Senin, 26 Oktober 2015

Kok Namanya Ngaku-ngaku Backpacker Sih?

Ngaku-ngaku Backpacker.......Sebuah nama tidak penting yang kadang kala juga bisa menjadi penting. Sebetulnya sih, nggak ada yang nanya kenapa blog saya ini bernama "Ngaku-ngaku Backpacker" (ngenes banget sih gak ada yang nanya hahaha). Tapi gak apa, saya orangnya memang penuh inisiatif. Sebelum ada orang yang bertanya suatu saat nanti, saya sudah bisa menyiapkan jawabannya (sok iye banget). Sempat bingung juga untuk menentukan nama dari blog ini. Setelah memilah-milah beberapa nama, akhirnya nama ini lah yang saya pilih sebagai nama blog saya. 

Untuk membuat suatu blog, memang dibutuhkan suatu nama untuk menjadi judul dari blog kita. Bagi sebagian orang, mungkin nama tidaklah menjadi hal yang utama. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang pujangga yang hidup di masa Renaissance, Wiliam Shakespeare. Shakespeare memiliki petikan terkenal, yakni: "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet". Apalah arti sebuah nama? Jika bunga mawar kita beri nama yang berbeda, tetap saja ia memiliki keharuman. 

www.thefeministwire.com

Rabu, 14 Oktober 2015

Baduy dan Pariwisata: Sebuah Catatan Kritis

".......pembangunan kepariwisataan tanpa mempertimbangkan aspek sosial budaya secara matang, justru akan mendatangkan malapetaka bagi masyarakat. Pariwisata memiliki daya dobrak yang relatif tinggi untuk merusak kebudayaan masyarakat, khususnya di daerah pariwisata." (Setyadi, 2007)


Baduy dan Pariwisata, Tetapkah Budaya Asli Terjaga?
Orang Baduy telah membuka diri mereka untuk pariwisata. Setiap akhir minggu, banyak wisatawan (terutama dari Ibukota) yang ingin melihat kehidupan masyarakat Baduy. Mereka penasaran dengan kehidupan orang Baduy yang sederhana, jauh berbeda dengan pola hidup orang di perkotaan.

Selasa, 13 Oktober 2015

Belajar Kearifan Lokal dari Orang Baduy

Saat ini, dunia memasuki era globalisasi. Globalisasi datang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, globalisasi mendatangkan efek positif, seperti kemudahan mengakses informasi atau kemudahan mendapatkan barang/jasa. Di sisi lain, globalisasi juga membawa efek negatif, seperti masuknya arus modal pembangunan yang merusak lingkungan dan masuknya budaya asing, sehingga mengikis budaya asli masyarakat tertentu. Hal ini terutama dialami oleh negara berkembang yang belum siap bersaing dalam globalisasi, salah satunya ialah Indonesia. 

Di tengah derasnya arus globalisasi, dibutuhkan kekuatan internal sebagai benteng dalam mempertahankan identitas diri. Kearifan lokal dapat menjadi solusi dalam menjaga eksistensi diri. Menurut Sartini (2004), kearifan lokal adalah gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya. Selain itu, menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia (2006), kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011).


Rabu, 07 Oktober 2015

Visi Maritim Indonesia: Bagaimana dengan Wisata Bahari?


Pemerintahan baru resmi terbentuk di tahun 2014. Sebagai Presiden Republik Indonesia ketujuh, Joko Widodo mencanangkan sebuah “visi baru”, yaitu visi maritim. Presiden ingin menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, dan kuat, dan berdasarkan kepentingan nasional. Visi ini sangat tepat bagi Indonesia, karena Indonesia memiiliki potensi yang besar di bidang maritim.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia belum dapat dijuluki sebagai negara maritim. Negara maritim adalah negara yang menguasai semua kekuatan strategis di lautan yang didukung oleh kekuatan maritim baik itu armada perdagangan, armada perang, industri maritim serta kebijakan pembangunan negara yang berbasis maritim (Dewan Kelautan Indonesia, 2012). Indonesia sama sekali belum menguasai seluruh potensi yang ada di lautnya.