Tahun 2014, Indonesia sukses melaksanakan pesta demokrasi. Terlepas dari ganasnya rivalitas politik, akhirnya Indonesia memiliki Presiden baru. Joko Widodo resmi terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-7. Presiden kemudian membentuk Kabinet Kerja untuk mewujudkan visi dan misinya.
Pemerintahan di negara manapun pasti
memiliki sebuah visi yang ingin diwujudkan. Di Pemerintahan Kabinet Kerja, ada
sebuah visi penting yang dapat dikatakan “baru”. Visi tersebut adalah visi
maritim. Presiden Joko Widodo ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim
dunia. Visi ini dapat dikatakan “baru”. Meskipun Indonesia merupakan negara
kepulauan, pembangunan sektor kelautan masih diposisikan sebagai sektor
pinggiran. Menurut saya pribadi, siapapun yang terpilih menjadi Presiden, visi
maritim tetap harus diwujudkan.
Sudah tujuh Presiden yang dimiliki
Indonesia, dan baru kali ini ada seorang Presiden yang ingin menjadikan
Indonesia sebagai poros maritim dunia. Terlepas dari fisibilitas visi tersebut,
sudah sepantasnya Indonesia mencanangkan diri untuk menjadi poros maritim
dunia. Berikut ini adalah pidato Joko Widodo saat dilantik sebagai Presiden
tanggal 20 Oktober 2014:
“Kita telah terlalu lama memunggungi laut,
memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk, dan kini saatnya kita
mengembalikan semuanya sehingga ‘Jalesveva Jayamahe’, di laut justru kita jaya,
sebagaimana semboyan kita di masa lalu, bisa kembali.”
Joko Widodo, saat
berpidato di Gedung MPR/DPR
www.lebahmaster.com
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Luas wilayah laut Indonesia
sebesar 5,8 juta km² dan luas daratannya sebesar 1,9 juta km². Sekitar 2/3
wilayah Indonesia adalah laut. Selain itu, Indonesia memiliki kurang lebih
17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Rompas, 2011: xv). Laut
Indonesia memiliki potensi kekayaan yang melimpah. Posisi geografis kepulauan
Indonesia sangat strategis karena terletak di antara dua benua dan dua
samudera. Hal ini menandakan bahwa laut memiliki peran yang signifikan bagi
masyarakat Indonesia.
Peta Indonesia
patriotgaruda.com
Pembangunan Indonesia selama beberapa
dekade memang difokuskan di wilayah daratan. Sebagai negara kepulauan,
semestinya pembangunan di Indonesia dilandaskan pada pembangunan maritim.
Banyak yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara maritim, karena memiliki laut yang luas. Hal itu
sebetulnya keliru. Negara maritim adalah negara yang mampu menguasai lautan. Ada
lima elemen dalam membangun negara maritim sebagaimana saya kutip dari buku
Indroyono Soesilo yang berjudul “Iptek untuk Laut Indonesia”. Kelima
elemen itu adalah:
(1) wawasan kelautan,
(2) kedaulatan nyata di laut,
(3) industri kelautan yang kuat,
(4) tata ruang kelautan yang benar, dan
(5) sistem hukum kelautan yang lengkap dan
terpadu.
Negara Indonesia yang sekarang bukanlah
negara maritim. Padahal, dahulu kala, Bangsa Indonesia pernah mencicipi
kejayaan melalui pembangunan maritimnya. Indonesia pernah memiliki dua kerajaan
besar yang makmur karena pembangunan maritim, yaitu Sriwijaya dan Majapahit.
Setelah kedua kerajaan tersebut berakhir, kejayaan maritim mulai memudar.
Masuknya penjajah Belanda juga semakin menghilangkan budaya maritim Bangsa
Indonesia. Belanda menggiring masyarakat Indonesia ke daratan dan melupakan
laut.
SEJARAH PEMBANGUNAN MARITIM DI INDONESIA
Berikut ini, akan saya jelaskan secara
singkat sejarah maritim di Indonesia:
Era Prasejarah
Dilihat dari aspek sejarah, sejak dahulu
Bangsa Indonesia memiliki ikatan emosional yang kuat dengan laut. Sejarah
mencatat bahwa budaya bahari Bangsa Indonesia sudah lahir pada tahun 10.000 SM
(indomaritimeinstitute.org, 2010). Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau
Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan
bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut. Selain itu,
ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia
dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan
dengan bangsa lain dengan menggunakan kapal layar.
Lukisan Perahu di Gua
Metanduno, Pulau Muna
kebudayaan.kemdikbud.go.id
Era Kerajaan Sriwijaya (Tahun 683–1030)
Kerajaan Sriwijaya merupakan Kerajaan
Budha yang jaya di abad ke-7. Kerajaan ini berpusat di Palembang dan Jambi.
Pada masa jayanya, Sriwijaya menguasai Sumatra Sumatra, Jawa bagian barat,
Kalimantan bagain barat, Pulau Bangka, Pulau Belitung, Singapura, dan
Semenanjung Malaya. Wilayahnya yang luas menjadikan Sriwijaya sering disebut
sebagai Negara Kesatuan Pertama.
Sriwijaya sangat serius membangun sektor
maritimnya. Wilayah pesisir timur Sumatra pada saat itu merupakan pelabuhan
yang sangat ramai. Sriwijaya menguasai jalur perdagangan laut internasional,
yaitu Selat Malaka. Hubungan dagang dengan Tiongkok dan India intensif
dilakukan. Untuk menjaga teritori lautnya, Seriwijaya memperkuat armada
lautnya. Sriwijaya memperoleh keuntungan yang besar dari pajak, upeti, dan
perdagangan komoditas.
Pada abad ke-11, era keemasan Sriwijaya
mulai memudar. Kala itu, Kerajaan Chola dari India melakukan serangan
besar-besaran untuk menaklukkan Sriwijaya. Hal itu menyebabkan Sriwijaya
kehilangan kendali atas jalur perdagangan internasional.
Ilustrasi Mengenai
Kerajaan Sriwijaya
assets.kompas.com
Era Kerajaan Majapahit (Tahun 1293-1527)
Majapahit merupakan Kerajaan Hindu-Budha
yang jaya pada abad ke-14. Kerajaan ini didirikan oleh Raden Wijaya dan meraih
kejayaan di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gadjah Mada.
Majapahit menguasai wilayah yang luas. Masih menjadi perdebatan di kalangan
sejarawan mengenai wilayah kekuasaan Majapahit. Menurut Kitab Negarakertagama,
wilayah Majapahit mencakup Jawa, Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaya,
Thailand bagian selatan, Nusa Tenggara, hingga kepulauan Maluku (Muljana,
2005). Begitu luasnya wilayah Majapahit sehingga dijuluki sebagai Negara
Kesatuan Kedua setelah Sriwijaya.
Majapahit jaya karena berhasil membangun
sektor maritimnya. Armada laut yang kuat menjadi kunci bagi Majapahit dalam
menyatukan wilayah Nusantara. Majapahit berhasil mengembangkan teknologi
perkapalan, yaitu perahu bercadik. Majapahit berhasil pula menguasai jalur
perdagangan internasional, yaitu Laut Jawa. Selain itu, Raja Hayam Wuruk
berhasil membangun politik diplomasi dengan Kerajaan-kerajaan di sekitarnya.
Majapahit mulai kehilangan pengaruh
setelah Raja Hayam Wuruk wafat. Terjadi perang saudara di internal Kerajaan
untuk memperebutkan kekuasaan. Serangan Kerajaan Demak pada abad ke-16 semakin
mempertegas kehancuran Majapahit.
Wilayah Kerajaan
Majapahit
upload.wikimedia.org
Era VOC (Tahun 1602-1800)
VOC atau Verenigde Oostindische
Compagnie adalah perusahaan dagang Belanda yang beroperasi di wilayah
Hindia-Belanda. Di masa ini, Bangsa Indonesia sudah mulai dipisahkan dari laut
oleh Belanda. Hal ini dapat dilihat dari adanya Perjanjian Giyanti pada tahun
1755.
Perjanjian Giyanti adalah adalah
perjanjian antara VOC, Kerajaan Surakarta, dan Kerajaan Yogyakarta. Salah satu
isi Perjanjian Giyanti adalah:
“Kerajaan Surakarta dan Kerajaan
Yogyakarta harus menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi, dan rempah-rempah
kepada pihak Belanda.”
Melalui Perjanjian ini, kedua Kerajaan
hanya berhak menghasilkan komoditas pertanian. Mereka tidak dapat
memperdagangkannya melalui laut. Akses masyarakat ke laut menjadi terputus. Hal
ini menjadi titik awal pemisahan Bangsa Indonesia dengan laut.
Era Tanam Paksa (Tahun 1830-1870)
Tanam Paksa atau cultuurstelsel merupakan
kebijakan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Johannes van den Bosch yang
mewajibkan penduduk untuk menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi
ekspor. Kebijakan ini dikeluarkan karena Belanda membutuhkan biaya besar
setelah kalah perang di Eropa. Kebijakan ini membuat masyarakat Indonesia
“digiring” ke daratan untuk mengurus lahan pertanian dan perkebunan. Masyarakat
tidak lagi mengurus laut, namun hanya mengurus sektor agraris.
Sejak saat itu, budaya maritim sudah
memudar di kalangan masyarakat Indonesia. Laut tidak lagi dianggap sebagai
beranda depan, melainkan sebagai pemisah daratan. Laut bukan lagi tempat
bermain, melainkan dianggap daerah yang menakutkan.
Tanam Paksa di Pulau
Jawa
upload.wikimedia.org
Era Pascakemerdekaan (1945-1965)
17 Agustus 1945, Proklamasi berhasil
didengungkan dan Negara Indonesia resmi berdiri. Bung Karno menjadi Presiden
pertama Indonesia. Pembangunan maritim mulai digagas oleh Bung Karno. Bung
Karno memiliki slogan, yaitu cakrawatu samudra. Artinya, jiwa yang berani
mengarungi samudra. Salah satu pencapaian penting pada masa ini adalah
dicetuskannya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957. Deklarasi Juanda
merupakan salah satu langkah untuk kembali menanamkan budaya maritim. Laut
kembali dimasukkan sebagai wilayah pembangunan. Deklarasi Juanda juga merupakan
salah satu keberhasilan diplomasi internasional kala itu.
Berikut ini adalah isi Deklarasi Juanda:
1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai
negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri.
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan
nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan.
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang
Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi
tersebut mengandung suatu tujuan:
-Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan
Republik Indonesia yang utuh dan bulat.
-Untuk menentukan batas-batas wilayah
NKRI, sesuai dengan azas negara Kepulauan.
-Untuk mengatur lalu lintas damai
pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan
keselamatan NKRI.
Langkah Bung Karno untuk membangun sektor
maritim juga dapat dilihat dari pembentukan Dewan Maritim dalam Kabinet Dwikora
pada tahun 1960. Selain itu, dibentuk pula Kementerian Koordinator Bidang
Maritim.
rajasamudera.com
Era Orde Baru (Tahun 1966-1998)
Era kepemimpinan Bung Karno berakhir dan
digantikan oleh Mayor Jenderal Soeharto dari Angkatan Darat. Di era Soeharto,
pembangunan maritim kembali dilupakan, sama seperti di era kolonial Belanda.
Soeharto menghapus Kementerian Koordinator Bidang Maritim yang telah dibangun
Bung Karno. Pembangunan kembali diarahkan ke sektor agraris. Dengan bangganya
Indonesia menyebut diri sebagai penghasil komoditas pertanian besar dunia,
namun sektor maritim dianaktirikan.
Meskipun demikian, terdapat sebuah
pencapaian penting mengenai maritim di era Orde Baru, yaitu disahkannya United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tahun 1982.
UNCLOS merupakan salah satu keberhasilan diplomasi Indonesia yang telah
diperjuangkan sejak dicetuskannya Deklarasi Juanda. UNCLOS mengatur mengenai
kepemilikan suatu negara terhadap wilayah laut. Dalam UNCLOS, diatur bahwa
sebuah negara pantai berhak atas laut teritorial sejauh 12 mil laut, zona
tambahan sejauh 24 mil laut, zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut, dan
landas kontinen (dasar laut) sejauh 350 mil laut atau lebih.
le-mot-juste-en-anglais.typepad.com
Era Reformasi (Tahun 1998-sekarang)
Pengembalian jati diri Bangsa Indonesia
sebagai bangsa maritim mendapatkan titik terang di era reformasi ini.
Pemimpin-pemimpin Indonesia pada era ini memiliki visi untuk membangun sektor
maritim.
-Presiden B.J. Habibie. Pada 26 September 1998, Presiden Indonesia ke-3 B.J. Habibie
mendeklarasikan Deklarasi Bunaken. Isi Deklarasi Bunaken adalah: “Mulai saat
ini visi pembangunan dan persatuan nasional Indonesia harus juga berorientasi
laut.” Deklarasi ini menegaskan bahwa laut merupakan peluang, tantangan dan
harapan untuk masa depan, serta persatuan, kesatuan dan pembangunan Bangsa
Indonesia.
-Presiden Abdurrahman Wahid. Presiden Indonesia ke-4 yang akrab disapa Gus Dur ini menyadari bahwa
laut Indonesia memiliki potensi besar yang dapat digali. Pada tahun 1999,
Presiden Gus Dur membentuk Departemen Eksplorasi Laut (sekarang menjadi
Kementerian Kelautan dan Perikanan) yang bertugas untuk mengeksplorasi potensi
laut Indonesia. Pada era Pemerintahan Gus Dur, baru pertama kali diangkatnya
Panglima TNI yang bukan berasal dari Angkatan Darat, melainkan dari Angkatan
Laut.
-Presiden Megawati Soekarnoputri. Presiden kelima Indonesia ini mengembangkan sektor maritim Indonesia
dengan mencetuskan Seruan Sunda Kelapa. Seruan Sunda Kelapa adalah pesan yang
mcngajak masyarakat untuk membangun kembali sektor maritim Indonesia dengan
lima cara, yaitu: (1) membangun kembali wawasan bahari, (2) menegakkan
kedaulatan secara nyata di laut, (3) mengembangkan industri maritim; (4)
mengembangkan wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, dan (5)
mengembangkan sistem hukum nasional di bidang maritim.
-Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Selama masa pemerintahannya, Presiden ke-6 Indonesia ini mencanangkan
pembangunan yang seimbang antara matra darat dan matra laut.
Itulah cuplikan sejarah mengenai
pembangunan maritim di Indonesia, dari masa prasejarah hingga saat ini. Dapat
kita lihat bahwa terjadi pasang-surut semangat untuk membangun sektor maritim.
Kepemimpinan merupakan faktor krusial dalam pembangunan maritim. Diperlukan komitmen
politik yang sangat kuat dari pemimpin tertinggi Negara untuk membangun sektor
maritim. Paling tidak, saat ini ada Pemimpin yang sadar tentang kodrat kelautan
yang dimiliki Indonesia.
Sampai saat ini, saya belum menemukan
cetak biru atau masterplan mengenai konsep poros maritim
Indonesia. Konsep yang saya maksud adalah konsep detail mengenai implementasi
visi maritim tersebut. Meskipun demikian, saya menemukan sembilan sasaran
pembangunan kemaritiman dari dokumen Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Berikut ini adalah sembilan sasaran tersebut:
1. Penguatan keamanan laut, daerah
perbatasan, serta pengamanan SDA dan ZEE.
2. Peningkatan luas kawasan konservasi
perairan berkelanjutan (17 juta ha) dan penambahan kawasan konservasi 700 ha
dan rehab. Kerusakan lingkungan pesisir dan laut.
3. Penerapan best aqua-culture
practices untuk komoditas-komoditas unggulan.
4. Mendesain tata ruang wilayah pesisir
dan lautan yang mendukung kinerja pembangunan maritim dan perikanan.
5. Peningkatan produksi perikanan dua kali
lipat (40-50 juta ton per tahun) pada tahun 2019.
6. Peningkatan kapasitas dan pemberian
akses terhadap sumber modal, sarana produksi, infrastruktur, teknologi dan
pasar.
7. Pembangunan 100 sentra perikanan
sebagai tempat pelelangan ikan terpadu dan pembangunan 24 pelabuhan strategis.
8. Pemberantasan illegal,
unregulated dan unreported fishing (IIU).
9. Mengurangi intensitas penangkapan di
kawasan underfishing sesuai batas kelestarian.
Ini lah kesamaan saya dengan Joko Widodo.
Meskipun kami berdua bukanlah orang pesisir, namun kami berdua sadar akan
kodrat maritim Indonesia. Joko Widodo lahir dan besar di Surakarta, sedangkan
saya lahir dan besar di Jakarta Selatan. Kami berdua jarang melihat laut, namun
sadar bahwa Indonesia harus dibangun berdasarkan potensi laut. Pembangunan maritim
tidaklah menegasikan pembangunan yang ada di darat. Keduanya dilakukan secara
bersamaan, tanpa meninggalkan jati diri sebagai bangsa maritim.
Momen Saat Menyeberangi
Selat Lombok
Rekomendasi:
Banyak kalangan yang menilai bahwa konsep
poros maritim dunia Presiden Joko Widodo masih belum jelas dan tidak realistis.
Sebaiknya Pemerintah segera mematangkan konsep tersebut dan menyebarluaskannya
ke masyarakat. Pemerintah perlu melibatkan banyak kalangan dalam merumuskan
konsep tersebut.
Sumber:
Rompas, Rizald Max. 2011. Membangun
Laut Membangun Kejayaan: Dulu, Kini, dan Masa
Depan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik.
Muljana, Slamet. 2005. Menuju
Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Jakarta: LKiS.
Soesilo, Indroyono dan Budiman. 2002. Iptek
untuk Laut Indonesia. Jakarta: Lembaga
Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar