibarat menjadi sebuah direct hit yang menghancurkan industri
pariwisata di suatu wilayah dalam sekejap.
Tindak terorisme yang mungkin sulit
dilupakan masyarakat Indonesia ialah peristiwa Bom Bali tahun 2002 dan 2005.
Dapat dikatakan bahwa Bali merupakan “Pulau Pariwisata”. Bali menjadi destinasi
wisata yang paling banyak dikunjungi di Indonesia sejak era Orde Baru. Berdasarkan
data dari Erawan (2003), pada tahun 2000, Bali menggantungkan 59,95 persen
perekonomiannya dari pariwisata. Setelah peristiwa Bom Bali 2002, perekonomian
dari sektor pariwisata menurun drastis menjadi 47,42 persen (Putra dan
Hitchcok, 2008: 86).
Ketika masyarakat Bali masih trauma atas
insiden di tahun 2002, serangan teror kembali terjadi pada 2005. Lagi-lagi
wilayah Kuta yang menjadi terget. Bom Bali 2005 dikatakan berdampak lebih besar
terhadap pariwisata dibanding hal serupa tahun 2002. Padahal, masyarakat Bali
masih berupaya keras untuk memulihkan diri mereka pascainsiden 2002. Jumlah
kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata langsung menurun tajam. Di akhir tahun
2005, okupansi hotel menurun menjadi sekitar 40 persen. Dan di tahun 2006,
okupansi hotel menurun lebih tajam, hanya berada di kisaran 30 persen (Putra
dan Hitchcok, 2008: 96).
Upaya
Mitigasi Aksi Terorisme
Aksi terorisme merupakan upaya kejahatan
yang sulit untuk dicegah. Negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, atau
Prancis telah terbukti bisa “kecolongan” dengan aksi terorisme. Terorisme
mungkin dapat dideteksi oleh aparat intelijen, namun tetap saja kita tidak
dapat menerka secara pasti isi kepala si pelaku teror. Cukup sulit untuk
memprediksi aksi teror yang akan dilakukan pada hari dan waktu yang spesifik.
Karena terorisme sulit diprediksi kapan
akan terjadi, setidaknya seluruh negara telah menyusun prosedur mitigasi untuk
mengatasi aksi terorisme yang sedang atau sudah terjadi. Sonmez, Yiorgos, dan
Tarlow (1999) menyebut hal itu sebagai manajemen krisis. Pemerintah perlu
membuat pedoman manajemen krisis untuk mengatasi peristiwa-peristiwa darurat,
seperti: aksi teror, perang, bencana alam, wabah penyakit, dan sebagainya.
Manajemen krisis ini diperlukan untuk mengurangi kepanikan dan ketidakpastian
yang terjadi akibat adanya peristiwa darurat. Terkait dengan pariwisata,
Sonmez, Yiorgos, dan Tarlow juga menambahkan bahwa perlu dibentuknya Tourism Crisis Center sebagai wadah bagi
para wisatawan untuk mendapat perlindungan dan kepastian informasi jika teror
sewaktu-waktu terjadi.
Saya kembali ke peristwa teror Sarinah
yang masih segar dalam ingatan. Untuk mengantisipasi lesunya industri
pariwisata tanah air, perlu dilakukan upaya mitigasi yang segera. Dalam
peristiwa di Sarinah, ada berbagai aktor yang terlibat dalam manajemen krisis.
Aktor-aktor tersebut memiliki peran yang berbeda-beda. Berikut ini adalah
aktor-aktor tersebut berikut dengan perannya:
1. Pemerintah
Pemerintah memiliki peran yang paling
besar dalam manajemen krisis. Setiap negara memiliki pedoman masing-masing
dalam menangani krisis yang terjadi di negaranya. World Tourism Organization
(WTO), sebagai badan pariwisata dunia, telah membuat Global Code of Ethics for Tourism. Dalam kode etik tersebut, WTO
menekankan pentingnya peran pemerintah untuk menjamin keselamatan wisatawan
apabila terjadi krisis keamanan, yaitu:
“It
is the task of the public authorities to provide protection for tourists and
visitors and their belongings; they must pay particular attention to the safety
of foreign tourists owing to the particular vulnerability they may have; they
should facilitate the introduction of specific means of information,
prevention, security, insurance and assistance consistent with their needs; any
attacks, assaults, kidnappings or threats against tourists or workers in the
tourism industry, as well as the wilful destruction of tourism facilities or of
elements of cultural or natural heritage should be severely condemned and
punished in accordance with their respective national laws.”
Saya memberikan apresiasi yang
setinggi-tingginya kepada Pemerintah Republik Indonesia yang cepat dan tanggap
dalam melakukan mitigasi aksi teror. Pemerintah melakukan upaya pemulihan yang
cepat. Sekitar satu jam setelah aksi teror berhasil diatasi, Presiden−sebagai
orang nomor satu di negeri ini−langsung mengunjungi lokasi teror. Presiden Joko
Widodo bahkan datang tanpa mengenakan rompi antipeluru dan pengawalan yang
ketat. Dengan hadirnya Presiden ke lokasi teror, hal tersebut menumbuhkan kepercayaan
publik bahwa Indonesia sudah kembali aman.
Terlihat Presiden Joko Widodo dan
sejumlah pejabat negara meninjau lokasi teror di Sarinah
Memang, ada beberapa lembaga negara di
Indonesia yang memiliki kewenangan mitigasi, seperti: Kementerian Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Luar Negeri; Kepolisian
Republik Indonesia; Tentara Nasional, Indonesia; Pemerintah Daerah; dan
lembaga-lembaga lainnya. Dalam hal ini, saya hanya akan membahas peran dua
lembaga negara yang terkait dengan urusan keamanan dan pariwisata, yaitu:
a). Kepolisian Republik Indonesia
(Polri)
Meskipun ada anggapan bahwa pihak
intelijen Indonesia “kecolongan”, terbukti pihak Kepolisian mampu menangani
situasi teror dengan cepat. Saya pribadi memberikan dua jempol untuk Polri atas
kesigapannya membalikkan keadaaan di lapangan. Serangan teror berhasil diatasi
dalam kurun waktu 4-5 jam. Polri akhirnya mampu melumpuhkan lima pelaku dan
menangkap dua lainnya. Saya juga turut berbelasungkawa untuk anggota Polri yang
gugur dan keluarganya. Pihak internasional juga memberi pujian kepada Polri
atas kepiawaiannya melumpuhkan pelaku teror (Redaksi Antara, 2016). Polri juga
cepat mengumumkan kelompok teroris, kronologi kejadian, dan jumlah korban,
sehingga meminimalisasi kesimpangsiuran informasi di masyarakat.
Salah satu kesigapan Polri untuk mengatasi ketidakpastian di masyarakat
b). Kementerian Pariwisata Republik
Indonesia
Kementerian ini merupakan lembaga negara
yang memiliki kewenangan terbesar dalam urusan pariwisata di tanah air. Kementerian
Pariwisata langsung bergerak cepat menanggapi aksi teror Sarinah dengan
membentuk crisis center. Dikutip dari
marketeers.com (2016), crisis center
ini dibentuk untuk menangani beragam pemberitaan simpang siur terkait dengan
aksi teror yang terjadi. Menteri Pariwisata Arief Yahya berharap bahwa crisis center ini akan memperjelas
kepastian informasi di tengah masyarakat. Tim dari Kementerian Pariwisata juga
gencar mengecek hotel-hotel di Jakarta, agen perjalanan wisata, maskapai
penerbangan, dan beberapa destinasi wisata unggulan di tanah air. Hasilnya,
Kementerian Pariwisata menjamin bahwa tidak ada tamu hotel yang pulang lebih
cepat, pembatalan penerbangan, dan pembatalan kunjungan wisatawan (Redaksi
BeritaSatu, 2016). Kementerian Pariwisata terus aktif meyakinkan masyarakat
bahwa pariwisata Indonesia tidak terpengaruh aksi teror Sarinah. Hal
ini dapat memperkuat keyakinan wisatawan, terutama wisatawan mancanegara, untuk
tetap datang ke Indonesia.
2. Media
Di era saat ini, media mulai memiliki
peran yang signifikan dalam penyediaan informasi dan pembentukan opini
masyarakat. Hampir setiap orang dapat mengakses informasi yang disajikan oleh
berbagai media. Ditambah dengan kecanggihan teknologi informasi, informasi
dapat menyebar dengan sangat luas dan cepat. Terkait dengan masalah keamanan, Global Code of Ethics for Tourism yang
diterbitkan WTO juga mengatur tentang peran media, yaitu:
“The
press, and particularly the specialized travel press and the other media,
including modern means of electronic communication, should issue honest and
balanced information on events and situations that could influence the flow of
tourists; they should also provide accurate and reliable information to the
consumers of tourism services; the new communication and electronic commerce
technologies should also be developed and used for this purpose; as is the case
for the media, they should not in any way promote sex tourism.”
WTO menghimbau media untuk menyajikan
informasi yang akurat dan berimbang. Media dituntut untuk jujur dan menyajikan
fakta dari berbagai sudut pandang. Pemberitaan yang bohong dan tidak berimbang
malah akan menambah ketidakpastian di masyarakat.
Saat teror di Sarinah terjadi, seluruh
pandangan media tertuju ke peristiwa tersebut. Media dalam negeri dan
internasional menjadikan peristiwa tersebut sebagai breaking news mereka masing-masing. Terima kasih kepada media yang
sudah memberikan informasi mengenai teror ini, sehingga kita semua tahu
mengenai kejadian aktual yang sedang terjadi.
Di sisi lain, saya melihat bahwa ada
beberapa media dalam negeri yang memberikan informasi tidak akurat. Ketika
video di CCTV menunjukkan seorang polisi berbaju putih sedang memegang pistol,
ada media yang malah menyebut polisi tersebut sebagai pelaku teror. Hal
tersebut membuat informasi di masyarakat semakin simpang siur. Ada juga beberapa
media yang menayangkan gambar jenazah di lokasi. Masyarakat dibuat semakin
takut ketika salah satu media mengutip pernyataan pengamat intelijen yang
menyatakan bahwa teror Sarinah merupakan awal dari teror-teror selanjutnya!
Salah satu pemberitaan keliru di media
Media menjadi salah satu sarana teroris
untuk menyebarkan aksi mereka, dengan tujuan untuk membuat takut masyarakat.
Semakin masyarakat takut, semakin senang si pelaku teror karena aksinya
berhasil. Menurut Hildebrandt (2009), tercipta suatu hubungan simbiosis antara teroris
dan media. Teroris membutuhkan media untuk mempublikasikan aksinya. Media juga
membutuhkan adegan dramatis (salah satunya adalah aksi teror) untuk
meningkatkan rating (Baker, 2015: 6). Oleh karena itu, media memainkan peranan
penting dalam hal ini. Tentu saja kita tidak bisa menutupi suatu peristiwa yang
terjadi di suatu wilayah. Jaringan media ada di mana saja dan masyarakat juga
butuh informasi mengenai hal itu. Maka dari itu, media perlu membuat
pemberitaan yang edukatif, supaya masyarakat mendapat kepastian dan
pengetahuan.
Pada saat teror terjadi di Sarinah,
hampir seluruh media menayangkan secara live
aksi teroris. Media sekarang memang terkenal akan slogan “Tercepat, Teraktual,
dan Terpercaya”, sehingga mereka berlomba-lomba menjadi yang terdepan dalam
memberitakan aksi teror tersebut. Di sisi lain, minim adanya berita penyeimbang, misalnya mengenai:
“Situasi Pariwisata di Kawasan X yang tidak Terpengaruh Teror Sarinah”, atau
misalnya: “Meskipun Teror Terjadi, Indonesia Tetap Aman Dikunjungi.”
Berita-berita tersebut sangat berguna untuk meredam ketakutan masyarakat.
Bayangkan, apabila turis asing ingin datang ke Indonesia, mereka wajar apabila
takut dan berniat membatalkan kunjungannya. Apabila ada berita penyeimbang
seperti yang saya contohkan tadi, mungkin turis asing tersebut secara psikologis akan tetap
percaya terhadap keamanan di Indonesia dan tidak jadi
membatalkan kunjungannya.
Banyak media yang malah membuat berita
yang justru memperlemah kepercayaan diri masyarakat, seperti:
Di sisi lain, ada juga berita-berita
yang tetap menumbuhkan optimisme di masyarakat, seperti:
3. Masyarakat Indonesia
Aksi teror ditujukan untuk menyebar
ketakutan di masyarakat. Semakin masyarakat takut, maka proyek si teroris akan berhasil.
Saya pribadi merasa khawatir terhadap teror ini pada awalnya. Lama-kelamaan,
kekhawatiran saya hilang. Terlepas dari adanya korban dalam peristiwa di
Sarinah, dapat dikatakan bahwa teror ini gagal total. Saat teror terjadi, dapat
dilihat bahwa masyarakat malah berkumpul di lokasi kejadian. Mereka seolah-olah
tidak takut akan aksi teror ini. Selain itu, di lokasi kejadian juga
berseliweran pedagang makanan yang menjajakan dagangannya. Sebenarnya aksi
masyarakat tersebut sangat berbahaya dan berpotensi menimbulkan korban lebih
besar, namun hal itu dapat dijadikan penyemangat bahwa masyarakat Indonesia sejatinya
tidak takut terhadap teror. Optimisme dari dalam dapat menciptakan kepercayaan
masyarakat internasional terhadap keamanan di Indonesia.
Dari jarak seratus meter dari lokasi baku tembak antara teroris dan polisi, ada Pak Jamal, penjual sate yang menjadi hits. Simbol bahwa masyarakat Indonesia tidak takut.
Inilah sifat komunalisme masyarakat
Indonesia. Tetap berkumpul di kondisi apapun. Saat peristiwa Mei 1998 dan
peristiwa Mbah Priok, masyarakat juga tetap berkumpul di lokasi meskipun
terdengar suara tembakan.
Tagar tanda optimisme
Doa untuk Jakarta dan Indonesia
Tanpa mengucilkan para korban dan keluarga, masyarakat malah menjadikan peristiwa ini sebagai bahan hiburan, untuk menunjukkan bahwa teroris gagal menjalankan tujuannya.
4. Negara-negara Sahabat dan Komunitas
Internasional
Hampir tiap negara mengalami aksi
terorisme. Terorisme menjadi kejahatan global yang sering dibahas di
forum-forum dunia. Dunia internasional tentu mengutuk tindak kejahatan ini.
Suatu negara korban tindak terorisme membutuhkan dukungan internasional untuk
memulihkan perdamaian di wilayahnya.
Di sisi lain, biasanya aksi terorisme yang
terjadi di suatu negara dibarengi dengan pemberian “travel warning/travel ban” dari negara tertentu. Travel warning/travel ban merupakan
himbauan dengan tingkatan tertinggi, menandakan bahwa terjadi kondisi politik,
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berbahaya, sistemis, dan berjangka panjang
di negara sasaran. Travel warning/travel
ban diidentikkan dengan negara gagal, zona konflik, atau negara yang tidak
memiliki hubungan diplomatik dengan negara pemberinya (Friend, 2011).
Pemberian travel warning/travel ban merupakan hak setiap negara, karena itu
sesuai dengan kepentingan nasional tiap negara untuk melindungi segenap warga
negaranya di mana pun berada. Indonesia sendiri pernah mendapat travel warning dari Amerika Serikat,
Australia, dan beberapa negara Eropa ketika terjadi Bom Bali tahun 2002 dan
2005. Pascainsiden Sarinah, harus disyukuri bahwa tidak ada negara yang
memberikan travel warning/travel ban untuk
Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri
Arrmanatha Nasir. Hanya ada travel advice
yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Travel advice hanya bersifat himbauan,
tidak sekuat peringatan dalam travel
warning/travel ban.
Saya berpendapat bahwa negara-negara
sahabat perlu berpikir secara matang sebelum menerbitkan travel warning. Selama ini beberapa negara (khususnya negara
Barat), kerap memberikan travel warning
ketika ada aksi teror di suatu negara. Studi dari Okumu (2007: 47-48)
menyatakan bahwa travel warning/travel
ban yang diberikan kepada negara-negara Afrika kerap kali inkonsisten,
alasannya dibuat-buat, dan bermotivasi politik.
Pemberian travel warning/travel ban sebetulnya sudah diatur oleh WTO dalam Global Code of Ethics for Tourism,
yaitu:
“Governments
have the right–and the duty–especially in a crisis, to inform their nationals
of the difficult circumstances, or even the dangers they may encounter during
their travels abroad; it is their responsibility however to issue such
information without prejudicing in an unjustified or exaggerated manner the
tourism industry of the host countries and the interests of their own
operators; the contents of travel advisories should therefore be discussed
beforehand with the authorities of the host countries and the professionals
concerned; recommendations formulated should be strictly proportionate to the
gravity of the situations encountered and confined to the geographical areas
where the insecurity has arisen; such advisories should be qualified or
cancelled as soon as a return to normality permits.”
WTO menyatakan bahwa setiap negara
berhak memberikan himbauan kepada warga negaranya apabila terjadi krisis di
suatu negara. Meskipun demikian, WTO menghimbau bahwa pemberian travel warning/travel ban sebaiknya
didiskusikan dahulu dengan negara sasaran. Pemberian travel warning/travel ban harus sesuai dengan kondisi riil, tidak
boleh melebih-lebihkan situasi. Ruang lingkup travel warning/travel ban hanya dibatasi pada wilayah tertentu
saja, bukan seluruh wilayah negara. Ketika kondisi di negara penerima telah
kembali normal, travel warning/travel ban
harus segera dicabut.
Bagi negara yang menggantungkan
pendapatannya dari sektor pariwisata, tentu saja travel warning/travel ban dapat menjadi penghambat perekonomian. Travel warning/travel ban mengurangi
jumlah penerbangan dan kunjungan wisatawan di negara penerima. Bisnis hotel,
restoran, dan cinderamata menjadi lesu dan berdampak terhadap pengangguran.
Salah satu negara Afrika yang menderita akibat travel warning/travel ban adalah Kenya. Perhitungan yang dilakukan
Kementerian Luar Negeri Kenya tahun 2004 menyatakan bahwa travel warning/travel ban yang diberikan oleh Inggris merugikan
negaranya hingga 108 juta poundsterling (Okumu, 2007: 46). Nilai itu setara
dengan 1,6 persen total kekayaan negara Kenya.
Okumu (2007: 47) juga menyatakan bahwa
pemberian travel warning/travel ban
malah dapat menyukseskan tujuan si pelaku teror. Terorisme dilakukan untuk
menyebar ketakutan. Travel warning/travel
ban malah dapat menandakan bahwa negara pemberi mengalami ketakutan atas
aksi yang dilakukan teroris.
Kembali ke peristwa di Sarinah. Saya
melihat bahwa negara-negara sahabat dan komunitas dunia memberi dukungan yang
luar biasa kepada Indonesia. Dukungan dan doa datang dari PBB, pemimpin negara
sahabat, dan segenap komunitas dunia. Mereka menyampaikan simpati dan mengutuk
aksi terorisme. Mereka tidak ingin dunia larut dalam ketakutan dan kesedihan. Beberapa negara bahkan menawarkan bantuan untuk mengungkap kasus terorisme di Sarinah. Berikut
ini adalah dukungan yang diberikan oleh pemimpin negara dan komunitas
internasional:
Dukungan diberikan oleh Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull
Klub sepakbola AC Milan turut memberikan dukungan
Sekian ulasan saya mengenai terorisme
dan keterkaitannya dengan turisme. Semoga dapat menambah wawasan pembaca.
Catatan:
Seluruh
gambar yang saya sertakan merupakan gambar yang tersebar di media facebook secara viral. Apabila ada yang
merasa keberatan dengan gambar tersebut, jangan ragu untuk menghubungi saya.
Terima kasih.
Referensi
Adisaputra, Asep. (2008. Korban Kejahatan Terorisme: Ketika Negara
Kurang Berperan. Tesis. Program Pascasarjana. Departemen Kriminologi.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Depok.
Baker, David Mc.A. (2015). Tourism and
Terrorism: Terrorists Threats to Commercial Aviation Safety and Security. International Journal of Safety and Security
in Tourism/Hospitality, 2015. (pp. 1-18).
Cornwell, Derekh dan Roberts, Bryan.
(2010). The 9/11 Terrorist Attack and
Overseas Travel to the United States:Initial Impacts and Longer-Run Recovery.
Working Paper, Maret 2010. U.S. Department of Homeland Security.
Firmansyah, Hery. (2011). Upaya Penanggulangan
Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. Mimbar
Hukum, Vol. 23, No. 2, Juni 2011. (pp. 376-393).
Friend, Julie. (2011). Travel Warnings:
Developing Effective Response Procedures. International
Educator, 2011 Health and Insurance Supplement.
Koran Tempo. 16-17 Januari 2016. Edisi
No. 5142 Tahun XIV.
marketeers.com. (2016, 14 Januari). Kemenpar Aktifkan Crisis Center Hadapi Bom
Sarinah. http://marketeers.com/article/kemenpar-aktifkan-crisis-center-hadapi-bom-sarinah.html.
Okumu, Wafula. (2007). Security Alerts
and Their Impacts on Africa. African
Security Review 16.3. (pp. 41-48).
Prasetyo. (2014). Perubahan Corak
Terorisme di Indonesia Tahun 2000 Hingga Tahun 2013. Jurnal Pertahanan, Maret 2014, Volume 4, Nomor 1. (pp. 83-98).
Putra, I Nyoman Darma dan Hitchcock,
Michael. (2008). Terrorism and Tourism in Bali and Southeast Asia. Dalam:
Hitchcock, Michael, King, Victor T., dan Parnwell, Michael (Ed.). Tourism in Southeast Asia: Challenges and
New Directions. (pp. 83-98). Kopenhagen: NIAS Press.
Redaksi Antara. (2016, 15 Januari). BOM JAKARTA - Dunia kagum pada respon cepat
aparat Indonesia. http://www.antaranews.com/berita/540209/bom-jakarta--dunia-kagum-pada-respon-cepat-aparat-indonesia.
Redaksi Indonesia. (2016, 15 Januari). Sempat Terganggu Bom Sarinah, Pariwisata
Indonesia Sudah Pulih. redaksiindonesia.com/read/sempat-terganggu-bom-sarinah-pariwisata-indonesia-sudah-pulih.html.
Sonmez, S. F., Yiorgos, A., &
Tarlow, P. (1999). Tourism in crisis: Managing the effects of terrorism. Journal of Travel Research, 38(6), 3.
www.telegraph.co.uk. (2015, 16 Desember). Paris Attacks Could Cost European Tourism
£660m. http://www.telegraph.co.uk/travel/travelnews/12051922/Paris-attacks-could-cost-European-tourism-660m.html.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar