Selasa, 13 Oktober 2015

Belajar Kearifan Lokal dari Orang Baduy

Saat ini, dunia memasuki era globalisasi. Globalisasi datang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, globalisasi mendatangkan efek positif, seperti kemudahan mengakses informasi atau kemudahan mendapatkan barang/jasa. Di sisi lain, globalisasi juga membawa efek negatif, seperti masuknya arus modal pembangunan yang merusak lingkungan dan masuknya budaya asing, sehingga mengikis budaya asli masyarakat tertentu. Hal ini terutama dialami oleh negara berkembang yang belum siap bersaing dalam globalisasi, salah satunya ialah Indonesia. 

Di tengah derasnya arus globalisasi, dibutuhkan kekuatan internal sebagai benteng dalam mempertahankan identitas diri. Kearifan lokal dapat menjadi solusi dalam menjaga eksistensi diri. Menurut Sartini (2004), kearifan lokal adalah gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh masyarakatnya. Selain itu, menurut Kementerian Sosial Republik Indonesia (2006), kearifan lokal merupakan pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011).



Kearifan lokal merupakan benteng untuk menjaga eksistensi suatu kelompok. Di saat sebagian masyarakat Indonesia sudah meninggalkan budaya nenek moyang mereka, masih terdapat beberapa kelompok masyarakat yang tetap teguh menjaga budaya mereka. Salah satunya ialah masyarakat suku Baduy. Baduy merupakan salah satu dari 1.128 suku yang ada di Indonesia. Suku Baduy menetap di wilayah Pegunungan Kendeng yang berada di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.  

Masyarakat Baduy memang terkenal akan kearifan lokalnya yang setia menjaga alam dan menjauhkan diri dari kehidupan modern. Sudah cukup banyak kajian akademis mengenai suku Baduy. Ditinjau dari sejarah, setidaknya ada empat versi mengenai asal-usul suku Baduy. Pertama, suku Baduy diyakini merupakan bagian dari masyarakat asli Sunda di Kerajaan Hindu Padjajaran. Pada abad ke-16, mereka melarikan diri ke daerah yang mereka tempati saat ini karena Kerajaan Padjajaran mendapat serangan dari kerajaan lain. (Bina Karta Lestari Foundation, 2006). Kedua, masyarakat Baduy diyakini berasal dari pasukan khusus yang ditugaskan oleh Pangeran Pucuk Ulum dari Kerajaan Padjajaran untuk menjaga keasrian hutan Pegunungan Kendeng (Adimiharja, 2000). Ketiga, seorang dokter berkebangsaan Belanda pada tahun 1928 menyatakan bahwa orang Baduy adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh dari luar (Garna, 1993). Keempat, masyarakat Baduy sendiri meyakini bahwa mereka adalah manusia pertama yang diciptakan di Bumi, dan tanah mereka merupakan pusat dunia.

Ada juga beberapa versi mengenai asal nama "Baduy". Menurut Garna (1993), nama Baduy diberikan oleh orang luar karena suku ini memiliki kebiasaan tidak beralas kaki dan tidak naik kendaraan, mirip orang Badawi di Arab. Ada juga yang menyatakan bahwa nama Baduy berasal dari nama sungai yang berada di Pegunungan Kendeng, yaitu Sungai Cibaduy. Orang Baduy sendiri sebetulnya lebih suka menyebut diri mereka orang Kanekes, sesuai dengan nama Desa tempat tinggal mereka.


Orang Baduy memiliki buyut karuhun (ketentuan adat) sebagai pedoman mereka berperilaku sehari-hari. Nenek moyang orang Baduy telah menciptakan suatu tata cara tentang kehidupan. Kemudian, nenek moyang menitipkan tata cara tersebut kepada anak-cucunya. Sebagai generasi saat ini, orang Baduy wajib menjaga "titipan" nenek moyang mereka. Mereka juga memiliki pikukuh karuhun (larangan adat) sebagai berikut (Suparmini dan Sumunar, 2013):
-Dilarang mengubah jalan air, misalnya membuat kolam ikan, mengatur drainase, dan membuat irigasi. Oleh karena itu hanya diperkenankan sistem pertanian padi ladang, bukan padi sawah.
-Dilarang mengubah bentuk tanah, misalnya menggali tanah untuk membuat sumur, meratakan tanah untuk permukiman, dan mencangkul tanah untuk pertanian.
-Dilarang masuk hutan titipan (leuweng titipan) untuk menebang pohon, membuka ladang, atau mengambil hasil hutan. Kawasan larangan dan perlindungan tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan apapun.
-Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, obat pemberantas hama, mandi menggunakan sabun dan pasta gigi, mencuci menggunakan deterjen, atau meracun ikan.
-Dilarang menanam tanaman budidaya perkebunan, seperti kopi, kakao, cengkeh, atau kelapa sawit.
-Dilarang memelihara binatang berkaki empat, seperti kambing, sapi, atau kerbau.
-Dilarang berladang sembarangan. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat.
-Dilarang menggunakan sembarang pakaian. Ditentukan pakaian tertentu. Baduy Dalam berpakaian dengan menggunakan ikat kepala (hanya ada dua warna, putih dan hitam). Baduy Luar berpakaian hitam atau biru gelap dengan ikat kepala hitam atau biru gelap.

Aturan tersebut wajib ditaati oleh orang Baduy dan juga orang luar yang memasuki wilayah Baduy. Selain itu, masyarakat Baduy juga memiliki prinsip-prinsip hidup sebagai berikut:
Sumber: Senoaji (2011).

Inti dari prinsip tersebut adalah bahwa orang Baduy tidak boleh mengubah apapun yang sudah ada di alam. Jika alam telah berbentuk demikian, maka manusia tidak boleh mengubah bentuknya. Biarkan alam tetap seperti apa adanya.

Seiring dengan perkembangan jaman, terjadi perubahan di dalam masyarakat Baduy (Adi, 1988 dirujuk dari Senoaji, 2011). Terjadi pelonggaran terhadap aturan suku Baduy, Orang Baduy yang semula hanya satu komunitas, mulai terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam (Baduy Tangtu) dan Baduy Luar (Baduy Panamping) . Ada beberapa alasan yang menyebabkan seseorang keluar dari Baduy Dalam, yaitu:
-Melanggar adat Baduy Dalam
-Berkeinginan untuk keluar dari Baduy Dalam (karena tidak tahan dengan aturan atau alasan lain)
-Menikah dengan orang Baduy Luar.

Berbeda dengan orang Baduy Dalam yang menolak modernitas, orang Baduy Luar diperkenankan menggunakan teknologi dan bebas berpakaian. Meskipun demikian, orang Baduy Luar tetap menghormati dan menginduk kepada Baduy Dalam. Bagaimanapun juga, Baduy Dalam adalah asal usul Baduy Luar. Saat ini, terdapat tiga kampung di Baduy Dalam, yaitu: Cikartawana, Cikeusik, dan Cibeo. Di Baduy Luar, terdapat 53 kampung. Suku Baduy menempati wilayah seluas 5.102 ha, yang mana 39 persen berada di Baduy Dalam dan 61 persen berada di Baduy Luar.

Sebagai orang yang Nusantarais (loh istilah apa ini, entahlah hehe), saya ingin sekali mengetahui lebih banyak tentang Indonesia atau Nusantara ini. Salah satunya ialah berkunjung dan tinggal bersama masyarakat adat Nusantara, untuk menggali nilai-nilai kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal ini lah yang nantinya perlu untuk diangkat dan diperkenalkan sebagai pedoman dan tata cara hidup. Kearifan lokal dapat diadopsi, misalnya  di dalam sistem pemerintahan atau aspek kehidupan lainnya. Maklum, harus diakui bahwa masyarakat Indonesia masih mengadopsi nilai-nilai dari luar dalam aspek-aspek tertentu, seperti misalnya pemerintahan. Padahal nilai luar tersebut belum tentu cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia.


Kali ini, saya berkesempatan untuk mengunjungi suku Baduy. Tempat tinggal orang Baduy terpaut sekitar 120 km dari Ibukota Jakarta, tempat tinggal saya. Meskipun demikian, saya sudah cukup familiar dengan suku ini. Selain sering menyaksikan tayangan mereka di media, saya juga sering melihat orang Baduy berjalan kaki di sekitar tempat tinggal saya. Jujur saja, ini kali pertama saya berkunjung ke masyarakat adat. Perjalanan saya kali ini ditemani oleh teman-teman dari Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Sahid, Pondok Cabe yang merupakan inisiator perjalanan ini dan beberapa teman lainnya. Ada lima belas orang yang mengikuti perjalanan ini. Berikut ini adalah daftar peserta:

1. Aglen
2. Padri (asli Padang dan bekerja di Jakarta)
3. Rizky (asli Aceh dan mahasiswa STP Sahid, sekaligus tour leader)
4. Chlara (asli Jakarta dan mahasiswa STP Sahid)
5. Ikma (asli Jakarta dan mahasiswa STP Sahid)
6. Tasia (asli Maluku dan mahasiswa STP Sahid)
7. Tini (asli NTT dan mahasiswa STP Sahid)
8. Leling (asli NTT dan mahasiswa STP Sahid)
9. Putri (asli Aceh dan mahasiswa STP Sahid)
10. Ida (asli Aceh dan mahasiswa STP Sahid)
11. Nabilah (asli Medan dan mahasiswa STIKES Cibubur)
12. Siti (Asli Papua Barat dan mahasiswa STP Sahid)
13. Ocha (Asli Papua dan mahasiswa STP Sahid)
14. Keti (Asli Papua dan mahasiswa STP Sahid)
15. Irma (Asli Papua dan mahasiswa STP Sahid)

Perjalanan ini benar-benar Bhineka Tunggal Ika. Ada teman-teman dari Aceh hingga Papua. Semuanya memiliki satu tujuan, yaitu ingin mengenal lebih dekat negaranya sendiri. Ada tiga laki-laki dan dua belas perempuan. Tiga belas peserta masih mahasiswa. Hanya saya dan Padri yang paling tua. Oiya, ini pertama kalinya saya jalan dengan peserta yang lebih muda. Biasanya, saya selalu jalan dengan orang-orang yang lebuh tua, dan saya merupakan peserta yang paling bontot. Waduh, kayaknya saya udah makin tuwir nih hehehe. Oiya, sebelum berangkat, kami menyiapkan ikan asin sebagai oleh-oleh. Katanya, orang Baduy sangat suka dengan ikan asin.


Sesuai kesepakatan, kami semua berangkat menggunakan kereta api ekonomi dari Stasiun Kebayoran Baru. Kami berangkat pada hari Sabtu, 10 Oktober 2015. Kereta berangkat pukul setengah delapan pagi dengan tarif 8 ribu rupiah/orang.




Kereta yang akan kami naiki ialah Kereta Api Patas Merak. Berangkat dari Stasiun Duri dan berakhir di Stasiun Merak, Banten. Ternyata kereta molor setengah jam. Kereta datang pukul 8 pagi. Sangat banyak penumpang lain yang akan menggunakan kereta yang sama. Begitu kereta tiba, seluruh penumpang langsung berjejalan untuk masuk. Sistem di kereta ini adalah untung-untungan. Jika beruntung, maka kita bisa dapat tempat duduk. Kalau tidak, ya harus berdiri atau lesehan sampai stasiun tujuan. Karena kami berangkat dari Stasiun Kebayoran, sudah pasti kursi terisi penuh. Akhirnya kami memilih lesehan saja. Lumayan lah, pegel dikit gak masalah, yang penting suasana kebersamaannya tetap ada. Perjalanan ke Stasiun Rangkasbitung membutuhkan waktu sekitar empat jam. Kami akhirnya sampai di Rangkasbitung pukul sepuluh pagi.


Untuk menuju ke Baduy Dalam, wisatawan tidak boleh datang begitu saja. Rizky telah menghubungi Kang Emen. Kang Emen ini merupakan warga Baduy Luar. Pakaiannya sudah cukup modern, memakai jaket jeans, namun tetap menggunakan kain khas Baduy Luar. Kang Emen memang sudah biasa melayani wisatawan yang akan berkunjung ke Baduy. Dia menjadi penghubung antara Baduy dengan dunia luar. Setelah bertemu Kang Emen, kemudian kami mencari mobil yang sudah dipesan. Mobil ini merupakan mobil elf. Cukup untuk menampung lima belas orang. Lumayan banyak juga wisatawan yang akan mengunjungi Baduy pada saat itu. Saya melihat ada tiga rombongan lain di Stasiun Rangkasbitung.

Ada tiga jalur untuk menuju ke Baduy. Pertama, melalui Cijahe. Jalur Cijahe lebih pendek (3,2 km). Kedua, melalui Ciboleger. Di sini, wisatawan dapat melihat sebuah danau, namun waktu tempuh terkking-nya sekitar 6 jam. Ketiga, melalui Citarik. Rute ini sering disebut rute jembatan akar, karena memang ada jembatan akar yang dapat kita lihat di jalur ini. Waktu tempuhnya juga hampir sama dengan rute Ciboleger. Kami sepakat untuk datang melalui Cijahe dan pulang melewati rute jembatan akar.


Jarak Rangkasbitung ke Cijahe sekitar 40 km. Jalan yang kami lalui hancur di sana-sini. Banyak jalan yang tidak diaspal. Meskipun jalan ini merupakan jalan kabupaten, levelnya tidak lebih baik dari jalan desa. Jalannya hancur luar biasa. Maklum, Kabupaten Lebak merupakan salah satu dari 183 daerah tertinggal di Indonesia. Tapi Provinsi Banten memang seperti itu. Banten tergolong Provinsi kaya, namun infrastrukturnya terbengkalai. Sepanjang jalan, saya tidak bisa tidur karena mobil terus berguncang karena jalan yang rusak. Saya menghitung, mungkin sekitar 70 persen jalan yang dilalui dalam kondisi rusak.

Perjalanan dari Rangkasbitung ke Cijahe memakan waktu sekitar tiga jam. Sekitar jam satu siang, kami sampai di Cijahe. Di sini, rombongan kami sudah disambut oleh warga Baduy Dalam. Mereka semua sangat ramah dan sudah terbiasa dengan wisatawan.





Dari Cijahe, kami harus trekking sejauh 3,2 km menuju ke Kampung Cibeo. Kampung Cibeo memang biasa dijadikan tempat wisatawan untuk menginap. Rombongan kami ditemani oleh tiga orang Baduy Dalam, yaitu Kang Sapri, Kang Herman, dan Kang Sani.

Dari kiri ke kanan: Kang Sapri, Kang Herman, dan Kang Sani

Trekking ke Cibeo kami mulai sekitar pukul setengah dua siang. Trek yang dilalui sebetulnya tidak begitu berat. Masih dapat dilalui dengan menggunakan sendal gunung. Kami melewati perbukitan. Kadang harus berjalan menanjak, dan kadang mendapat bonus jalan menurun. Kami melewati beberapa sungai. Airnya masih mengalir cukup deras. Padahal, sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim kemarau berkepanjangan. Itu dia! Karena masih menjaga hutan, debit air di wilayah Baduy masih terjaga.

 Bersama dedek-dedek STP Sahid

 Rizky, si tour leader


Aku ingin mengejar bayanganku, apa daya tidak sanggup :p

 Sesekali, terdapat tanjakan jahat :v

Melewati lahan yang selesai dibakar

Ini merupakan sungai pembatas wilayah Baduy Luar dan Baduy Dalam. Di Baduy Dalam, sudah tidak diperkenankan untuk memotret.

Trekking dari Cijahe ke Cibeo membutuhkan waktu yang tidak terlalu lama. Sekitar pukul tiga sore, akhirnya kami sampai di Cibeo. Kami menginap di rumah Kang Sapri. Kang Sapri sudah terbiasa menerima wisatawan di rumahnya. Rumahnya cukup luas. Cukup untuk menampung dua puluh orang.

Di sekitar rumah Kang Sapri, terdapat beberapa penjaja cinderamata. Beberapa dari mereka menggunakan pakaian kaos, menandakan mereka bukan orang Baduy Dalam. Ada juga rumah yang membuka warung untuk kebutuhan wisatawan. Saya menyempatkan diri untuk membeli cinderamata, yaitu jarog (tas dari kulit kayu), ikat kepala khas Baduy, dan kain khas Baduy.

Jarog (Rp30 ribu)

Kain Khas Baduy (Rp50 ribu)

Ikat Kepala Khas Baduy (Rp50 ribu)

Di kampung Baduy, tidak ada kamar mandi konvensional. Yang ada hanyalah kamar mandi alam. Yak, kami harus ke sungai jika ingin mandi. Ini dia yang saya cari-cari. Saya lebih suka mandi di alam bebas daripada mandi di kamar mandi. Saya, Rizky, dan Padri mandi di sungai. Rombongan perempuan juga mandi di sungai yang sama, namun lokasinya agak berjauhan, sehingga tetap aman (hehehehe). 

Sungai hanya berjarak tiga puluh detik berjalan kaki dari rumah Kang Sapri. Meskipun musim kemarau, debit air di sungai masih deras. Luar biasa. Karena hutan di hulu masih asri, air pun terjamin. Airnya segar dan banyak ikan-ikan kecil di dalamnya. 

Rumah Kang Sapri ini sebetulnya ditempati oleh delapan orang, yaitu Kang Sapri, istri Kang Sapri, empat orang anak Kang Sapri, dan dua orangtua Kang Sapri. Meskipun demikian, keluarga mereka sangat ramah menyambut tamu dari luar. Menjelang sore hari, mulai banyak warga Baduy yang bermunculan. Mereka baru saja pulang dari ladang, baik laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mereka memang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di ladang, dari pagi sampai sore. Jika dilihat-lihat, orang Baduy memang kece-kece. Laki-lakinya ganteng dan perempuannya cantik. Anak perempuan Kang Sapri yang berumur delapan tahun ada yang cantik sekali, mirip orang Thailand hehehe. 

Saat malam hari, aktivitas diisi dengan tanya jawab dengan Kang Sapri. Teman-teman sangat penasaran dengan suku Baduy. Segala hal tentang suku Baduy dikupas tuntas pada malam itu. Kang Sapri sangat terbuka dan menjawab semua pertanyaan dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Berikut ini adalah aspek-aspek kehidupan suku Baduy, berdasarkan pengamatan pribadi, wawancara dengan penduduk asli, dan riset akademik:

1. Kependudukan
Berdasarkan data Pemerintah Desa Kanekes tahun 2009, penduduk Baduy berjumlah 11.172 jiwa. Di Baduy Dalam terdapat 1.083 jiwa (281 kepala keluarga). Di Baduy Luar, terdapat 10.089 jiwa (2.667 kepala keluarga). Berdasarkan umur, penduduk Baduy dibagi berdasarkan tiga kelompok, yaitu: produktif (50 persen), anak-anak (30 persen), dan lansia (20 persen).

2. Kepercayaan
Orang Baduy menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, penganutnya memercayai adanya satu kuasa, yakni Batara Tunggal. Orang Baduy percaya akan adanya kehidupan, kematian, sakit, dan nasib yang telah diatur oleh Sang Hyang Batara Tunggal. Masyarakat Baduy juga memercayai kekuatan gaib dari nenek moyang mereka. Masyarakat Baduy tetap menjaga toleransi terhadap kepercayaan lain yang ada di luar kelompoknya.

Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan tinggal di pusat bumi. Terdapat pemimpin tertinggi adat yang disebut puunPuun diyakini sebagai penguasa agama Sunda Wiwitan yang harus ditaati perintahnya (Senoaji, 2011).

3. Pemerintahan
Masyarakat Baduy memiliki dua struktur pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan sistem pemerintahan adat. Kedua sistem pemerintahan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak saling berbenturan. Berikut ini adalah struktur pemerintahan yang dianut masyarakat Baduy.

Sumber: Bina Karta Lestari Foundation (2006).

Untuk urusan pemerintahan internal Baduy, terdapat puun yang merupakan pemimpin tertinggi dalam sistem adat Baduy. Puun hanya terdapat di tiga kampung di Baduy Dalam. Puun lebih bertugas mengurus masalah gaib. Jabatan puun ditentukan berdasarkan keturunan. Dalam melaksanakan tugas, puun dibantu oleh baresan (penasihat), girang seurat (pembantu umum), dan tangkesan (kepala dukun untuk urusan kesehatan). Untuk melaksanakan sistem adat sehari-hari, ditugaskan jaro tangtu (Baduy Dalam) dan jaro dua belas (Baduy Luar). Berbeda dengan puun  yang mengurus masalah gaib, jaro tangtu mengurus masalah duniawi.

Terdapat pula struktur pemerintahan berdasarkan struktur pemerintahan nasional. Jaro pamarentah berfungsi sebagai penghubung antara internal Baduy dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sehari-hari, jaro pamarentah berhubungan dengan Camat Leuwidamar. Jaro pamarentah dibantu oleh pangiwa dan carik serta kokolot lembur.

Suku Baduy memang menghormati dan mengakui keberadaan Pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan terhadap Pemerintah Indonesia, setiap akhir tahun diadakan Upacara Seba kepada Bupati Lebak, Camat Leuwidamar, dan Gubernur Banten.


4. Pendidikan
Adat Baduy melarang anggotanya untuk bersekolah. Masyarakat Baduy mendidik masyarakatnya bukan untuk menjadi pintar, melainkan untuk menjadi jujur. Mereka berpendapat bahwa orang pintar identik dengan modernitas, sehingga orang pintar berpotensi melakukan perubahan di lingkungan Baduy. Tidak ada pendidikan formal layaknya di tempat lain. Meskipun demikian, sebagian masyarakat yang saya temui sudah pandai berbahasa Indonesia dan berhitung. Beberapa guide yang mengantar kami juga sangat nyambung apabila diajak mengobrol dengan bahasa Indonesia. Mereka bahkan sudah mengetahui beberapa istilah asing seperti kepo, PHP (pemberi harapan palsu), dan CSR (Corporate Social Responsibility). Hal itu dipengaruhi juga oleh interaksi dengan orang luar.

Menurut Kang Sapri, guru yang mendidik orang Baduy ialah orang tua mereka sendiri. Sejak kecil, orangtua mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak mereka. Hal itu kemudian diturunkan dan dilestarikan kepada anak cucu mereka.

5. Pernikahan
Orang Baduy menganut sistem pernikahan monogami. Mereka hanya menikah dengan satu pasangan saja (tidak poligini atau poliandri). Kang Sapri menyatakan bahwa orang Baduy menikah terlebih dahulu, kemudian baru pacaran. Hal itu dilakukan untuk menghindari zinah. Orang Baduy juga menghindari yang namanya perceraian. Bagi mereka, perceraian dipandang sebagai kematian. Apabila ingin bercerai, maka orang Baduy harus keluar dari kampungnya (Suhadi, 2012). Sampai saat ini, belum ditemukan adanya perceraian di masyarakat Baduy.

6. Pembagian Peran antara Laki-laki dan Perempuan
Terdapat pembagian peran antara laki-laki dan perempuan di suku Baduy. Pada intinya, perempuan lebih banyak mengurus urusan rumah tangga. Pada masa saat mereka tidak berladang, laki-laki Baduy pergi ke hutan untuk berburu dan memanen madu, sedangkan kaum perempuan menenun kain dan mengurus rumah. Dalam membuat kerajinan, terdapat pula pembagian peran. Kaum perempuan bertugas membuat kain dan pakaian. Kaum laki-laki bertugas membuat parang dan jarog (tas dari kulit kayu).

Tugas berladang diemban oleh laki-laki. Meskipun demikian, kaum perempuan membantu kaum laki-laki untuk berladang. Berladang dilakukan secara gotong-royong oleh setiap anggota keluarga. Dalam menanam padi misalnya. Laki-laki menugal tanah. Kemudian, perempuan mengikuti di belakangnya sambil mengisi tugalan tanah dengan bibit padi (Senoaji, 2011).

7. Perekonomian
Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas ekonomi hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat Baduy tergolong masyarakat subsisten (dapat mencukupi kebutuhan diri mereka sendiri). Kebutuhan sehari-hari diproduksi dan dikonsumsi sendiri. Mereka melakukan aktivitas ekonomi hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan sendiri, bukan untuk memperkaya diri (Bina Karta Lestari Foundation, 2006).

Masyarakat Baduy menganut sistem perekonomian barter. Semenjak banyaknya interaksi dengan wisatawan dan orang luar, mereka mulai mengenal uang konvensional. Untuk mendapat penghidupan, orang Baduy biasa menjual hasil tani, madu, dan kerajinan tangan (kain tenun, ikat kepala, dsb) kepada wisatawan atau orang luar. Dari hasil menjual barang tersebut, mereka dapat memenuhi kebutuhan yang tidak dapat mereka produksi sendiri seperti garam, ikan asin, atau bumbu masakan.

8. Pertanian
Lahan pertanian merupakan lahan terluas di wilayah Baduy. Sekitar 50,67 persen lahan digunakan untuk pertanian (Suparmini dan Sumunar, 2013). Orang Baduy hanya mengenal sistem pertanian ladang. Orang Baduy menyebut ladang sebagai huma. Padi merupakan komoditas pertanian utama. Selain sebagai makanan pokok, padi merupakan tanaman yang dianggap mulia (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011). Masyarakat Sunda di Banten dan Jawa Barat menghormati padi karena dipercaya sebagai penjelmaan Nyi Pohaci Sanghyang Asri atau Dewi Padi.

Ada lima larangan bagi orang Baduy dalam melakukan aktivitas pertanian, yaitu (Suparmini dan Sumunar, 2013):
-Dilarang menggunakan cangkul saat mengolah tanah
-Dilarang menanam singkong
-Dilarang menggunakan bahan kimia untuk memberantas hama. Pemberantasan hama dan pemupukan tanaman dilakukan secara tradisional
-Dilarang pergi ke ladang pada hari Senin, Kamis, dan Sabtu.
-Dilarang membuka ladang di leuweng atau hutan tutupan dan dilarang membuka lahan di hutan kampung

Orang Baduy sama sekali tidak boleh mengubah bentuk tanah ketika bertani. Berbeda dengan orang Baduy Luar yang sudah membuat terasering. Untuk urusan irigasi, mereka hanya mengandalkan air hujan. Orang Baduy juga membakar lahan, namun mereka melakukannya secara bijak. Api tidak dibiarkan menjalar kemana-mana. Selain itu, mereka akan memastikan api telah benar-benar padam ketika meninggalkan lahan. Berbeda dengan beberapa perusahaan sawit di Sumatra dan Kalimantan membakar hutan secara tidak bijak, sehingga mengakibatkan bencana kabut asap.

Lahan yang Selesai Dibakar di Wilayah Baduy Luar

Orang Baduy menyimpan bibit padi atau hasil panen padi mereka di sebuah lumbung yang dinamakan leuit. Leuit dibuat seperti rumah panggung, sehingga aman dari hama tikus.


Setiap anggota keluarga memiliki leuit. Satu keluarga dapat memiliki sampai tiga leuit. Pembangunan leuit harus dengan seijin kepala adat.

9. Kearifan Lokal Orang Baduy dalam Hubungan Sosial
Masyarakat Baduy tergolong sebagai masyarakat yang mandiri. Hal tersebut dipengaruhi oleh atdat mereka yang melarang segala hal yang berkaitan dengan modernitas. Hal tersebut membuat mereka tidak bergantung terhadap orang luar. Mereka menghasilkan sendiri sebagian besar kebutuhan hidup mereka. Menurut Kang Sapri, sudah banyak pihak yang menawarkan bantuan kepada komunitas Baduy, baik dari Pemerintah maupun perusahaan. Meskipun demikian, mereka menolak bantuan dari luar sebagai wujud kemandirian dan kemurnian adat.

Meskipun menolak modernisasi, namun masyarakat Baduy tetap menjunjung tinggi toleransi terhadap kelompok lain. Mereka tetap menghargai masyarakat yang telah tersentuh modernisasi. Masyarakat Baduy juga dikenal pantang merugikan orang lain. Dalam urusan ekonomi misalnya. Mereka tidak pernah melakukan tawar-menawar ketika berbelanja di pasar.

Masyarakat Baduy tergolong masyarakat komunal. Gotong-royong merupakan jalan kehidupan mereka. Mereka lebih mengutamakan kepentingan kelompok ketimbang kepentingan pribadi (Setyawati dan Sumunar, 2013). Urusan pembangunan dilakukan secara bersama-sama. Tidak ada kesenjangan sosial dan ekonomi di antara masyarakat Baduy.

10. Kearifan Lokal Orang Baduy dalam Menjaga Lingkungan
Orang Baduy sudah terbukti berhasil dalam menjaga hutan di Pegunungan Kendeng. Sekitar 120 sungai dan mata air tetap terjaga debit airnya. Manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang Baduy, namun juga penduduk yang tinggal di wilayah Provinsi Banten. Atas jasa tersebut, suku Baduy diberi penghargaan Kehati Award 2004 untuk kategori "Prakarsa lestari Kehati" dari Yayasan Kehati (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011). Orang Baduy melakukan pembakaran hutan, namun tidak pernah terjadi bencana kebakaran hutan. Banyak rumah penduduk yang dekat dengan sungai, namun tidak pernah terjadi bencana banjir (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011).


Sekitar 48,85 persen wilayah Baduy merupakan hutan lindung, sisanya dijadikan lahan pertanian dan permukiman. Kesetiaan orang Baduy dalam menjaga lingkungan diilhami dari ajaran Sunda Wiwitan. Dalam ajaran tersebut, orang Baduy percaya bahwa mereka diciptakan untuk menjaga tanah larangan yang merupakan pusat bumi. Mereka dituntut untuk menyelamatkan hutan tutupan dengan menerapkan pola hidup sesuai adat (Senoaji, 2011). Jika tidak menjaga hutan, mereka percaya bahwa akan terjadi bencana besar di seluruh daerah. Ada beberapa ajaran dalam Sunda Wiwitan, yaitu: "tanpa perubahan apapun" dan "perubahan sesedikit mungkin" (Bina Karta Lestari Foundation, 2006). Hal itulah yang mengilhami orang Baduy untuk menjaga lingkungan mereka.

Hal ulayat suku Baduy terhadap tanahnya telah diatur oleh Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Lebak Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy. Orang Baduy berhak atas tanah di Desa Kanekes. Daerah tersebut merupakan daerah hutan berbukit yang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng, dengan batas sebagai berikut:
-Utara: Sungai Ciujung
-Selatan: Sungai Cidikit
-Barat: Sungai Cibarani
-Timur: Sungai Cisimeut


Masyarakat Baduy menjaga hutan dengan cara membaginya menjadi tiga bagian, yaitu hutan larangan, hutan dudungusan, dan hutan garapan (Permana, Nasution, dan Gunawijaya, 2011). Hutan larangan  adalah hutan lindung yang mana tidak boleh sembarangan orang memasukinya, bahkan kepala adat sekalipun.  Di hutan larangan, terdapat terdapat Sasaka Domas yang menjadi tempat suci orang Baduy. Diyakini, di sinilah tempat berkumpul para leluhur dan tempat awal terciptanya dunia. Hutan dudungusan adalah hutan yang dilestarikan karena berada di hulu sungai atau diyakini terdapat tempat keramat di dalamnya. Hutan garapan adalah hutan yang diperbolehkan dijadikan ladang oleh masyarakat Baduy.


Itulah aspek-aspek kehidupan orang Baduy. Nilai-nilai kearifan lokalnya dapat kita tiru untuk kehidupan yang lebih baik. Baiklah, kita kembali ke kisah perjalanan. Memasuki malam, Kang Sapri dan keluarganya muai tidur. Mereka harus bangun pagi untuk bekerja di ladang. Kami pun juga tidur, karena esok pagi harus pulang ke Jakarta. Suhu saat malam hari di sini ternyata sangat dingin. Bagi yang ingin ke Baduy, jangan lupa membawa kantung tidur. Saya tidak membawa kantung tidur karena mengira bahwa daerah Baduy tidak akan sedingin ini hihihihi (jangan ditiru ya).

Hari mulai berganti. Hari Minggu, 11 Oktober 2015, kami bangun pukul lima pagi. Warga asli Baduy sudah bangun terlebih dahulu. Mereka sedari pagi sudah harus pergi ke ladang. Ada hal yang cukup unik. Ketika warga ingin ke ladang, mereka berpamitan sambil menjabat tangan para wisatawan. Padahal, daerah itu merupakan tempat mereka, namun mereka tetap meminta ijin kepada orang luar ketika ingin berpergian. Sungguh sangat berbeda dengan perilaku orang kota. Mereka langsung nyelonong saja jika ingin berpergian. Budaya permisi juga sudah jarang ditemukan di daerah perkotaan.

Rombongan kami telah memutuskan untuk pulang pada pukul tujuh pagi. Sesuai aturan, wisatawan memang tidak boleh menginap lebih dari dua hari. Kami juga tidak ingin berlama-lama di tempat ini. Meskipun suasana di Baduy sangat nyaman (baik alam dan masyarakatnya), namun kami sadar bahwa kedatangan kami di tempat ini pasti akan mengganggu kehidupan warga asli. Sebelum pulang, kami berpamitan kepada pemilik rumah dan beberapa warga sekitar. Kami juga tidak lupa menyantap sarapan untuk mengisi tenaga. Sesuai rencana, kami akan melewati rute jembatan akar dan akan membutuhkan waktu 6-7 jam berjalan kaki.

Kami mulai trekking pada pukul tujuh pagi. Kami kembali ditemani oleh Kang Sapri, Kang Herman, dan Kang Sani. Rencananya mereka bertiga juga ingin ke Jakarta, dengan berjalan kaki. Mereka ingin ke Cinere, mengantarkan kain pesanan kenalannya. Orang Baduy memang suka berjalan kaki ke Jakarta dan menginap di rumah para wisatawan yang pernah berkunjung ke Baduy. Dibutuhkan waktu dua hari untuk berjalan kaki ke Jakarta. Menurut Kang Sani, mereka juga suka berjalan kaki jauh karena bete. Mereka butuh jalan-jalan untuk mengobati penat. Kalau tidak menginap di rumah kenalan, mereka biasanya juga menyewa penginapan. Waw. Saya bisa menyimpulkan bahwa semua orang, baik dari masyarakat perkotaan ataupun masyarakat adat, mereka tetap membutuhkan jalan-jalan untuk mengobati penat. Hanya berbeda caranya. Orang kota menggunakan kendaraan, sedangkan orang Baduy berjalan kaki.

Rute jembatan akar lebih panjang daripada rute Cijahe. Treknya juga lebih sulit. Disarankan agar wisatawan menggunakan sepatu trekking. Jangan seperti saya yang hanya menggunakan sandal gunung. Jalan yang dilalui sangat licin karena habis diguyur hujan. Meskipun demikian, pemandangan yang ada di rute ini lebih menarik. Kita dapat melihat hutan hujan tropis dan mendengar suara burung yang berkicauan. Sungguh alam yang masih terjaga. Pemandangannya mirip-mirip dengan rute untuk menuju Danau Gunungtujuh, Jambi.

Setelah melewati perbatasan Baduy Dalam-Baduy Luar, akhirnya saya bisa mengeluarkan "senjata" saya, yaitu kamera. Sayang sekali apabila kebersamaan ini tidak diabadikan.






Di tengah perjalanan, kami berhenti di satu titik yang lumayan indah. Dari titik ini, kita dapat melihat Sungai Cisimeut. Meskipun kemarau, air sungai mengalir dengan deras. Kemungkinan besar terjadi hujan di daerah hulu, karena air berwarna keruh. Banyak juga rombongan lain yang kami temui.



Tidak jauh dari titik tadi, akhirnya kami sampai di jembatan akar. Ramai sekali orang yang berfoto di sini. Jembatan ini tidak begitu lebar, namun lumayan ramai yang menaiki.


Setelah dari jembatan akar, kami lanjut jalan. Ada beberapa kampung Baduy Luar yang saya temui. Lumayan menarik untuk melihat aktivitas mereka.

Seorang kakek membawa batang kayu yang mungkin beratnya mencapai 50 kg

Aktivitas ibu-ibu menumbuk padi




Setelah berjalan selama enam jam, akhirnya rombongan kami sampai di Citarik. Tak lama, mobil carteran kami juga datang.



Sungguh pengalaman dua hari satu malam yang luar biasa. Kami dapat belajar banyak dari orang Baduy. Bagi saya pribadi, Baduy bukan sekedar nama suku. Baduy juga merupakan tata cara hidup (way of life). Nilai-nilai kearifan lokal Baduy dapat diadopsi oleh masyarakat yang lainnya. Sudah banyak manusia serakah di Indonesia atau di seluruh dunia yang mengorbankan alam demi kepentingan perut mereka sendiri. Kami perlu sebuah nilai luhur untuk menjaga alam. Terima kasih Baduy......

Rujukan:
Adimihardja, K. (2000). Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia Air Pemelihara Sungai. Jurnal Antropologi Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, hal 47-59.

Bina Karta Lestari Foundation. (2006). Kehidupan Berkelanjutan Masyarakat Suku Baduy. Asia Good ESD Practice Project.

Garna, Y. (1993). Masyarakat Baduy di Banten, dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Departemen Sosial dan Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial, Gramedia Pustaka Utama.

Permana, Raden Cecep Eka, Nasution, Isman Pratama, dan Gunawijaya, Jajang. (2011). Kearifan Lokal Tentang Mitigasi Bencana pada Masyarakat Baduy. Makara, Sosial Humaniora, Vol. 15, No. 1, Juli 2011: 67-76.

Senoaji, Gunggung. (2011). Perilaku Masyarakat Baduy dalam Mengelola Hutan, Lahan, dan Lingkungan di Banten Selatan. Humaniora, Volume 23, No. 1, Februari 2011, halaman 14-25.

Suhadi. (2012). Etika Masyarakat Baduy Sebagai Inspirasi Pembangunan. Komunitas 4 (1) (2012): 65-72.

Suparmini, Sriadi Setyawati dan Sumunar, Dyah Respati Suryo. (2013). Pelestarian Lingkungan Masyarakat Baduy Berbasis Kearifan Lokal. Jurnal Penelitian Humaniora, Vol. 18, No. 1, April 2013: 8-22.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar