Senin, 03 Agustus 2015

DIENG: Latihan Jadi Backpaker

Kalau ingin menggeluti suatu hal, ada baiknya seseorang melakukan latihan terlebih dahulu. Sama halnya dengan menjadi seorang backpacker. Menjadi seorang backpacker memang sudah impian saya sejak masih SMA. Saya ingin menjadi backpacker karena ingin menjadi pribadi yang lebih mandiri dan juga ingin mengenal Indonesia lebih jauh. Banyak yang bingung ketika melakukan perjalanan backpacker untuk pertama kalinya. Begitupun dengan saya. Sebenarnya, saya sudah beberapa kali melakukan perjalanan, namun belum pernah apabila dengan cara backpacker. Keinginan saya untuk menjadi backpacker akhirnya kesampaian saat saya sudah menjadi mahasiswa. Pada awal 2013, saya dan tiga orang teman memutuskan untuk pergi ke Dataran Tinggi Dieng, Provinsi Jawa Tengah. Tentu saja, perjalanan dilakukan dengan gaya backpacker. Kebetulan, kami berempat masih newbie dalam hal backpackeran. Ini lah saatnya untuk berlatih menjadi seorang backpacker.

I'm ready to......

Perjalanan ke Dieng ini dilaksanakan dari tanggal 31 Januari 2013-4 Februari 2013. Waktu itu, anak kuliahan seperti saya sedang libur semesteran. Daripada menganggur di rumah, saya dan tiga orang teman yang lain, yaitu Karim, Semy, dan Jeki) merencanakan liburan bersama. Jadi, kami itu teman satu angkatan dan satu SMA. Awalnya, kami ingin liburan yang deket-dekat saja ke Kepulauan Seribu. Tapi, saya meracuni teman-teman yang lain untuk pergi ke Dieng. Saya membawa artikel koran tentang obyek wisata di Dieng. Karena tempatnya yang dirasa bagus dan jaraknya juga tidak begitu jauh dari Jakarta, akhirnya kami setuju untuk ke Dieng. Racun yang cukup ampuh bukan? Hehehe.

Untuk kelancaran perjalanan, maka kami mencari informasi mengenai transportasi dan akomodasi melalui internet. Persiapan pun lengkap dan kami siap berangkat. Oiya, karena kami masih berlatih menjadi backpacker, maka kami hanya membawa uang yang tidak begitu banyak. Kami pikir, backpacker itu identik dengan dana minim. Semakin sedikit uang yang dibawa, maka semakin hebat pikir kami hehehe. Berikut cerita perjalanan kami.

Hari Pertama (31 Januari 2013)
Kami berangkat ke Wonosobo dari Pasar Minggu dengan bus Sinar Jaya. Busnya kelas ekonomi dengan tarif 65 ribu rupiah. Bus berangkat pukul 16.00 WIB. Hujan selalu menemani perjalanan kami saat itu. Maklum, Pulau Jawa saat itu sedang sering-seringnya hujan. Ada kabar bahwa jalur Pantura terkena banjir. Tapi puji Tuhan ternyata isu itu tidak terbukti. Tuhan selalu menyertai backpacker. Perjalanan kami lancar tanpa hambatan. Di dalam bus, saya juga sudah menghubungi Losmen Bu Djono. Losmen ini merupakan losmen yang recommended di Dieng berdasarkan informasi yang saya kumpulkan di internet. Kami pun akhirnya mendapat satu kamar di losmen ini.

Hari Kedua (1 Februari 2013)
Perjalanan dengan bus cukup lancar. Kami sampai di Terminal Wonosobo pukul 03.00 WIB. Benar-benar masih pagi buta. Karena nyawa yang belum terkumpul, maka kami berempat melanjutkan tidur di emperan terminal (biar kayak backpacker). Ternyata jadi backpacker asik juga. Kami dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Kami sampai di Terminal Wonosobo pada malam hari

Untung saja ada warung yang buka di Terminal pada saat itu. Kami berempat memesan popmie untuk menghangatkan badan (Wonosobo dingin, sumpah). Aktivitas di terminal mulai ramai memasuki pukul enam pagi. Supaya perjalanan pulang kami nanti lancar, maka kami memesan tiket bus untuk pulang. Busnya sama yaitu Sinar Jaya, tapi hanya ada bus AC dengan harga 75 ribu rupiah.

Namanya newbie yang modal nekat, kami kekurangan informasi mengenai angkutan untuk menuju ke Dieng. Kami mencari informasi ke beberapa orang di Terminal. Ada yang bilang bahwa kami bisa naik ojek. Tapi kami meragukan kalo naik ojek (pasti mahal nih). Namun, Tuhan selalu melindungi backpacker. Saat kami sedang kebingungan, ada seorang kondektur bus yang menghampiri. Penampilannya seperti preman, memakai piercing di telinga. Tapi ternyata, orang itu sangat baik (makanya, jangan menilai orang dari penampilan luarnya). Si Mas Kondektur memberi arahan mengenai angkutan ke Dieng.

Perjalanan dari Terminal kami mulai sekitar pukul sembilan pagi. Kami harus naik angkot dulu ke daerah yang namanya Kauman (tarif 2 ribu rupiah). Kemudian, kami naik mikrobus dari Kauman ke Pertigaan Dieng (tarif 10 ribu rupiah). Jalan yang kami lalui cukup ekstrem karena membelah pegunungan. Kiri dan kanan didominasi jurang. Belum lagi kondisi mikrobus yang sepertinya sudah cukup tua. Agak ngeri juga. Tapi ya namanya backpacker, nikmatin saja lah apapun kondisinya.

Akhirnya kami sampai di Pertigaan Dieng sekitar jam dua belas siang. Pertigaan Dieng ini ibarat titik nol km-nya Dieng. Di sini pusatnya penginapan dan losmen. Kami berempat kemudian menuju ke Losmen Bu Djono. Berdasarkan referensi dari Pakde Google, Losmen Bu Djono merupakan salah satu Losmen yang recommended. Dengan negosiasi, akhirnya disepakati tarif sebesar 300 ribu rupiah per kamar untuk 2 malam. Kamar dilengkapi dengan dua kasur sehingga kami berempat cukup memesan satu kamar saja. Di Losmen ini, kalian juga bisa menyeduh kopi, teh, atau popmie secara gratis.

Karena hari masih siang, kami tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Sasaran pertama adalah Telaga Warna. Karena lokasinya tidak begitu jauh dari Losmen, maka kami memutuskan untuk jalan kaki. Sekitar 20 menit berjalan kaki, kami sampai di Telaga Warna. Tarif tiket seharga 4 ribu rupiah. Di sekitar Telaga ini, banyak juga terdapat gua. Terdapat juga satu telaga yang terletak berdampingan dengan Telaga Warna, yaitu Telaga Pengilon. Sayang cuaca saat itu kurang mendukung, sehingga banyak kabut yang menutupi Telaga.

Telaga Warna, ada bebek yang sedang berenang

Ada pohon yang bentuknya aneh, menyerupai manusia

Untuk menghangatkan badan, kami membeli jagung bakar yang dijajakan warga setempat di sekitar Telaga. Harga satu jagung bakar sebesar lima ribu rupiah. Kami juga menyempatkan diri untuk menikmati minuman khas Dieng yaitu Purwaceng. Harganya 7 ribu rupiah per gelas. Karena saya memilih Purwaceng rasa original, maka itu adalah pilihan yang kurang tepat. Rasanya pahit banget hahaha.

Hari Ketiga (2 Februari 2013)
Kami berempat harus bangun pagi-pagi. Karena kalau tidak, semakin sedikit obyek yang dapat dikunjungi. Akhirnya kami bangun dan mandi pada pukul 05.00. Awalnya, pihak Losmen bilang bahwa kamar mandi kami ada fasilitas air panasnya. Tapi ternyata air panasnya sedang tidak berfungsi. Dengan penuh keterpaksaan, akhirnya kami memberanikan diri mandi dengan air dingin. Mandi air dingin di ketinggian 1.900 mdpl memang pengalaman yang tak akan terlupakan. Keluar dari kamar mandi, badan langsung berasap saking bekunya hahaha.

Tujuan pertama kami di hari ketiga adalah Candi Arjuna. Candi Arjuna juga tidak begitu jauh dari Losmen sehingga kami tinggal berjalan kaki. Tarif tiket sebesar 10 ribu rupiah, plus tiket untuk mengunjungi Museum Kailasa dan Kawah Sikidang. Kalian juga bisa menggunakan jasa guide sebesar 70 ribu rupiah jika mau. Kompleks Candi cukup luas. Terdapat beberapa Candi di kompleks ini sehingga pengunjung memiliki banyak pilihan. Namun sayang, ada beberapa Candi yang dicorat-coret oleh oknum tak bertanggungjawab.

Candi Arjuna

Candi Gatot Kaca

Setelah dari Kompleks Candi Arjuna, kami lanjut ke Kawah Sikidang. ada papan penunjuk yang menunjukkan arah ke Kawah Sikidang. Karena tidak ada angkutan, maka yowes lah kami jalan kaki lagi. Ternyata Kawah Sikidang cukup jauh jaraknya dari Kompleks Candi Arjuna. Dengan napas yang sudah tinggal dua, akhirnya kami sampai ke tempat yang dituju. Lumayan ramai pengunjung di Kawah Sikidang pada saat itu. Untuk berkunjung ke sini, sebaiknya menggunakan masker karena aroma belerangnya begitu menyengat.

Kawah Sikidang

Puas melihat Kawah Sikidang, kami lanjut ke Dieng Plateau Center (DPC). DPC merupakan semacam bioskop untuk melihat film mengenai Dieng. Kami akhirnya nekat jalan kaki lagi. Kalau dihitung-hitung, mungkin kami sudah berjalan kaki lebih dari 5 kilometer sejak dari Candi Arjuna. Karena dengkul kami dengkul-dengkul kuli, maka woles saja. Di perjalanan, ada beberapa pengunjung juga (mereka menggunakan kendaraan) yang sepertinya merasa kasihan melihat kami jalan kaki, hiksss.....Tapi okelah akhirnya kami sampai juga di DPC. Karena estimasi waktu yang sepertinya tidak mencukupi, kami memutuskan untuk tidak masuk ke dalam DPC Kami hanya istirahat minum di luar DPC.

Beranda depan Dieng Plateau Theater

Dari DPC, kami pulang sejenak ke Losmen Bu Djono untuk beristirahat. Saking jauhnya jalan kaki, kaki saya langsung lecet di bagian jari. Tapi tidak apa, memang salah saya sendiri kok yang sendalnya make sendal jepit hehehe. Karena perut sudah berbunyi, maka kami mencari makan siang di sekitar Losmen. Kami berempat menyantap makanan khas Dieng, yaitu Mie Ongklok. Harganya 8 ribu rupiah per mangkok.

Akhirnya bisa mencicipi Mie Ongklok

Setelah kenyang menyantap Mie Ongklok, kami mencari destinasi berikutnya. Berdasarkan peta wisata yang diberikan oleh pihak Losmen, kami sepakat untuk mengunjungi Telaga Merdada. Kami harus naik bus karena jaraknya cukup jauh jika berjalan kaki. Tarif bus sebesar 2 ribu rupiah. Setelah turun dari bus, kami masih harus jalan kaki lagi. Telaga terletak di tengah ladang penduduk. Telaga Merdada merupakan danau yang sangat hening. Relatif jarang turis yang berkunjung ke telaga ini.

Telaga Merdada

Hari Keempat (3 Februari 2013)
Ini hari terakhir kami di Dieng. Kami harus kembali ke Jakarta. Ketentuan check out di Losmen Bu Djono maksimal jam 1 siang. Karena kemarin kami seharian penuh sudah mengunjungi beberapa destinasi, maka kami memutuskan untuk packing saja di kamar sekalian beres-beres. Pengurus Losmen orangnya baik, jadi kami tidak enak hati kalau pergi tanpa merapikan kamar.

Kami juga menyempatkan membeli oleh-oleh untuk keluarga di Jakarta. Meskipun dana kami minim, oleh-oleh tetap penting bagi keluarga yang menunggu di rumah. Kalau di Dieng, sepertinya kurang lengkap kalau tidak membeli carica (sejenis pepaya gunung) dan purwaceng. Satu kaleng carica seharga 10 ribu rupiah, sedangkan satu bungkus purwaceng seharga 7 ribu rupiah.

Pukul 11.00 WIB, kami pamit dari Losmen dan kembali ke Terminal Wonosobo menggunakan angkutan yang sama saat kami berangkat. Bus pun berangkat pukul 16.00 WIB. Puji Tuhan, kami dapat kembali ke rumah tercinta pada keesokan harinya. Begitu tiba di rumah, uang yang tersisa di kantong saya hanya sebesar 2 ribu rupiah. Hal ini disebabkan karena kami menganggap bahwa backpacker itu hanya modal nekat dan tidak perlu bawa duit banyak-banyak. Setelah perjalanan ini, saya menyadari bahwa backpacker bukan sekedar modal nekat dan duit cekak, tapi yang terpenting adalah well-prepared. Sekian pengalaman backpacker pertama saya. Terima kasih.

2 komentar: